Jeritan dan Harapan Anak-Anak Pekerja Migran Ilegal Asal Indonesia - Telusur

Jeritan dan Harapan Anak-Anak Pekerja Migran Ilegal Asal Indonesia

Flyer “Jeritan dan Harapan Anak-Anak Pekerja Migran Ilegal Asal Indonesia” by Denny JA 2024

telusur.co.id - Oleh : Denny JA

Ekspresi Melalui Puisi Esai

Malam itu, Konsulat Jenderal Indonesia untuk Sabah, Rafail Walangitan, bercerita. Kami duduk bersebelahan.

“Total jumlah migran Indonesia yang ilegal di seluruh Malaysia lebih dari 1 juta orang. Mereka beranak-pinak. Paling banyak mereka berada di Sabah.”

“Kita memang serba salah,” ujarnya lebih lanjut. “Di satu sisi, sebagai sesama warga Indonesia, tentu mereka harus kita lindungi. Tapi memang kita tahu juga kedatangan warga secara ilegal ke negara manapun itu terlarang.”

“Untung banyak warga di sini yang juga peduli. Mereka membuat sekolah Indonesia untuk anak-anak pekerja ilegal itu.”

Malam itu, Datuk Jasni Matlani, penerima penghargaan SEA Write 2015, membuat acara “Dinner Bersama Denny JA,” di Kota Kinabalu, Malaysia. Kecuali Konsulat Jenderal, hadir pula Menteri Mohamad Arifin. Saya juga berjumpa dengan pimpinan tertinggi Sabah, Hajiji Noor, keesok harinya.

Dalam Festival Puisi Esai ASEAN ke-3, Juni 2024, rombongan Indonesia hadir ke Sekolah Indonesia di Sabah itu, di Kundasang.

Malam ini, Juli 2024, saya menerima naskah. “Mas Denny, ini karya anak-anak Indonesia di Sabah, dari keluarga migran ilegal itu. Mereka menuliskan kisah mereka dalam puisi esai.”

Terpana saya membaca ekspresi jeritan hati anak-anak pekerja migran ini. Juga terharu ungkapan harapan guru sekolah. Ekspresi dan ungkapan itu disampaikan melalui puisi esai.

Mereka bersama membuat buku antologi puisi esai berjudul "Di Ladang Rantau." Penulisnya 2 guru dan 24 siswa SIKK (Sekolah Indonesia Kota Kinabalu).

Saya diberi kabar proses penulisan puisi esai di sana.

“Prosesnya: Bengkel puisi esai 1 hari - kemudian pengayaan oleh guru 1 minggu - kemudian - penulisan 2 minggu - kemudian editing dan layout 2 minggu.

Rangkaian proses itu dibantu Badan Bahasa, terutama Datuk Jasni Matlani.”

Ada puisi esai berjudul: Setitik Cahaya, ditulis oleh Adinda Shaumi - Kelas IX.

Ia menggambarkan kisah seorang remaja bernama Muda yang diterima di sekolah impian. Namun Muda mengalami kesulitan karena ditangkap oleh polisi dan dipenjara.

Muda bertemu dengan seorang tahanan lain bernama Tama yang membantunya untuk melarikan diri. Dengan bantuan kunci dari Tama, Muda berhasil kabur dan bertekad membawa "setitik cahaya" bagi keluarganya dan memenuhi harapan ibunya.

Puisi ini mengangkat tema perjuangan, harapan, dan tekad untuk mencapai impian meskipun dihadang oleh berbagai rintangan.

“Pintu besi berhasil dibuka.
Muda melangkah keluar.
Melambaikan tangan kepada Tama.
Menunggu kamera pengawas berbalik.

Tiba di ujung lorong, ia menemukan pintu rahasia itu.
Dirogohnya kunci dari saku.
Membuka pintu itu dengan kaku.
Lalu, ia melihat cahaya bulan seperti lampu.

Berhasil.
‘Ayah, ibu, dan Bang Tama, tunggu aku bawa setitik cahaya, ya.’

Juga puisi esai berjudul: Pulang ke Indonesia, ditulis oleh Muajiza Revania - Kelas X.

Puisi esai ini bercerita tentang Tasha. Ia seorang gadis yang lahir dan besar di negara tetangga karena orang tuanya bekerja sebagai buruh migran.

Tasha bermimpi untuk kembali ke Indonesia dan melanjutkan pendidikan di sana. Meskipun ayahnya awalnya ragu, Tasha mendapatkan dukungan dari ibunya. Akhirnya, ia berhasil mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Universitas Indonesia.

Dengan tekad yang kuat, Tasha berangkat untuk mewujudkan cita-citanya dan berharap suatu hari bisa membawa orang tuanya kembali ke Indonesia. Puisi ini mengangkat tema perjuangan, harapan, dan cinta terhadap tanah air.

“Setelah lama bersusah payah,
terbayar juga usaha Tasha,
mendapat panggilan melanjutkan kuliah.
Beasiswa di Universitas Indonesia.

Tasha pun harus berangkat
memenuhi panggilan cita-citanya.
Suatu saat ia akan kembali,
membawa Ayah dan Ibu,
pulang dari negeri ini.

Ayah Ibu, doakan Tasha:
sehat, waras, bergas, cergas,
agar menjadi pemimpin yang bijaksana,
membantu orang-orang yang tertindas.”

Juga ini puisi esai berjudul: Kisah di Balik Repatriasi. Ini puisi ditulis oleh Panji Pratama – Guru SIKK. Tak hanya murid, tapi guru juga menuliskan ekspresi batinnya, kegelisahannya, melalui puisi esai.

