Ketika Kejahatan Jalanan Menjadi Cermin Retaknya Kedaulatan Sosial - Telusur

Ketika Kejahatan Jalanan Menjadi Cermin Retaknya Kedaulatan Sosial

Ketua Bidang Hukum, Pertahanan, dan Keamanan Regional BADKO HMI Jawa Timur, Dzulkarnain Jamil

telusur.co.id - Tragedi penembakan hansip Atim Suhara di Cakung dan penculikan balita Bilqis di Makassar menjadi cermin buram bahwa negara tengah mengalami kelelahan etis dan kehilangan fungsi protektif terhadap rakyatnya.

Menurut Ketua Bidang Hukum, Pertahanan, dan Keamanan Regional Badko HMI Jawa Timur, Dzulkarnain Jamil, sekaligus akademisi Universitas Brawijaya, dua peristiwa yang terjadi di lokasi berbeda itu sesungguhnya berakar dari satu sumber yang sama: negara yang lelah menjaga.

“Darah rakyat kecil kerap tumpah tanpa gema, sementara pusat kekuasaan sibuk mengurusi lalu lintas politik. Tragedi Cakung dan Makassar adalah dua cermin yang saling berhadapan memperlihatkan wajah muram republik yang kehilangan empati,” papar Dzulkarnain. Senin, (10/11/2025).

Keamanan yang Menjadi Kemewahan Politik

Dzulkarnain menilai, kejahatan jalanan kini bukan lagi sekadar tindak kriminal biasa, melainkan simptom ideologis dari negara yang kehilangan roh moral kekuasaannya.

“Ketika aparat sibuk mengatur lalu lintas kekuasaan, rakyat dibiarkan mengatur nasibnya sendiri di jalanan yang kian gelap. Di titik ini, keamanan bukan lagi hak sosial, melainkan kemewahan politik,” ujarnya.

Ia mencontohkan kasus Atim Suhara, hansip yang ditembak mati ketika mencoba menggagalkan pencurian motor di lingkungannya. Menurut Dzulkarnain, tragedi itu memperlihatkan betapa fungsi protektif negara telah direduksi menjadi slogan administratif.

“Atim Suhara hanyalah representasi moral dari rakyat kecil yang melawan ketakutan dengan keberanian, saat institusi hukum gagal menghadirkan rasa aman,” katanya.

“Dalam bahasa filsafat politik, negara telah kehilangan moral consent. persetujuan batin rakyat terhadap wibawa kekuasaan. Kini, negara hanya memonopoli kekerasan yang bersifat reaktif, bukan legitimasi moral yang hidup di kesadaran rakyatnya,” sebutnya.

Dehumanisasi dalam Ekonomi Gelap

Kasus penculikan dan penjualan bayi Bilqis di Makassar, menurut Dzulkarnain, adalah contoh paling vulgar dari dehumanisasi ekonomi di tengah sistem sosial yang timpang.

“Bayangkan, seorang anak manusia dijual Rp3 juta di tangan pertama, lalu berpindah ke pembeli akhir dengan harga Rp80 juta. Ini menunjukkan bahwa dalam ekonomi bawah tanah, manusia kehilangan martabatnya dan berubah menjadi komoditas biologis,” jelasnya.

Ia menambahkan, kejahatan ini tidak lahir dari kebiadaban individu semata, melainkan dari kemiskinan struktural yang dibiarkan membusuk oleh sistem ekonomi yang timpang.

“Negara hadir dengan pasal-pasal hukum, tetapi absen dalam distribusi keadilan sosial. Klaim pertumbuhan makroekonomi justru menutupi jurang ketimpangan yang menumbuhkan kriminalitas,” tutur Dzulkarnain.

Desain Politik Kemanusiaan: Empat Langkah Strategis

Menurut Dzulkarnain, negara memerlukan desain politik kemanusiaan yang baru. bukan sekadar kebijakan hukum yang represif. Ia mengusulkan empat langkah strategis untuk mengembalikan hak dasar warga dan memperbaiki cara kerja negara hukum di tingkat sosial :

    1.    Transparansi Anggaran Keamanan.
“Anggaran keamanan di Polri dan institusi hukum harus dipublikasikan secara rinci. Dana tidak boleh hanya terserap di elit pusat, tetapi harus menyentuh program pencegahan di akar rumput, seperti penguatan peran Hansip dan Bhabinkamtibmas,” sebutnya.
    2.    Pengisian Jabatan Berdasarkan Empati.
“Pengisian jabatan strategis di kepolisian harus didasarkan pada meritokrasi yang menilai reputasi etis dan empati sosial, bukan sekadar loyalitas politik atau imbalan jabatan,” tegasnya.
    3.    Aturan Etika dan Larangan Profiling.
“Aparat harus dilarang mencampuri sengketa sipil yang berpihak pada modal, serta menghentikan praktik social profiling yang memperlakukan rakyat miskin sebagai objek kecurigaan,” katanya.
    4.    Pelatihan Keadilan Restoratif.
“Aparat perlu diberdayakan melalui pelatihan yang mengubah peran mereka dari sekadar penegak hukum menjadi agen keadilan restoratif yang fokus pada pemulihan korban, bukan hanya pemenjaraan pelaku,” tambahnya.

Kekuasaan Tanpa Empati adalah Kejahatan yang Dilegalkan

Sebagai penutup, Dzulkarnain menilai bahwa seluruh retorika tentang “kemajuan bangsa” akan ompong jika rakyat tidak lagi merasa aman di rumahnya sendiri.

“Kematian Atim Suhara dan penculikan Bilqis adalah dua cermin yang memperlihatkan wajah muram republik yang kehilangan empati,” ujarnya.

Menurutnya, kekuasaan sejati bukan diukur dari kemampuan mengawasi, tetapi dari keberanian untuk mendengarkan.

“Keadilan sosial tidak akan lahir dari senjata, melainkan dari kehadiran negara yang berani memihak mereka yang tidak berdaya,” tegas Dzulkarnain.

Ia menutup dengan kalimat reflektif; "Sebab kekuasaan tanpa empati hanyalah kejahatan yang dilegalkan.” (ari)


Tinggalkan Komentar