Kemajuan Artificial Intelligence: Petaka atau Kemudahan? - Telusur

Kemajuan Artificial Intelligence: Petaka atau Kemudahan?

Foto : Ilustrasi AI (doc: shutterstock.com)

telusur.co.idOleh : Nadya Permata Putri Az Zahra
 
Sudah tak asing lagi bila di beberapa tahun kebelakang, penggunaan AI (artificial intelligence) seperti ChatGPT, Blackbox AI, dan lainnya kini menjadi alat yang tidak bisa terlepas di fitur ponsel sebagian besar masyarakat di seluruh penjuru dunia. Yang menjadi pertanyaan, apakah kehadiran AI ini akan memudahkan aktivitas manusia, atau malah sebaliknya?

AI Dalam Pendidikan

Data survei yang dilakukan oleh Menkomdigi mengungkapkan bahwasannya 87% pelajar di Indonesia menggunakan bantuan AI, hal ini membuat Indonesia menjadi negara ketiga dengan penggunaan AI paling banyak.

Didapatkan pula data dari penelitian MIT (Massachusetts Institute of Technology) yang membandingkan antara scan otak sekelompok pengguna ChatGPT dan kelompok yang tidak menggunakan AI untuk menulis esai dengan tema tertentu. 

Hasilnya? otak akan mengalami penurunan kinerja seperti pergeseran kognitif yang berdampak pada pelemahan hubungan dan memori saat sedang menulis esai atau naskah karena tidak adanya keterlibatan lebih jauh dan mendalam saat menuliskannya.
 
AI di Bidang Seni dan Industri Kreatif

Sedangkan dalam industri kreatif sendiri, teknologi generating image AI menggunakan data serta informasi yang jumlahnya sangat besar dari hasil pekerja seni yang ada di internet, lalu menghasilkan gambar baru. Kemajuan AI mengenai generative tools ini juga telah berkembang hingga AI mampu menciptakan video dan lagu.

Banyak sekali perdebatan yang muncul mengenai penggunaan AI. Sebagian berpendapat bahwa dengan adanya AI, pekerjaan manusia di industri kreatif lebih dipermudah dan efisien dalam segi biaya. 

Namun sebagian lagi menyatakan kontra dengan AI di industri kreatif Karena dengan adanya AI, pekerja terutama di bidang seni, dirampas hak karya seninya tanpa izin atau regulasi yang jelas pada mereka.

Apa yang Seharusnya Dilakukan Pemerintah?
 
Di Eropa sendiri telah diatur oleh regulasi pionir yang dinamakan European Union Artificial Intelligence Act (EU AI Act) yang telah disahkan oleh Parlemen Eropa pada Maret 2024 dan mulai berlaku secara bertahap sejak 2025 dengan 3 klasifikasi :

1. Resiko Tinggi: Penilaian dan evaluasi secara ketat diberlakukan untuk sistem AI yang beresiko tinggi di bidang kesehatan, keselamatan, supremasi hukum, dan hak asasi manusia.
2. Resiko Rendah: Sistem AI dengan resiko rendah seperti sistem penyaring spam hanya perlu memenuhi persyaratan transparansi kepada pengguna bahwa layanan yang mereka gunakan terintegrasi dengan AI.
3. Resiko Tidak Dapat Diterima: Beberapa sistem AI di Eropa dilarang untuk melindungi hak-hak warganya seperti sistem penilaian sosial, pengenalan emosi di sekolah atau tempat kerja, dan penggunaan identifikasi biometrik jarak jauh oleh penegak hukum, dapat dikecualikan untuk kasus yang termasuk serius.

Dilihat dari bagaimana cara Eropa meregulasi peraturannya mengenai AI, dapat diambil kesimpulan bahwa pemerintahan di Eropa membuat kebijakan yang masih menyeimbangkan antara perlindungan hak fundamental warganya tetapi tetap mendorong inovasi teknologi dengan pendekatan yang ketat dan terstruktur.

Sedangkan di Indonesia sendiri, regulasi yang mengatur AI secara ketat seperti di Eropa sampai saat ini belum dicanangkan. Hal ini tentu merugikan pekerja industri seni dan kreatif serta berdampak pada pendidikan Indonesia.

Pemerintah seharusnya lebih sadar mengenai pengendalian AI di era digitalisasi saat ini sangat dibutuhkan. Pasalnya bila tidak ada regulasi yang jelas, penggunaan AI tanpa regulasi bisa saja merugikan pihak-pihak tertentu dan melanggar hak warga Indonesia.

Regulasi bukanlah untuk menghambat inovasi, melainkan untuk memberikan arah dan perlindungan. Tanpa kebijakan yang adaptif dan antisipatif, ketimpangan digital serta penyalahgunaan teknologi akan semakin sulit dikendalikan.

Indonesia membutuhkan kebijakan hukum yang mampu menjaga keseimbangan antara kemajuan teknologi dan hak-hak masyarakat, agar kecerdasan buatan benar-benar menjadi alat bantu yang memberdayakan, bukan menggantikan atau merugikan.

Masa depan bangsa sangat bergantung pada bagaimana kita menyikapi revolusi teknologi ini. Apakah kita akan menjadi tuan atas teknologi, atau justru menjadi tawanan dari ciptaan kita sendiri?

*Penulis adalah Mahasiswa S1 Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP UNAIR).


Tinggalkan Komentar