Kebijakan Pajak Sebagai Perwujudan Menegakkan Keadilan Ekonomi di Indonesia - Telusur

Kebijakan Pajak Sebagai Perwujudan Menegakkan Keadilan Ekonomi di Indonesia


Telusur.co.id - Oleh : Jauharuddin Ahmad Akfiyan, Mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Ponorogo 

Persoalan ketimpangan ekonomi antara si kaya dan si miskin, masih menjadi problem klise yang terus berlanjut dan belum terdapat satu kebijakan solutif untuk menyelesaikannya. Jurang ketimpangan ekonomi yang semakin dalam, menyebabkan semakin runcingnya pertentangan golongan antar segelintir masyarakat yang memiliki jumlah kekayaan diatas rata-rata dengan mayoritas masyarakat yang setiap hari mencari materi demi sesuap nasi.

Fenomena ketimpangan sosial-ekonomi yang ironis, ketika segelintir orang membelanjakan kekayaannya untuk memuaskan keinginan pribadi sedangkan strata sosial-ekonomi dibawahnya berjuang mati-matian untuk memenuhi kebutuhan perut guna bertahan hidup.
    
Indonesia sebagai salah satu negara yang menggunakan konsep demokrasi untuk menjalankan sistem pemerintahannya, menyerahkan kedaulatan tertinggi kepada rakyat. J.J.Roselle dalam studi hukum tata negara mengemukakan sebuah konsep “politik contrack” tentang teori kedaulatan rakyat, yang menyatakan bahwa penguasa adalah pilihan dari rakyat. Rakyatlah yang menyerahkan kekuasaan kepada pemimipin atau pemerintah untuk menjalankan sebuah tata pengaturan. Dengan bekal kepercayaan rakyat, pemimpin atau pemerintah diberikan kekuasaan dan kewenangan untuk membuat kebijakan sebagai upaya tata pengaturan, harapannya kebijakan yang diambil merupakan bentuk pelaksanaan tujuan dalam menegakkan keadilan menuju kesejahteraan masyarakat banyak.
    
Salah satu kebijakan pemerintahan yang menyangkut tentang pengumpulan dan pengelolaan sumber kekayaan negara ialah kebijakan mengenai pajak. Berdasarkan UU  KUP Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 1 yang menjelaskan tentang pengertian pajak berbunyi, pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Setiap dana yang dikeluarkan oleh rakyat untuk membayar pajak akan masuk dalam pendapatan negara dari sektor pajak, yang kemudian dialokasikan sebagai pembiayaan belanja pemerintahan pusat maupun daerah demi kepentingan umum, seperti pendanaan fasilitas kesehatan, pendidikan, akses dan kegiatan produktif lainnya yang mengarah pada kesejahteraan masyarakat banyak. 
    
Namun, disamping cita-cita ideal pengalokasian pajak oleh negara demi kesejahteraan umum, terdapat banyak permasalahan mendasar yang melenceng dari tujuan tersebut. Masalah tersebut terbagi menjadi 2 bagian, yakni internal dan eksternal. Permasalahan internal terletak pada sistem pengumpulan dan pengelolaan pajak oleh negara, termasuk pada kebijakan pajak yang dikeluarkan sebagai acuan. Apabila melihat pada data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), penerapan kebijakan penerimaan pajak di negara-negara maju lebih didominasi oleh pajak penghasilan (PPh) individu (PPh 21) setelah itu disusul oleh pajak pertambahan nilai (PPN), lalu pajak penghasilan (PPh) badan atau perusahaan.
    
