Jamaluddin Karim (Nota Untuk Seorang Sahabat) - Telusur

Jamaluddin Karim (Nota Untuk Seorang Sahabat)


Telusur.co.id - Oleh : Prof Harry Azhar Azis

Teman yang saya anggap teman sejak lama, Jamaluddin Karim, ternyata harus pergi duluan tanggal 27  September 2020 yang lalu. Lama saya tidak berjumpa muka dengannya, sesekali ingin juga berbincang-bincang lagi dengannya.

Ada keramahan yang tidak dibuat-buat, ada ketawa yang lepas dan kadang-kadang meledak-ledak, kadang ada sindiran ke orang ketiga yang halus disampaikan ketika kita sedang bicara-bicara. Kini, tanpa dia semua terasa hening. Berhenti.

Saya ingat pertama kali kenal ketika ada tugas HMI ke Denpasar Bali di sekitar akhir 1979 atau awal 1980an. Jamal ketika itu sebagai Ketua Umum HMI cabang Denpasar, sekretariat HMI cabang nya juga di tempat tinggal dan usaha kakaknya, Saya berkunjung kalau tidak salah ingat sebagai Wakil Sekjen PB HMI untuk mengisi “training” HMI Cabang Denpasar.

Karena tidak ada pemateri NDP (Nilai Dasar Perjuangan) HMI, suatu materi amat penting dalam kurikulum training HMI, saya akhirnya di daulat membawa materi itu. Terpaksalah saya baca lagi bukunya dan anehnya dua hari dua malam saya bawakan dengan penuh keyakinan.

Kami waktu itu masih sama-sama bujangan, jadi cerita anak bujangan biasanya jadi topik pembicaraan setiap saat. Anda pasti tahulah apa cerita anak bujangan itu. Apalagi kalau bukan itu. Suasana akrab terasa sekali dalam pertemanan ketika itu.

Dalam waktu lain, Jamal masih bersedia menemani saya ketika saya dan kakak saya dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil ke Bali bahkan nyebrang lewat laut ke Mataram. Bahkan ketika Kongres HMI ke 15 di Medan, saya masih mendengar Djamal dan Cabang Denpasar ikut mendukung saya terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI tahun 1983 di Medan.

Dunia memang sempit, ketika saya pertama kali menjadi Anggota DPR RI periode 2004-2009, eh bertemu lagi dengan teman lama ini di DPR. Jamal bahkan sudah menjadi Ketua Fraksi PBB di DPR periode itu. Karena kebetulan saya sebagai pimpinan Panitia Anggaran DPR, jadi sering juga berhubungan dengan Djamal yang selalu bertanya dan bahkan mendesak memperjuangkan aspirasi alokasi dana APBN bagi kepentingan fraksinya dan sekaligus aspirasi daerah pemilihannya.

Pertemanan kami terasa makin terlihat kualitasnya. Kalau dulu waktu mahasiswa selalu bicara tentang pengaturan negara, ketika menjadi pejabat negara baru ketahuan gimana sulitnya mengatur negara karena semua kepentingan beradu di satu tempat.

Kita baru tahu tentang pilar-pilar kekuasaan, mana yang boleh dan tidak boleh disentuh. Seperti surfing di tepi pantai ombak Bali yang kadang-kadang tinggi, seseorang harus tampil prima dalam setiap pertandingan surfing itu atau pilihannya tenggelam dalam lautan ombak kekuasaan.

Saya masih terpilih sebagai Anggota DPR periode 2009-2014 tapi saya lihat PBB tidak tembus threeshold sehingga tidak lagi terwakili di DPR, termasuk teman saya ini, Jamal. Tapi hubungan kami tetap berjalan dengan baik walau secara perlahan dan berangsur merenggang sesuai dengan kesibukan masing-masing.

Kami masih berjumpa beberapa kali di berbagai kesempatan dan selalu denga sigap janji akan ketemu lagi untuk berbincang-bincang walau sejak itu tidak pernah bertemu lagi sampai Djamal dipanggil Allah SWT. Tidak banyak sahabat yang relatif sebaya dengan saya rasakan saya miliki seperti Jamal.

Persahabatannya merasuk, bukan karena HMI, bukan karena teman politik, tapi mengalir begitu rupa walau jauh terasa dekat, saling menulis di buku yang sama yang tidak pernah selesai menulisnya. Selamat jalan sahabatku. Doa terbaik ku untukmu dan keluargamu semoga selalu dalam lindungan Allah SWT, aamiin.


Tinggalkan Komentar