telusur.co.id - Kasus rasisme dan HAM masih menjadi dua isu yang kerap mencuat di Papua. Isu ini juga kerap menjadi tunggangan sejumlah pihak tak bertanggungjawab untuk memperkeruh suasana di Indonesia.
Wasekjen Persatuan Aktivis dan Warga Nusantara (Pandawa Nusantara) Ronald Loblobly mengatakan, Papua ibaratnya merupakan rumah yang indah dan menarik banyak pihak. Apalagi tindakan dari pemerintah orde baru yang kerap menggunakan tindakan represif dalam menuntaskan masalah di Papua.
"Padahal kalau kita bicara implementasi Pancasila, kita bicara sebagai anak bangsa yang sama dari Sabang sampai Merauke. Sekarang tugas kita yakni bagaimana kita gaungkan Pancasila di seluruh Indonesia," ujar Ronald dalam diskusi Jakarta Journalist Center (JJC) yang bertajuk 'Tudingan Rasis dan Pelanggaran HAM di Papua', Jumat (22/10/21).
Soal HAM, rasisme, emansipasi dan terorisme, kata Ronald, kerap menjadi isu yang dimainkan negara luar kepada sejumlah negara yang memiliki sumber daya alam yang mumpuni. Hal ini yang harus diwaspadai oleh Indonesia.
"Kita harus waspadai isu yang dimainkan di Indonesia sendiri. Kalau kita biarkan isu HAM ini bergulir akan bahaya, sementara mereka (yang menggoreng isu HAM dan rasisme di Papua) ngomong dari luar negeri dan difasilitasi negara lain," katanya.
Untuk menyelesaikan masalah di Papua, sambung Ronald, harus menggunakan pendekatan dialogis. Semua pihak harus duduk bersama untuk menentukan langkah terbaik demi masa depan Papua
"Untuk masalah Papua harus menggunakan pendekatan dialogis, baik dari Papua dan pemerintah dan duduk bersama. Kalau kita biarkan akan jadi duri dalam daging dalam pemerintahan," terangnya.
Menurut Ronald, pembangunan di Papua harus terus digalakkan. Sehingga tak ada rakyat Papua yang merasa menjadi anak tiri di NKRI.
"Agar rakyat Papua mendapat hal yang sama dengan daerah lain. Papua harus punya fasilitas yang mumpuni seperti Jakarta," terangnya.
Sementara itu, peneliti senior LIPI, Hermawan Sulistyo meminta semua pihak untuk melihat secara menyeluruh soal konflik dan kekerasan di Papua. Jangan serta merta muncul dengan tudingan telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
"Ngomong Papua ke mana dulu? Jangan orang baru sekali ke Jayapura dibilang menguasai permasalahan Papua," kata Hermawan.
Menurut Hermawan, penyelesaian konflik di Papua tidak dapat menggunakan pendekatan militerisme. Penyelesaian konflik di Papua harus dilakukan dengan hati.
"Mendekati Papua harus dengan hati. Jalur peradaban dan kebudayaan jangan jalur politik," tuturnya.
Dalam diskusi ini turut hadir Ketua Karang Taruna Papua Barat, Armando Rilon Idorway, dan Wakil Kepala BP Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos. (Ts)