telusur.co.id - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkap data perihal kasus kekerasan di sekolah, dari mulai kekerasan fisik, kekerasan psikis, hingga kekerasan seksual. Berdasarkan hasil pengawasan KPAI pada 2018 dan 2019 sebelum pandemi Covid-19, terdapat 72 persen kekerasan fisik di sekolah, 9 persen kekerasan psikis dan 2 persen kekerasan seksua.
Komisioner KPAI Retno Listyarti mengatakan, kemungkinan kasus kekerasan seksual lebih dari 2 persen. Pasalnya, kalau kekerasan seksual mungkin lebih diadukan kepada kepolisian dibanding kepada KPAI, karena itu adalah ranah pidana.
"Bersetubuh dengan anak-anak atau melakukan suatu tindakan seksual kepada anak-anak, itu tidak ada suka sama suka, tidak ada mau sama mau, karena ini soal relasi kuasa juga. Mana tahu anak tentang konsep seksual, apalagi ketika anak itu SD, nah 2 persen itu tetapi ditambah dengan 13 persen dari pantauan kami tidak dilaporkan KPAI tetapi ada di media, maka kami pun melakukan pengawasan," kata Retno dalam diskusi Empat Pilar MPR RI bertajuk 'Mendorong Keberpihakan Negara dalam Perlindungan Anak' di Media Center DPR Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (13/12/21).
Dari hasil pengawasan KPAI pada 2018, kata Retno, korban itu justru mayoritas anak laki-laki. Retno mengingatkan, baik anak laki-laki maupun anak perempuan semuanya rentan mengalami kekerasan seksual. Dia menyebut, kasus pertama pada 2018 terjadi di Kabupaten Tangerang. Di mana seorang guru olahraga melakukan sodomi terhadap 41 siswa dengan dengan modus memberikan kesaktian dan ilmu pelet kepada anak-anak itu.
Kedua adalah kasus di Jombang di mana 25 siswi menjadi korban guru Bahasa Indonesia di sekolah itu dengan modus ruqyah.
"Kemudian kasus di SD di Surabaya, korbannya mencapai 65 siswa. Ini dilakukan pelaku selama 3 tahun. Jadi bayangkan, di Jakarta juga pernah terjadi 2018 yaitu 16 siswa dan itu jumlahnya kalau kita hitung, maka antara laki-laki dengan perempuan, lebih banyak anak laki-laki pada 2018, angka itu dari 65+41+16 jadi lebih dari 120 adalah laki-laki. Sementara data yang dihimpun KPAI, kasus dengan korban perempuan itu terjadi di Jombang 25 orang dan Cimahi sebanyak 7 orang," urai Retno.
Lalu pada 2019, korban kekerasan seksual lebih banyak menimpa anak perempuan daripada anak laki-laki. Di mana 52 anak laki-laki, sedangkan anak perempuan angkanya di atas 100 orang.
”Yang lebih mengagetkan, bahwa pelaku kekerasan seksual itu 88 persen merupakan guru dan 22 persen merupakan kepala sekolah. Itu berdasarkan data KPAI 2018-2019. Adapun guru berasal dari sejumlah mata pelajaran seperti olahraga, guru agama, guru kesenian, komputer, IPS, Bahasa Indonesia dan mata pelajaran lainnya,” ungkapnya.
Dari 88 persen guru yang melakukan kekerasan seksual, 40 persen adalah guru olahraga dan 13,3 persen adalah guru agama, selebihnya adalah guru kesenian, guru komputer, guru IPS, guru bahasa Indonesia dan lain-lain. Adapun bentuk kekerasan seksualnya, kata Retno, mulai dari sodomi, perkosaan, pencabulan maupun pelecehan seksual atau juga melakukan oral.
Berdasarkan jenjang pendidikan, kata Retno, kasus paling tinggi terjadi pada Sekolah Dasar (SD) yaitu 64,7 persen, kedua jenjang SMP dan sederajat sebesar 23,53 persen, sedangkan di SMA atau sederajat itu kasusnya sekitar 11,77 persen. Menurut Retno, lokasi kekerasan seksual biasanya terjadi di lingkungan sekolah, perkemahan dan bus pariwisata.
Retno mengaku, belum melihat ada sistem pencegahan, pengaduan, penanganan dan bahkan penindakan sebagaimana Permendikbud 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Termasuk peraturan di Kementerian Agama (Kemenag).
"Harusnya ini menjadi momentum untuk memperbaiki sistem pengawasan, kontrol, pencegahan. Kalau ada sistem pengaduan yang kuat ada sistem pengawasan yang kuat, itu akan memberikan perlindungan terhadap anak-anak kita," ujar Retno. [Tp]