telusur.co.id - Kekerasan di sekolah kedinasan kembali muncul hingga mengakibatkan korban meninggal dunia. Kekerasan di sekolah kedinasan harus segera disetop secara sistemik. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diminta agar tak sekadar sebagai pemberi izin namun melakukan evaluasi atas keberadaan sekolah di lingkungan kementerian/lembaga (K/L) itu.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Pendidikan (Puskapdik) Satibi Satori mengatakan keberadaan sekolah kedinasan tidak sama dengan sekolah atau lembaga pendidikan pada umumnya terkait relasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sekolah kedinasan melahirkan fenomena dualisme regulator di bidang pendidikan.
“Dualisme antara instansi penyelenggara pendidikan dan Kemendikbbud di sisi yang lain dalam sekolah kedinasan menjadi penghambat tujuan pendidikan nasional,” kata Satibi di Jakarta, Senin (6/5/24).
Kandidat doktor pendidikan di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta ini mengungkapkan secara normatif payung hukum sekolah kedianasan diatur melalui PP No 57 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Perguruan Tinggi oleh Kementerian lain dan Lembaga Pemerintah Non-Kementerian. Regulasi tersebut tidak memberi ruang bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam urusan pengawasan dan penjaminan mutu lembaga pendidikan.
“Mendikbud hanya memberi izin saja, tak ada ruang pengawasan, evaluasi apalagi membubarkan sekolah kedinasan. Kemendikbud tidak memilki ruang akademik maupun non akademik terhadap sekolah kedinasan,” tegas Satibi.
Satibi berpendapat semestinya terdapat rentang kendali yang dimiliki Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terhadap sekolah kedinasan yang tak hanya pada aspek pemberi izin yang merepresentasikan sisi administratif pemerintahan. Lebih dari itu, Satibi menyebutkan semestinya dapat melakukan pengawasan dan penjaminan mutu Perguruan Tinggi Kementerian Lain (PTKL).
“Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mestinya memiliki rentang kendali dengan perguruan tinggi kementerian lain pada aspek pengawasan, evaluasi hingga penjaminan mutu,” sebut Satibi.
Di bagian lain, Satibi menyebutkan kekerasan yang kerap terjadi di lingkungan sekolah kedinasan harus disetop. Keterlibatan pemerintah, penyelenggara sekolah, para alumni serta sivitas akademika memiliki peran untuk menghentikan praktik yang kerap terulang tersebut.
“Butuh duduk bersama pelbagai pemangku kepentingan untuk menghentikan praktik kekerasan ini. Di lingkungan pendidikan dibutuhkan budaya egaliter, kebersamaan dan saling toleran,” cetus Satibi.
Sebagaimana maklum, siswa taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) atas nama Putu Satria Ananta Rustika meninggal dunia setelah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh seniornya. Kepolsiian telah menetapkan TRS sebagai tersangka atas kasus penganiayaan kepada yuniornya. [Prt]