Oleh: Suroto*
Lagi-lagi konflik di daerah tambang membuat pilu menyayat hati. Baru usai represi terhadap rakyat lemah di Wadas, Jawa Tengah, kita dikagetkan dengan gugurnya Erfaldi, suhada pejuang penolakan tambang emas di Parigi, Sulawesi Tengah, oleh korporasi PT. Trio Kencana. Erfaldi harus meregang nyawa tertembus timah panas.
Berderet masalah terus menyeruak, tak hanya Parigi dan Wadas, sederet kasus lainya sedang berlangsung. Seperti kasus penolakan tambang semen Kendeng, Jawa Tengah, tambang emas di Sangihe, Sulawesi Utara, dan lain sebagainya.
Konflik di daerah tambang terus berulang, seperti fenomena gunung es. Menyisakan masalah serius kemanusiaan hingga meregangnya nyawa, trauma mendalam atas kekerasan yang terjadi, serta perpecahan perikatan sosial masyarakat.
Di balik berbagai peristiwa kejahatan kemanusiaan tak terperi itu, kita saksikan secara kolosal di depan mata bagaimana negara telah kalah di depan kuasa korporasi kapitalis. Datangnya perusahaan tambang di daerah-daerah bukan menjadi berkah, namun justru jadi petaka bagi masyarakat setempat.
Dalam kasus yang terjadi, perusahaan tambang itu seperti sebuah jaringan mafioso yang mengangkangki hukum yang berlaku di republik ini.
Kasus Kendeng adalah contoh yang buruk dalam penegakkan hukum. Gugatan petani sedulur sikep di Kendeng sudah menang di Pengadilan, namun perusahaan tetap beroperasi. Padahal putusan pengadilan sudah final (inkracht).
Pulau Sangihe yang masuk kelompok pulau kecil dan tak boleh ditambang menurut peraturan perundang-undangan juga tetap diberikan izin oleh pemerintah pusat untuk beroperasi. Penolakan masyarakat dan pemerintah daerah yang sangat masif terhadap korporasi PT. TMS ternyata tetap tak membuat perusahaan menyurutkan usahanya.
Perusahaan tambang yang berasal dari Kanada itu sudah dua kali mencoba untuk memasukkan mesin-mesin tambang melalui pelabuhan. Masyarakat berhasil mengusirnya, namun sampai saat ini masih terus mencari saat masyarakat lengah dan terus berusaha mengusik ketenangan masyarakat.
Tak hanya masalah kemanusiaan, perusahaan tambang itu juga telah ciptakan kerusakan lingkungan dan bahkan bekas tambang yang menganga lebar tanpa reklamasi telah banyak merengut nyawa anak-anak di berbagai tempat.
Modus operandi perusahaan tambang selalu gunakan cara mengadu domba antar warga. Sebagian warga yang menolak dihadapkan dengan warga yang menerima dengan mengiming-imingi sejumlah kompensasi uang maupun janji-janji tertentu, seperti peluang pekerjaan baru di perusahaan tambang.
Dengan dalih telah mendapatkan izin dari pemerintah, perusahaan tambang lalu biasanya meminta kepada aparat keamanan untuk mengamankan kegiatan operasi. Mereka merangsek masuk dan menggilas warga yang menolak.
Investasi yang ada dijaga ketat aparat keamanan karena dianggap sebagai instalasi penting negara.
Berbagai riset menunjukkan, masyarakat di daerah tambang itu selalu menunjukkan kehidupan yang lebih buruk dari sebelumnya, baik ditinjau dari kualitas hidup maupun lingkunganya. Mereka tidak memberikan keuntungan jangka panjang apapun buat masyarakat kecuali kenikmatan sesaat ketika terima uang ganti rugi. Apalagi di daerah yang sulit dijangkau semacam Freeport di Papua, masyarakat di daerah itu jangankan keuntungan, akses saja tidak punya.
Perusahaan tambang dimana-mana orientasinya adalah untuk mengejar keuntungan bagi segelintir orang pemilik perusahaan semata. Pemilik saham perusahaan bahkan mungkin tak pernah menginjakkan kakinya di daerah tambang tersebut.
Bung Hatta, ekonom dan pendiri republik ini telah berikan peringatan keras soal tambang ini. Bung Hatta dalam berbagai kesempatan pidato maupun tulisan menegaskan agar ekonomi ujung itu jangan jadi pangkal dan yang pangkal jangan jadi ujung (1951).
Ekonomi ujung itu adalah komoditi esktraktif seperti hasil tambang dan perkebunan monokultur semacam Sawit. Sedangkan ekonomi pangkal adalah ekonomi domestik: pangan dan energi.
Inti pemikiran Bung Hatta tersebut adalah, bahwa ekonomi sebuah negara yang kuat itu adalah berorientasi pada bagaimana ciptakan kemandirian pangan dan energi. Industrialisasi pangan berbasis keluarga harusnya yang jadi fondasi dasar ekonomi. Tambang hanyalah pelengkap dan kalaupun dikerjakan harus dengan bijak.
