Telusur.co.id - Oleh : Margareta Levia Sanjaya (Mahasiswa Universitas Prasetiya Mulya)
Di Bali terdapat Desa Trunyan yang memiliki tradisi yang unik namun tradisi ini dianggap sebagai tradisi yang kuno. Tradisi pemakaman di desa Trunyan berbeda dengan tradisi pemakaman di Bali pada umumnya. Pemakaman di Bali biasanya dilakukan dengan upacara ngaben namun pada tradisi pemakaman Desa Trunyan, biasanya mereka hanya meletakan jenazah di atas tanah dengan begitu saja yang disebut juga sebagai Mepasah dan hanya berlaku bagi orang yang matinya secara natural seperti tidak kecelakaan, tidak dibunuh, dan tidak bunuh diri dan juga untuk yang sudah berkeluarga atau sudah menikah.
Desa Trunyan berasal dari Pohon yang bernama Tarumenyan dimana pohon tersebut mampu menyerap bau busuk jenazah. Pada awalnya pohon Tarumenyan tidak diketahui dimana keberadaannya tetapi pohon tersebut wanginya sangat menyengat sampai tercium hingga ke wilayah bagian tengah Pulau Jawa. Dengan adanya wangi yang menyengat tersebut, empat bersaudara yang berasal dari Keraton Solo tersebut terhipnotis untuk mencari tahu berasal dari manakah wangi tersebut.
Setelah menemukan sumber wangi tersebut, kakak sulung dari empat bersaudara tersebut terpikat hatinya dengan kecantikan dewi penunggu pohon Tarumenyan lalu menikahinya. Setelah itu terbentuklah kerajaan kecil dimana raja tidak ingin orang-orang mengetahui wangi dari pohon Tarumenyan tersebut dan sang raja ingin menjaga wangi tersebut agar tidak diketahui orang-orang. Raja memerintah para warga
untuk meletakan jenazah di bawah pohon tarumenyan. Melalui kejadian itulah yang membuat sampai saat ini tradisi pemakaman di Desa Trunyan terus ada dan dilakukan.
Terdapat 3 tempat pemakaman di Desa Trunyan. Yang pertama adalah Sema Wayah
dimana tempat tersebut hanya diperuntukan bagi orang yang meninggal secara natural dan sudah berkeluarga atau sudah menikah. Pemakaman dilakukan dengan meletakkan jenazah diatas tanah. Kedua adalah Sema Nguda dimana tempat tersebut hanya diperuntukan bagi orang yang belum menikah, anak-anak meketus, dan bayi yang belum memasuki fase meketus.
Pemakaman bisa dilakukan secara Mepasah maupun dikubur di dalam tanah. Dan yang ketiga adalah Sema Bantas dimana tempat ini hanya diperuntukan untuk mereka yang
meninggal secara tidak natural (bunuh diri, dibunuh, dan kecelakaan). Pemakaman dilakukan dengan menguburkan jenazah di dalam tanah.
Di Sema wayah hanya terdapat 11 petak untuk menempatkan jenazah, sehingga jika
ada jenazah yang baru meninggal maka jenazah yang paling lama akan dipindahkan.
Pemindahan jenazah yang paling lama tidak dilakukan secara sembarangan tetapi melalui proses dimana harus melakukan sembahyang terlebih dahulu. Setelah itu tulang belulang jenazah yang paling lama dipindahkan ke luar samping petak, baru setelah itu jenazah yang baru bisa diletakan di dalam petak yang sudah kosong.
Sedangkan proses pemakaman yang
dilakukan di dekat pohon Tarumenyan dimulai dengan upacara pembersihan menggunakan air hujan dan dilanjutkan dengan pembungkusan jenazah menggunakan kain yang hanya menutupi tubuh jenazah. Lalu jenazah diletakan ke dalam tanah sedalam 10-20 cm dan sekitar tanah tersebut diberikan ulatan bambu penghalang yang bernama “ancak saji” yang
berfungsi agar binatang buas tidak mengacak-acak tanah.
Tradisi pemakaman yang dilakukan di Desa Trunyan berkaitan erat dengan 3 nilai yaitu pancasila sila ke-1 dimana tercermin dari pemindahan jenazah yang baru akan dilakukan sembahyang terlebih dahulu dimana merupakan salah satu kepercayaan yang dianut oleh Desa Trunyan.
Nilai sila ke-3 dimana tercermin dari kegiatan pemakaman dimana mereka melakukan gotong royong dan hal tersebut merupakan salah satu sikap dari persatuan. Dan yang terakhir UUD 1945 Pasal 32 Ayat 1 dimana tercermin bahwa warga Desa Trunyan selalu melestarikan pemakaman di Desa Trunyan dan selalu menjalankan budaya yang sudah ada dengan baik dan benar. Dengan adanya globalisasi sangat mudah mempengaruhi budaya kita sehingga kita harus bisa tetap menjaga dengan baik budaya yang
sudah kita miliki.