Ketua DKPP: Aturan Baru di Tengah Tahapan Pemilu Sebabkan Kegaduhan - Telusur

Ketua DKPP: Aturan Baru di Tengah Tahapan Pemilu Sebabkan Kegaduhan

Ketua DKPP RI Heddy Lugito dalam acara Gathering Media DKPP di Bogor, Jumat (26/9/24). (Foto: telusur.co.id/Fahri).

telusur.co.id - Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Heddy Lugito, menyoroti munculnya aturan baru di tengah tahapan Pemilu yang dinilai memicu kegaduhan publik. Menurut Heddy, perubahan regulasi saat proses Pemilu sedang berjalan dapat mengganggu jalannya demokrasi dan meresahkan banyak pihak. Ia berharap ke depan tidak ada lagi perubahan peraturan kepemiluan di tengah tahapan, karena dapat memengaruhi kualitas penyelenggaraan Pemilu.

"Dengan adanya perubahan di tengah jalan, itu bisa memengaruhi demokrasi kita secara signifikan. Pemilu belum dilaksanakan sesuai harapan semua pihak, termasuk para pemimpin bangsa ini. Masih banyak kritik yang muncul, dan itu adalah tanggung jawab kita bersama untuk melakukan perbaikan," ujar Heddy dalam acara Gathering Media DKPP di Bogor, Jumat (26/9/24).

Heddy juga menekankan perlunya perbaikan yang tidak hanya dilakukan di satu sektor, tetapi mencakup berbagai aspek, termasuk regulasi kepemiluan. 

"Wacana yang muncul adalah adanya satu undang-undang pemilu yang komprehensif. Saya berharap tidak ada peraturan baru yang muncul di tengah tahapan. Hal ini menimbulkan kegaduhan publik yang luar biasa, seperti yang kita lihat terkait UU Pilkada," jelasnya.

Menurutnya, kesuksesan penyelenggaraan Pemilu harus diiringi dengan pemahaman yang baik oleh publik tentang tugas dan fungsi DKPP. Sayangnya, Heddy mencatat bahwa masih banyak masyarakat, bahkan di kalangan penyelenggara Pemilu sendiri, yang belum sepenuhnya memahami bahwa putusan DKPP bersifat final dan mengikat.

"Kami mengakui bahwa masih ada satu atau dua pihak yang mencoba mengajukan pengaduan atas putusan DKPP. Menurut saya, ini bukan kesalahan siapa pun, melainkan kurangnya sosialisasi dari DKPP. Jika kami lebih masif melakukan sosialisasi, publik akan lebih memahami mekanisme dan putusan kami," tambah Heddy.

Selain itu, Heddy juga mengungkapkan bahwa jumlah pengaduan pelanggaran etik dalam Pilkada jauh lebih tinggi dibandingkan Pemilu, karena kedekatan antara penyelenggara dan peserta Pilkada. 

"Calon-calon kepala daerah biasanya memiliki hubungan erat dengan penyelenggara di tingkat bawah, seperti di kecamatan, kelurahan, bahkan KPPS, yang memicu potensi pelanggaran etik, pelanggaran pemilu, bahkan pelanggaran pidana," katanya.

Heddy berharap jurnalis dapat berperan aktif dalam memberitakan setiap perkembangan terkait pelanggaran etik, agar publik dapat memahami dengan jelas ke mana pengaduan harus disampaikan, apakah ke Bawaslu atau DKPP. Ia juga menyoroti beban kerja DKPP yang berat, dengan hanya 146 pegawai harus menangani lebih dari 500 perkara.

"Banyak kasus kepemiluan yang sebenarnya bisa diselesaikan di tingkat Bawaslu atau lembaga lain seperti MK atau PTUN, tapi sering kali malah berakhir di DKPP. Ini bukan masalah DKPP menolak menangani kasus-kasus tersebut, tetapi beban besar ini tidak sebanding dengan postur organisasi yang ada. Dengan jumlah pegawai yang terbatas, ini menjadi tantangan serius bagi kami," pungkasnya. [Tp]


Tinggalkan Komentar