KEPAKARAN DAN PENDIDIKAN 4.0 - Telusur

KEPAKARAN DAN PENDIDIKAN 4.0


Penulis: Moh. Ikhsan Kurnia, MBA.
(Lingkar Pengetahuan Foundation)

Telusur.co.id - Mana yang lebih dulu, permintaan (demand) ataukah penawaran (supply)? Secara teori, salah satu dari keduanya bisa muncul lebih dulu. Namun untuk konteks pendidikan, apakah yang muncul kebutuhan masyarakat terlebih dahulu (sebagai demand), ataukah sistem pendidikan terlebih dahulu (sebagai supply)?

Sebagian orang (termasuk para pembuat kebijakan) selama ini memandang bahwa sistem pendidikan ditentukan oleh perkembangan kebutuhan masyarakat. Artinya, demand hadir lebih dulu. Pendidikan hanya mensuplai kebutuhan tersebut. Sehingga tidak heran jika Puncreobutr (2016) menyebutkan bahwa fase perkembangan pendididikan ditentukan oleh perubahan kebutuhan masyarakatnya. 

Ia menyebutkan bahwa Education 1.0 hadir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat agraris. Education 2.0 muncul sebagai respon untuk memenuhi kebutuhan masyarakat industri. Kemudian Education 3.0 hadir untuk menyediakan kebutuhan masyarakat teknologi. Kini, Education 4.0 muncul untuk memenuhi kebutuhan masyarakat inovasi.

Jika basis berfikir demikian diadaptasi oleh para pembuat kebijakan, maka tidak heran kalau sistem pendidikan kerapkali diubah-ubah sesuai dengan perkembangan kebutuhan penggunanya (the users). 

Istilah user (pengguna jasa pendidikan) disini seharusnya dialamatkan kepada siswa/mahasiswa, karena merekalah yang membayar biaya pendidikan. Namun, saat ini tampaknya justru lebih dialamatkan kepada pasar kerja. Sehingga siswa/mahasiswa akhirnya tidak punya banyak pilihan selain menerima service pendidikan yang diorientasikan untuk pemenuhan pasar kerja (dunia industri).

Apakah itu salah? Mungkin tidak. Link and match antara pendidikan dengan kebutuhan dunia industri juga diperlukan. Kebutuhan Revolusi Industri 4.0 yang diselimuti kecanggihan teknologi semacam artificial intelligence, komputasi cloud, IoT, big data, teknologi robotik, harus direspon secara “agile” (lincah) dengan pembangunan suprastruktur dan infrastruktur pendidikan 4.0.

Namun, menurut saya, pendidikan tidak boleh seenaknya direduksi menjadi pranata yang hanya menyediakan kebutuhan akan keterampilan atau memfasilitasi pengembangan bakat dan kecerdasan. Yang perlu kita sadari adalah bahwa:

1.    Pendidikan berbeda dengan pengajaran (teaching).
2.    Pendidikan berbeda dengan pelatihan (training) 
3.    Pendidikan berbeda dengan kursus (course)
4.    Pendidikan berbeda dengan mentoring 
5.    Pendidikan berbeda dengan coaching

Pengajaran, pelatihan, kursus, mentoring dan coaching mungkin dapat dilakukan secara digital/online, namun semua itu tidak dapat mensubstitusi definisi pendidikan yang sejatinya berdimensi holistik dan komprehensif. 

Di dalam pendidikan, ada nilai-nilai normatif dan moralitas (etika, adab) yang hanya efektif dibangun melalui pendidikan tatap muka. 

Pendidikan tidak boleh berdimensi parsial. Ia mencakup dimensi pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) sekaligus perilaku (behavior) yang diramu secara khusus dengan sentuhan tangan keteladanan dan keikhlasan para pendidik/guru. Ia tidak akan pernah bisa tergantikan oleh teknologi yang bersifat mekanistik.

Sistem dan kualitas pendidikan bangsa ini memang sudah sangat krusial untuk diperbaiki. Namun, jangan sampai mengubah akar filosofi dan tata nilai pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang ada bisa dimodifikasi dan ditransformasi dari sisi metode dan teknologinya, tanpa harus mencerabut tata nilainya. 

Jangan sampai pendidikan kita berhasil menciptakan SDM yang skillful, namun memiliki karakter egoistik dan individualistik akibat metode pembelajaran yang semakin “personal” melalui teknologi.

Untuk itu, sekolah dan Perguruan Tinggi (PT) harus tetap menyediakan layanan pendidikan yang holistik dan komprehensif. Pendidikan berbasis karakter yang sedang digodok menjadi produk kebijakan Kemendikbud perlu didukung, namun harus dipastikan tidak terjadi reduksi terhadap tata nilai dan tujuan pendidikan yang selama ini menjiwai pendidikan Indonesia.

KEPAKARAN 4.0

Saya memprediksi pendidikan masa depan kita akan semakin berorientasi pada kepakaran (expertness). Kepakaran adalah “high degree of skill in or knowledge of a certain subject”. Hal ini karena adanya division of labor yang semakin spesifik (terspesialisasi). Sehingga orang akan cenderung memilih jenis keahlian (expertise) yang diinginkannya. 

Untuk bisa survive dalam hidup/bekerja, manusia tidak perlu menguasai banyak hal, melainkan cukup ahli di satu bidang tertentu. Tentu dengan keahlian yang mendalam.

Meskipun demikian, orientasi kepakaran (expertness) tetap tidak boleh menjadi produk reduksi dari pendidikan. Pendidikan harus tetap holistik dan komprehensif, sementara kepakaran boleh bersifat parsial-teknokratik. 

Program pengembangan kepakaran boleh sepenuhnya dilakukan secara digital/online. Untuk memiliki keahlian di bidang tertentu, kita cukup belajar dan bertanya kepada pakarnya. Pembelajaran bisa dilakukan dengan model pelatihan, kursus, mentoring, coaching ataupun hanya sekadar tanya-jawab, baik dengan cara direct maupun indirect, selama terjadi transfer keahlian dari pakarnya.

Pendidikan dan kepakaran harus bersinergi, agar tercipta sumber daya insani yang memiliki karakter utuh sebagai manusia sekaligus memiliki hardskill yang spesifik sebagai profesional.

 


Tinggalkan Komentar