Puisi esai ini menggambarkan kehidupan sulit keluarga pekerja migran Indonesia di Malaysia. Ekspresi hati ini terbagi menjadi tiga bagian:

Bagian pertama menceritakan kondisi hidup empat orang. Mereka satu keluarga yang tinggal di bedeng sempit dan tidak layak.

Sang ayah awalnya tertipu oleh calo yang menjanjikan gaji besar. Kenyataannya mereka hidup dalam kemiskinan dan sulit untuk pulang. Mereka sudah kehabisan uang dan dicap sebagai pekerja ilegal.

Bagian kedua soal nasib tragis sang ayah. Ia tewas diterkam buaya ketika berusaha pulang dengan uang hasil kerja.

Keluarga di kampung mendengar kabar duka ini. Sementara anak sulung, Rewo, baru saja mendapat kabar gembira. Ia lulus sekolah dan mendapatkan beasiswa repatriasi untuk melanjutkan pendidikan di Kalimantan Utara.

Bagian ketiga berkisah soal Rewo yang sudah dewasa, lulus SMA, dan bekerja. Ia mengajak ibu dan adiknya pulang ke Indonesia.

Puisi ini menyoroti dilema pekerja migran yang sering dianggap pahlawan devisa. Namun kenyataannya mereka menghadapi banyak kesulitan dan ketidakpastian nasib.

Puisi ini mengangkat tema perjuangan pekerja migran, pengorbanan, harapan untuk pulang. Tergambar juga kenyataan pahit yang sering mereka hadapi.

“Kini, Rewo sudah dewasa.
Sudah lulus SMA dan diterima bekerja.
Mengajak pulang adik dan mama.
Kembali ke pangkuan negara tercinta.

Enaknya bekerja di luar negeri.
Bisa jadi pahlawan devisa yang dipuji-puji.
Entah itu cuma opini atau ironi.
Disebut mereka para PMI.

“Marilah pulang wahai generasi
yang sudah lama tinggal di luar negeri,”
kata Rewo yang tidak tahu pasti.
Apakah takdir akan berubah suatu hari nanti.”

Pekerja migran ilegal dari Indonesia, datang ke Sabah pada tahun 1970-an. Mereka mengarungi lautan menuju tanah yang mereka anggap lebih memenuhi harapan.

Dengan tekad yang kuat, mereka meninggalkan rumah dan keluarga di Sulawesi, Jawa, dan Nusa Tenggara Timur. Ke sana, mereka membawa mimpi untuk meraih kesejahteraan di negeri seberang.

Mengapa pergi ke Sabah? Mungkin karena dekatnya jarak geografis. Atau itu karena cerita-cerita tentang ladang kelapa sawit yang luas dan konstruksi yang menjulang tinggi. Atau daya tarik pekerjaan dengan upah yang lebih baik.

Namun, kenyataan seringkali jauh dari harapan. Banyak dari mereka yang terpaksa memilih jalur ilegal. Itu bukan karena mereka ingin. Tapi ini karena birokrasinya yang rumit dan biaya yang tak terjangkau.

Mereka datang dengan kapal-kapal kecil, menghindari tangkapan petugas. Mereka berharap menemukan tempat bekerja dan hidup dengan layak.

Di negeri yang mereka pijak dengan penuh harap itu, kenyataan berbicara lain. Mereka bekerja dalam kondisi yang keras, di bawah kejaran polisi setempat. 

Upah yang mereka terima seringkali jauh dari cukup. Tanpa status legal, mereka tidak memiliki perlindungan hukum.

Mereka seperti hidup sebagai bayang-bayang, tersembunyi dari pandangan. Mereka bekerja tanpa henti untuk mimpi yang kadang terasa semakin menjauh.

Kehidupan mereka dipenuhi ketidakpastian dan ketakutan. Setiap hari adalah perjuangan untuk tetap tersembunyi, untuk tidak tertangkap dan dideportasi.

Mereka tidak memiliki akses ke layanan kesehatan atau pendidikan. Anak-anak mereka tumbuh dalam ketidakpastian.

Dan ketika akhirnya tertangkap, deportasi menjadi mimpi buruk yang nyata. Itu mengembalikan mereka ke titik nol tanpa apa-apa.

Ada secercah harapan melalui program repatriasi. Program ini menawarkan jalan pulang yang aman dan bermartabat. Yakni mengembalikan mereka ke tanah air dengan bantuan dokumen perjalanan, transportasi, dan program reintegrasi.

Pemerintah Indonesia, bekerja sama dengan berbagai organisasi internasional, berusaha untuk menyusun langkah-langkah yang manusiawi. Tujuan utama mengembalikan mereka ke pangkuan ibu pertiwi.

Program repatriasi ini tidak hanya memberikan tiket pulang, tetapi juga harapan baru untuk memulai kembali, membangun hidup yang lebih baik di negeri sendiri.

Membaca ekspresi hati anak-anak SMP, SMA, dan gurunya, warga Indonesia yang ilegal di Malaysia, kita melihat foto album yang muram.

Mereka memberi kesaksian. Mereka bersuara. Puisi esai menjadi medium ekspresinya.

Sayapun teringat kutipan dari Dylan Thomas: “puisi yang baik adalah kontribusi terhadap realitas. Dunia tidak pernah sama setelah sebuah puisi yang baik ditambahkan ke dalamnya.”

Kutipan ini menunjukkan bagaimana puisi dapat mengubah persepsi kita tentang dunia. Dan puisi memberikan dampak yang bertahan lama pada pembaca. (ari)


Tinggalkan Komentar