Berdasarkan data yang penulis peroleh dari sebuah artikel di media online CNN Indonesia yang berjudul “Menggunting Jurang 'Si Miskin dan Si Kaya' dengan Pajak”, menyebutkan bahwa, Porsi penerimaan pajak dari individu khususnya non karyawan, justru menempati posisi buncit dalam catatan penerimaan pajak di Indonesia. Padahal, para wajib pajak (WP) yang masuk dalam kategori PPh 25/29 mayoritas merupakan pengusaha atau wiraswasta yang tak dipungkiri, sebagian memiliki pendapatan yang tinggi. Realisasi penerimaan pajak dari wajib pajak orang pribadi (WP OP) selama semester I 2017 hanya mencapai Rp 61,4 triliun. Perinciannya, penerimaan PPh 21 sebesar Rp 55,6 triliun dan PPh 25/29 dari orang pribadi Rp 5,8 triliun. Sementara itu, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM) mencapai Rp 228,7 triliun. Posisi penerimaan PPN yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan PPh tidak mencerminkan kemampuan orang dalam membayar pajak. Ini merupakan permasalah internal dari kebijakan pajak yang diberlakukan, solusinya adalah membalik struktur semacam ini sehingga orang yang lebih mampu membayar pajak lebih besar, dengan begitu keadilan ekonomi akan terlaksana sesuai dengan porsinya.
    
Sedangkan permasalah eksternal yang dihadapi ialah pengalokasian dana dari sektor pajak yang tidak efektif kepada masyarakat. Dilema antara menegakkan keadilan dengan menuntaskan pendistribusian dana sehingga sesuai dengan target penyerapan anggaran menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penyaluran dana pajak kepada masyarakat menjadi sembarangan. Berdasarkan data dari Kemenkeu 2019, Pajak Sumbang Rp1.332,06 Triliun Untuk Negara. Skema penyaluran bantuan sosial berupa bantuan langsung tunai bisa jadi solusi pemerintah untuk membuat laporan statistik pengalokasian dana yang maksimal, akan tetapi bantuan langsung tunai bukan menjadi solusi bagi meningkatnya kesejahteraan rakyat. Dana ini seharusnya dialokasikan untuk menciptakan lapangan kerja sehingga masyarakat menerima penghasilan dari upah kerja dan bukan menadahkan tangan. Hal ini menyebabkan ketergantungan masyarakat akan bantuan langsung berupa materi dari pemerintah, dan bukan menjual kemampuannya untuk bertahan hidup.
    
Meskipun data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Nasional menyebutkan, Jumlah penduduk miskin pada Maret 2019 sebesar 25,14 juta orang, menurun 0,53 juta orang terhadap September 2018 dan menurun 0,80 juta orang terhadap Maret 2018. Namun, dengan fakta bahwa ada 19 warga negara Indonesia yang masuk ke dalam daftar 1.645 orang terkaya dunia, versi majalah Forbes, dengan rentang kekayaan dari US$ 7,6 miliar  hingga US$ 1 miliar, isu kesenjangan itu tiba-tiba menjadi menghangat kembali. Solusi kesenjangan ekonomi yang begitu curam semacam ini adalah pemerintah harus memaksimalkan penarikan pajak, terutama beban pajak kepada perorangan yang mampu, seperti yang telah penulis ulas diatas. Kemudian mengoptimalkan pengalokasian dana pajak sebagai perencanaan pembangunan ekonomi jangka panjang, sebuah upaya yang dimaksudkan untuk penyerapan kemampuan masyarakat dalam bekerja. 
     
Negara sebagai bentuk masyarakat yang terpenting, dan pemerintah adalah susunan masyarakat yang terkuat dan berpengaruh (Madjid 1969). Dengan demikian pemerintahlah yang pertama kali wajib menegakkan keadilan. Menegakkan keadilan mencakup penguasaan terhadap pengendalian dalam bidang ekonomi sehingga tercipta sebuah redistribusi kekayaan secara merata, dan ketimpangan terhadap kekayaan ekonomi terjadi dalam batas yang sewajarnya saja. Ketimpangan dalam hal ekonomi tidak dapat semena-mena dihilangkan, dalam arti merata secara total, masih terdapat batas-batas wajar perbedaan antar kepemilikan ekonomi. Sebab perbedaan kemampuan fisik dan mental setiap individu adalah keniscayaan, yang musti dimaksimalkan potensinya sebagai retriksi-retriksi kerja guna pemenuhan kebutuhan hidup manusia.


Tinggalkan Komentar