telusur.co.id - Target pertumbuhan ekonomi 8% per tahun yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto memerlukan berbagai strategi tepat untuk merealisasikannya. Diantaranya memperkuat perdagangan luar negeri sebagai salah satu tulang punggung pertumbuhan ekonomi.
Anggota Komisi VI DPR RI, Amin Ak mengatakan, perdagangan luar negeri saat ini menghadapi tantangan sangat berat karena kondisi ekonomi global yang terus menurun.
Penurunan nilai surplus neraca perdagangan RI dalam lima tahun terakhir menjadi bukti nyata sulitnya mempertahankan pasar ekspor.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), surplus neraca perdagangan RI tahun 2024 (Januari sampai September) sebesar USD 21,98 miliar, tahun 2023 surplus sebesar USD 36,93 miliar, turun dibandingkan tahun 2022 surplus sebesar USD 54,46 miliar.
Saat ini Indonesia masih mengandalkan ekspor komoditas untuk meningkatkan devisa negara. Sedangkan ekspor produk hilirisasi yang dijanjikan pemerintahan Jokowi belum menunjukkan hasil signifikan.
"Diperlukan strategi baru dalam perdagangan luar negeri kita. Tren penurunan surplus neraca perdagangan dalam beberapa tahun terakhir, menjadi sinyal bahaya yang harus kita sikapi dengan kebijakan yang tepat ," ujar Amin dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (29/10/24).
Namun demikian, Amin mengaku optimis Menteri Perdagangan Budi Santoso mampu membawa terobosan baru dalam membangkitkan perdagangan luar negeri Indonesia.
Sikap optimistis tersebut berpijak pada rekam jejak Budi. Selain pernah menjabat Sekjen Kemendag, Ia sebelumnya pernah menjadi Dirjen Perdagangan luar negeri dan atase perdagangan di India.
Lebih jauh Amin menekankan, bahwa terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan penurunan surplus neraca perdagangan. Pertama, harga komoditas global yang fluktuatif, seperti kelapa sawit, batu bara, dan karet, telah memengaruhi pendapatan ekspor Indonesia. Kedua, ketergantungan yang tinggi pada ekspor bahan mentah dibanding produk olahan membuat Indonesia rentan terhadap perubahan permintaan dan harga di pasar internasional.
"Ekonomi global yang belum stabil pasca-pandemi serta peningkatan proteksionisme di sejumlah negara mendorong Indonesia segera menyesuaikan diri untuk menghadapi tantangan tersebut," tambah Amin.
Penurunan surplus juga terjadi akibat peningkatan nilai impor barang modal dan bahan baku, serta impor pangan.
"Impor bahan baku memang penting untuk industri manufaktur kita, tetapi mesti diimbangi peningkatan ekspor produk jadi, agar kita tidak terus terjebak dalam situasi defisit perdagangan," jelas Amin.
Karena itu, Amin menyarankan beberapa saran kebijakan yang perlu dipertimbangkan pemerintah. Pertama, diversifikasi ekspor menjadi kunci utama. Indonesia harus memperluas jenis produk yang diekspor, tidak hanya bergantung pada komoditas mentah tetapi juga mengembangkan industri hilir yang bernilai tambah lebih tinggi.
"Penguatan industri manufaktur dalam negeri selain untuk menghasilkan produk yang dapat bersaing di pasar global, juga mampu menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak," kata Amin.
Kedua, pentingnya membuka pasar baru di kawasan-kawasan yang belum terjangkau, seperti Afrika dan Amerika Latin. Pasar-pasar ini memiliki potensi besar namun belum digarap secara optimal oleh Indonesia.
"Selain memperkuat hubungan dengan negara-negara mitra tradisional, Indonesia harus aktif menjajaki kerja sama dengan negara-negara berkembang yang memiliki permintaan produk yang sesuai dengan kapasitas kita," tambahnya.
Ketiga, Amin mendorong pemerintah untuk lebih serius dalam membangun infrastruktur pendukung ekspor, seperti pelabuhan dan fasilitas logistik yang memadai. Efisiensi distribusi produk akan meningkatkan daya saing Indonesia di pasar internasional.
"Saya optimis Indonesia mampu keluar dari tekanan, asalkan kebijakan yang diambil tepat, dibarengi tindakan yang cepat dan terukur, serta kerja sama lintas sektor,” pungkasnya. [Tp]