Surplus dari produk pangan yang berkualitas berbasis industri keluarga yang harusnya menjadi kekuatan eksportasi kita. Bukan komoditi ekstraktif seperti hasil tambang dan perkebunan monokultur semacam Sawit yang harganya selalu dikendalikan oleh mafia pasar oligopoli.
Konspirasi Kapitalisme Global
Jika kita pahami lebih dalam, kasus di daerah tambang yang terjadi di negara-negara miskin dan berkembang sebetulnya adalah ekses dari sebuah konspirasi besar elit kapitalis dan negara imperialis.
Elit kapitalis dan negara imperialis melalui berbagai organisasi multilateral seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank, World Trade Organization (WTO) dan lain-lain itu masuk merangsek ingin kuasai terus ekonomi negara miskin dan berkembang. Mereka menjebak negara miskin dan berkemban melalui skema ketergantungan terhadap utang, investasi di sektor komoditi ekstraktif seperti tambang dan perkebunan monokultur dan importasi untuk konsumsi.
Utang dari lembaga lembaga multilateral maupun utang bilateral dari negara negara maju itu masuk dan dieskalasi di saat terjadi krisis ekonomi konjungtural maupun insidental. Sebut misalnya krisis ekonomi tahun 1997 lalu krisis tahun 2008 dan krisis ekonomi akibat Pendemi saat ini.
Melalui "utang haram" yang penggunaannya dikomitmenkan itu, negara-negara maju tak hanya mendapatkan keuntungan dari bunga, kepentingan lebih besar mereka adalah untuk jebak negara miskin dan berkembang seperti Indonesia agar kondisi fiskalnya menjadi bergantung pada utang.
Seperti Indonesia saat ini, utang yang meningkat secara agresif di masa pemerintahan Jokowi telah membuat ruang fiskal negara menjadi sangat bergantung dari utang.
Bahkan, utang yang terjadi sudah terlalu ugal-ugalan karena posisinya tidak lagi gali lobang tutup lobang tapi gali lobang buat jurang. Untuk membayar angsuran utang dan bunga utang kita terpaksa harus terus berhutang. Sehingga kita berada dalam bayang-bayang resiko utang gagal bayar.
Ruang fiskal kita menjadi sangat sempit dan diperkirakan dengan simulasi anggaran tahun 2022 yang ada saat ini kita akan menanggung utang hingga tahun 2024 sebesar 10.500 triliun rupiah.
Utang haram yang ada itu dikomitmenkan untuk bangun infrastruktur fisik seperti jalan raya, waduk, listrik, bandara, pelabuhan dan lain lain. Infrastruktur yang ada itu sebetulnya untuk dijadikan sebagai daya dukung bagi kepentingan investasi asing di komoditi ekstraktif tambang dan perkebunan monokultur semacam sawit.
Selain itu, mereka butuh daya dukung infrastruktur regulasi, seperti misalnya bentuk UU Ciptakerja yang dibentuk secara inkonstitusional dan isinya sesungguhnya hanya untuk perlancar kepentingan investasi konglomerat dan investasi asing itu.
Mereka, sebetulnya juga telah secara sistematik lemahkan berbagai regulasi ekonomi yang ada. Misalnya, kita adalah pemilik UU terliberal di dunia untuk sektor perbankkan. Kepemilikan asing dibiarkan kepemilikannya hingga 99 persen. Bandingkan, misalnya, dengan Malasya yang hanya perkenankan kepemilikan asing hingga 17,5 persen.
Sebagaimana kita tahu, dalam ekonomi, sektor keuangan itu ibarat tubuh adalah darah. Kita bebaskan negara lain kuasai darah dalam tubuh kita. Sebut misalnya BRI, Bank yang katanya milik negara ini saja 83 persen saham publiknya telah dikuasai asing.
Sektor perbankkan kita bukan lagi berfungsi sebagai lembaga intermediasi apalagi sebagai agen pembangunan, namun justru jadi lembaga ekploitatif yang sedot keuntungan sektor riil yang jadi urat nadi ekonomi kita. Mereka juga terus mengeruk keuntungan dari kebijakan moneter bank sentral kita yang selalu pertahankan BI rate tinggi.
Bank-bank yang dikuasai asing itulah yang secara taktis bekerja mendukung pembangunan infrastruktur fisik demi investasi di sektor komoditi ekstraktif semacam tambang dan perkebunan monokultur.
Tak cukup disitu, mereka juga mengeruk keuntungan kembali dengan kendalikan harga harga komoditi ekstraktif tersebut di pasaran internasional secara oligopolistik. Sehingga nilai tambahnya tak banyak yang kita terima.
Perusahaan tambang dan perkebunan monokultur itu juga sebabkan penyerobotan tanah dimana-mana. Sehingga petani kita saat ini 74 persennya hanya jadi buruh tani. Sisanya adalah petani gurem yang hanya kuasai lahan per kapita sebesar 0.33 ha.
Mafia kapitalis global itu dengan berkongkalikong dengan elit penguasa dan pengusaha konglomerasi nasional kita buat kita bergantung pada import pangan. Mereka lagi-lagi menangguk untung ekonomi dari eksportasi pangan mereka. Segelintir konglomerat nasional mendapatkan untung dari keistimewaan import pangan. Para elit penguasa dapat terus pertahankan kekuatan politiknya karena rakyat dapat terus disandera dalam kemiskinan.
