Ketika Pejabat Berwenang Abai, 711 Satwa Liar Yang Dilindungi Menunggu Kematian - Telusur

Ketika Pejabat Berwenang Abai, 711 Satwa Liar Yang Dilindungi Menunggu Kematian


Telusur.co.id -Oleh : Singky Soewadji. Penulis adalah Pemerhati Satwa Liar dan Koordinator Aliansi Pecinta Satwa Liar Indonesia (APECSI).

Kabut tebal menyelimuti Kebun Binatang Bandung (Bandung Zoo), maksud hati menggandeng rekan untuk memajukan Bandung Zoo yang menjadi warisan leluhur, tapi apa daya upaya itu justru membuat persoalan besar bagi Bandung Zoo.

Saat ini ada 711 makhluk hidup di Kebun Binatang Bandung yang hari ini berada di ujung tanduk. Mereka tidak mengerti apa itu sengketa aset, tidak paham apa itu banding perkara korupsi, dan tidak tahu apa arti inkracht. Yang mereka tahu hanya satu hal : Lapar, sakit, dan menunggu.

Tragisnya, ancaman terhadap ratusan satwa itu bukan disebabkan bencana alam, wabah, atau perang. Ancaman itu lahir dari ketidak hadirannya negara dalam mengambil tanggung jawab, malah sebaliknya pejabat yang berwenang ikut bermain di air keruh.

Ketika Pemerintah Kota Bandung yang bukan kewenangannya menutup operasional Kebun Binatang Bandung pada Agustus lalu, pejabat instansi yang berwenang diam, telinga dan matanya tertutup, tiba-tiba buta dan tuli.

Negara seolah berhenti pada satu tindakan administratif : Menutup ! Tetapi negara lupa pada kewajiban yang lebih mendasar : Memastikan tidak ada satu pun nyawa yang terancam akibat kebijakan itu. Apa lagi berakibat melanggar Undang-Undang yang berujung Pidana.

Penutupan dilakukan tanpa rencana darurat pakan.
Tanpa audit satwa.
Tanpa skema pengelolaan sementara.
Tanpa kejelasan siapa yang bertanggung jawab memberi makan, merawat, dan menyelamatkan satwa.

Akibatnya dapat ditebak : Pemasukan berhenti, pakan menipis, perawatan terganggu. Dan 711 satwa kini menjadi korban dari konflik hukum manusia. Pada hal Undang-Undang telah mengatur dan melindungi Satwa Liar dengan jelas dan detail.

Lebih ironis lagi, semua pihak saling melepaskan tangan.

Pengelola mengatakan mereka tidak memiliki dana karena operasional ditutup. Pemerintah daerah beralasan perkara sedang berjalan di pengadilan. Aparat penegak hukum sibuk pada berkas dan prosedur. Sementara lembaga negara yang berwenang dibidang konservasi tidak tampil sebagai komando darurat.

Di titik inilah negara kehilangan wajahnya.
Dalam hukum Indonesia, satwa bukan objek sengketa perdata . Satwa bukan aset korupsi. Satwa adalah makhluk hidup yang dilindungi undang-undang, dan negara adalah penanggung jawab terakhir atas kelangsungan hidupnya.

Kebun Binatang adalah Lembaga Konservasi, didalamnya ada Satwa Liar yang dilindungi secara Internasional, statusnya milik negara, wewenangnya sepenuhnya ada di Kementerian Kehutanan, keberadaannya di Kebun Binatang atau Lembaga Konservasi, statusnya dititipkan untuk pemanfaatan sesuai Undang-Undang No 7 Tahun 1997.
 
Menutup kebun binatang tanpa memastikan kesejahteraan satwa bukan sekadar kesalahan administratif, tapi bisa berujung Pidana bila terjadi sesuatu hal terhadap Satwa Liar yang dilindungi sesuai Undang-Undang No 5 Tahun 1990 yang telah direvisi. Ini adalah kelalaian pejabat negara.

Membiarkan satwa kelaparan karena menunggu putusan pengadilan adalah logika yang keliru dan berujung Pidana. Pengadilan bisa menunggu. Banding bisa berjalan. Sengketa aset bisa diselesaikan. Tetapi nyawa tidak bisa ditunda.

Jika satu saja satwa mati akibat kelaparan, stres, atau ketiadaan perawatan, maka itu bukan kecelakaan. Itu adalah kegagalan negara menjalankan mandat konstitusionalnya untuk melindungi kehidupan, Pidananya sudah diatur dalam Undang-Undang.

Undang-Undang No 5 Tahun 1990 Pasal 21 jelas dan tegas :

"Siapapun, dilarang memiliki, menangkap, membunuh, membawa, memelihara, memperdagangkan Satwa Liar dalam keadaan hidup maupun mati, termasuk bagian dari tubuhnya, seperti Kulit, kuku, bulu, gigi dan bagian tubuh lainnya".

Persoalan ini seharusnya sederhana : Negara dalam hal ini Kementerian Kehutanan wajib dan segera mengambil alih tanggung jawab kesejahteraan satwa, apa pun status sengketa hukumnya, karena ini perintah Undang-Undang. Bukan besok. Bukan setelah inkracht. Tapi sekarang ! Seharusnya sudah sejak kemarin-kemarin diawal kemelut terjadi.

Setelah itu, barulah negara dalam hal ini Kementerian Kehutanan yang berhak atas nama Undang-Undang bicara tentang penertiban, pengelolaan ulang, dan perbaikan tata kelola. Tanpa itu, semua klaim moral dan hukum akan terdengar hampa.

Sejarah akan mencatat bukan siapa yang memenangkan sengketa, tetapi siapa yang membiarkan ratusan makhluk hidup mati dalam diam.
Dan pertanyaan yang akan terus menghantui kita sebagai bangsa adalah : Apakah negara hadir untuk melindungi kehidupan, atau hanya piawai mengurus kertas dan kekuasaan ?

Jangan biarkan Oligarki berkuasa, melanggar peraturan dan undang-undang dengan dalih demi konservasi dan kesejahteraan satwa, meraup keuntungan dengan membeli penguasa.

Kementerian Kehutanan butuh ahli Kehutanan, bukan ahli Ke Tuhanan, yang dibutuhkan Raja Hutan, bukan Raja Juli.

Among Satwa Amrih Lestari.
Kau Peduli, Aku Lestari, Salam Lestari !

 


Tinggalkan Komentar