Israel Makin Khawatir, Iran Disebut Tinggal Sebulan Lagi Bisa Produksi Bom Nuklir - Telusur

Israel Makin Khawatir, Iran Disebut Tinggal Sebulan Lagi Bisa Produksi Bom Nuklir

Ilustrasi Iran vs Israel. (Ist).

telusur.co.id - Kekhawatiran Rezim Israel bertambah kekhawatirannya lantaran laporan Surat kabar Amerika Serikat (AS) New York Times  yang belum lama ini mengutip pernyataan seorang pakar besar nuklir AS yang tak tak disebutkan namanya bahwa Iran tinggal satu bulan lagi untuk dapat memperkaya uranium yang cukup untuk memproduksi bom nuklir.

Banyak jenderal dan pakar Israel sepakat dengan pakar AS tersebut, namun berbeda pendapat mengenai jangka waktunya. Salah satunya adalah jenderal purnawirawan Ehud Barak yang juga mantan perdana menteri Israel. Dia adalah orang yang tampak paling pesimis.

“Iran akan menjadi negara nuklir, segala tindakan militer terhadapnya akan terbatas pengaruhnya, dan solusinya ialah memperkuat hubungan dengan Washington yang telah dihancurkan oleh Netanyahu,” kata Ehud Barak seperti dilansir Rai Alyoum, Jumat (8/10/21).

Kepala Dewan Keamanan Nasional Israel, Jenderal Eyal Hulata, bertolak ke Washington dan mengadakan pertemuan dengan sejawatnya dari AS, Jake Sullivan, Selasa lalu. Keduanya membahas berbagai opsi yang tersedia bagi kedua negara untuk mencegah laju kemajuan Iran menuju senjata nuklir, selain membicarakan kebijakan AS di Timteng setelah tentaranya kalah dan keluar dari Afghanistan.

Pertanyaan mendesak yang belakangan ini menghinggapi pikiran para tokoh politik dan militer Israel serta mewarnai polemik di media negara Zionis ini ialah apa yang dapat dilakukan Israel terhadap Iran. Dalam hal ini ada sebentuk konsensus untuk dua opsi bagi Rezim Zionis itu;

Pertama, mengirim jet siluman jenis F-35 atau jet pembom jenis F-16 untuk menyerang proyek-proyek nuklir Iran sebagaimana pernah dilakukannya terhadap reaktor-reaktor nuklir di Irak pada tahun 1981 dan di Suriah pada tahun 2007.

Kedua, berkompromi dengan realitas Iran sebagai negara nuklir dengan segala resikonya yang suram bagi Israel di masa mendatang, dan sebagai bentuk deterensi mengaku secara terbuka statusnya kepemilikannya sendiri atas senjata nuklir.

Sebagian besar pakar dan jenderal purnawirawan Israel menggaris bawahi bahwa serangan militer alih-alih dapat memusnahkan proyek nuklir Iran justru dapat berdampak sebaliknya. Mereka antara lain adalah Ehur Barak, Moshe Ya’alon dan Ehud Olmert.

Menurut mereka, serangan itu dapat memancing reaksi kuat dari Iran, baik secara langsung maupun melalui perantara para sekutunya semisal Hizbullah yang memiliki 150.000 rudal di Lebanon serta Hamas dan Jihad Islam di Jalur Gaza. Dan ini dapat mendorong Israel melakukan serangan darat ke Lebanon dan Jalur Gaza, dan bisa jadi pula ke Suriah dengan resiko kemanusiaan yang sangat tinggi dan tak terjamin bagaimana hasilnya.

Pemerintahan Presiden AS Joe Biden mendapat tekanan ekstensif dari lobi-lobi Israel agar mengambil sikap tegas terhadap Iran supaya kembali ke perjanjian nuklir, atau melakukan tindakan militer terhadapnya jika Iran membandel.  Eyal Hulata diduga kuat membawa pesan ini kepada Jake Sullivan, dan berharap dapat pulang ke Tel Aviv sembari membawa tanggapan AS atasnya.

Presiden Biden Senin lalu mendesak Iran kembali ke meja perundingan, dan menyatakan bahwa jika Iran membandel maka dia akan beralih ke “rencana B”, tanpa menyebutkan apakah ancaman itu berupa aksi militer, yang kemungkinannya kecil setelah AS  gagal di Afghanistan, ataukah peningkatan sanksi, dan inilah kemungkinannya yang terbesar.

Di Iran, Presiden Ebrahim Raisi adalah sosok yang sangat dekat dengan Pemimpin Besar Iran Ayatullah Sayid Ali Khamenei yang berpijak di garis keras. Raisi bukan tipe seperti Mantan Presiden Hassan Rouhani, Mantan Menlu Mohammad Javad Zarif, dan perunding senior Abbas Araghchi yang telah bertaruh dengan perjanjian nuklir dan kemudian kalah.

Sanksi baru AS bisa jadi tak akan memiliki pengaruh yang kongkret bagi Iran yang sudah 40 tahun hidup di bawah blokade dan bertekad untuk selalu percaya diri dan berubah menjadi kekuatan militer besar regional.

Alhasil, Rezim Israel dan publiknya hidup dalam kubangan depresi dan ketakutan sehingga bukan tak mungkin akan melancarkan operasi militer yang dapat memicu perang di kawasan di Timteng. Dan jika ini terjadi, maka Israel sendiri yang akan menerima akibatnya. [Tp]


Tinggalkan Komentar