Akibatnya, dari kebutuhan konsumsi kita yang berkontribusi terhadap 60 hingga 70 persen pertumbuhan ekonomi kita hanya berada di bawah bayang bayang importasi. Tahun 2018 misalnya, neraca perdagangan kita sempat defisit hingga 5,8 milyard dolar amerika yang berarti terburuk sejak tiga dekade sebelumnya.
Dikarenakan apa yang kita makan itu andalkan importasi maka kita akhirnya masuk dalam jebakan bayang bayang inflasi setiap saat. Kasus harga kedelai yang sempat meningkat tajam karena kurang lebih 80 persen andalkan dari Amerika Serikat itu sempat membuat resah masyarakat. Belum lagi harga minyak goreng, pupuk yang sedang menyeruak saat ini.
Ekonomi kita berada dalam cawan rapuh. Siapapun pemimpin republik ini kelak akan selalu menjadi mudah dapat tekanan ekonomi dan politik dari elit kapitalis dan negara negara imperalis.
Dari absenya komitmen untuk membangun sektor domestik pangan kita akhirnya sebabkan jumlah surplus tenaga kerja di desa. Sehinga ciptakan urbanisasi yang sediakan tenaga buruh murah untuk industri pabrikasi milik segelintir konglomerat dan investasi asing.
Narasi Tanding Tambang
Kasus konflik di daerah tambang dan perkebunan monokultur itu sesungguhnya adalah bagian dari problem simtomik yang merupakan bagian dari ekses jalin kelindan konspirasi besar mafia elit kapitalis dan negara imperialis yang terus ingin keruk dan kuasai ekonomi kita. Namun masalah ini tak hanya cukup kita lawan hanya dengan penolakkan, tapi dengan ciptakan narasi tandingnya. Termasuk soal tambang, mustinya perlu dikembangkan model tambang lestari sebagai alternatifnya.
Kita pahami kebutuhan akan barang tambang memang sebuah keniscayaan bagi negara manapun. Sebut misalnya kebutuhan dasar seperti urukan, batu, pasir dan mineral logam, minyak dan lain lain. Hal ini tak dapat dipungkiri dan hidup tanpa tambang sama sekali itu hanya utopi.
Tapi masalahnya, bagaimana sebaiknya pertambangan itu dikerjakan secara bijak adalah hal yang penting. Termasuk untuk menangani masalah yang selalu muncul baik itu konflik dan masalah residu sosial ekonomi dan kerusakan lingkungan yang terjadi.
Penulis disini mengusulkan apa yang disebut sebagai tambang lestari. Sebuah pertambangan yang bertolak belakang dengan konsep tambang yang beroperasi di tanah air selama ini.
Konsep tambang lestari itu adalah pertambangan yang berparadigma kemanusiaan dan menaruh kepedulian lingkungan yang tinggi. Tambang lestari adalah sebuah pertambangan yang tidak berorientasi pada model kepentingan investor belaka (investor-driven), melainkan pada kepentingan warga (people-driven).
Tambang lestari tujuanya adalah bukan untuk mengejar keuntungan (profit oriented) semata namun pada aspek orientasi manfaat (benefit oriented) bagi warga. Sehingga keberlangsungan dari ekosistem tetap terjaga.
Model tambang lestari ini tentu karena paradigmanya bertolak belakang pada kepentingan investor semata maka kelembagaannya juga harus dikembangkan sebagai sebuah organisasi perusahaan demokratis. Organisasi perusahaan tambang itu baiknya berbentuk koperasi. Dimana setiap warga yang terlibat dan kelestarian alam di tempatkan sebagai yang supreme dan dikelola secara transparan dan demokratis.
Model tambang lestari ini boleh saja mengundang investor, tapi mereka didudukkan sebagai bagian dari salah satu klaster kepentingan dan tidak dominan. Mereka boleh mengambil keuntungan, namun semua di letakkan dalam platform koperasi yang diawasi dan dikendalikan secara demokratis oleh masyarakat.
Tambang lestari ini juga menyangkut soal soal teknis, bagaimana upaya reklamasi itu dijamin berjalan dengan baik dengan konsultan ahli, teknis eksplorasi yang seramah ramahnya terhadap lingkungan dan diusahakan sedemikian rupa. Semua itu mungkin hanya karena setiap upaya menambang itu dikerjakan dalam sistem partisipasi demokratis dan berkeadilan di dalam sistem koperasi milik bersama.
Diharapkan dengan model tambang lestari ini tak hanya akan mengubah wajah dunia pertambangan kita yang penuh masalah kemanusiaan dan lingkungan, tapi akan benar benar bijak dalam melakukannya. Sebab bagaimanapun kalau kita disuruh memilih, bumi dan seisinya ini sesungguhya menjadi tanggung jawab kita untuk terus dapat kita jaga kelestarianya.[***]
*) Ketua AKSES INDONESIA