Oleh : Suroto*
DALAM pengembangan sistem perkebunan, sebetulnya kita masih mewarisi sistem Pemerintah Kolonial Belanda yang dibelah menjadi dua, sistem perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Hingga kini kondisi ini tidak berubah sama sekali. Kecenderunganya justru perkebunan besar semakin mendominasi dan mengeliminir perkebunan rakyat.
Perkebunan rakyat selama ini selalu diasosiasikan dengan usaha rendah teknologi, investasi kecil, dan manajemen yang tidak efisien. Tingkat produksi rendah dengan nilai tambah yang rendah dalam prosesing, pemasaran dalam skala lokal. Pendapatan produsen sangat fluktuatif karena ditentukan musim serta harga yang sulit dipengaruhi oleh pekebun rakyat.
Kesejahteraan pekebun rakyat tetap dalam posisi yang rendah karena faktor bisnis off farm seperti modal, pupuk, sarana produksi, semua ditentukan oleh mafia kartel. Pekebun rakyat pada akhirnya hanya jadi bulan-bulanan. Dalam kasus di lapangan, para pemilik kebun sawit rakyat misalnya, mereka terpaksa harus menjual tanahnya pada pengusaha besar karena terlambat dalam pengadaan pupuk yang terjadi berulang-ulang atau terperangkap oleh hutang dan tidak memiliki modal lagi untuk penanaman kembali (replanting).
Sementara itu, perkebunan besar yang merupakan pola warisan penjajah kolonial Belanda dimiliki oleh negara atau pemilik modal swasta besar. Cirinya meliputi area yang luas, teknologi tinggi, investasi besar, manajemen modern, dan berorientasi pada ekspor. Dalam prakteknya, perkebunan besar ini eksploitatif terhadap buruhnya, tidak ramah lingkungan, serta seringkali melakukan pemaksaan atau penyerobotan lahan (land grabbing) dalam perluasan areal. Hari-hari kita dapat lihat penderitaan mereka diberbagai berita media massa.
Untuk menghapus konsep perkebunan besar tersebut dulu sebetulnya dibuat skema pola kemitraan Perkebunan Inti-Plasma (PIR). Ide awalnya adalah pemerintah dalam hal ini perusahaan-perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi perusahaan inti. Pekebun/buruh mendapat pembinaan melalui koperasi menjadi plasma yang secara perlahan akan diarahkan untuk mengambil alih pabrik dari Inti. Tapi kenyataannya berubah total, BUMN yang dimiliki pemerintah dan pihak swasta investor besar yang cenderung didukung oleh pemerintah justru mengambil alih perkebunan rakyat. Rakyat di daerah perkebunan besar tersingkir dan hanya menjadi buruh dengan kualitas hidup yang memprihatinkan.
Padahal, menurut dasar konstitusi kita, kita mustinya menjalankan konsep kesejahteraan sosial, dimana seharusnya tanah itu dimiliki oleh rakyat dan dijadikan sumber kehidupan yang hasilnya dapat dinikmati oleh rakyat. Bukan perekonomian negara-feodalistika, dan atau perekonomian swasta-kapitalistik yang pada akhirnya jatuh ditangan kekuatan pemilik modal besar dan negara (pemerintah) itu sendiri.
Kita menjadi lalai, pemerintah yang harusnya jalankan fungsi subsidaritas justru malah menindas. Pemerintah yang harusnya hadir untuk rakyat balik menjadi pelayan bagi kepentingan para pemilik modal besar. Kita telah 70 tahun merdeka, namun kita sekarang ini malahan semakin jatuh dibawah cengkeraman segelintir para pemilik modal besar.
Koperasi Agro-Industri Perkebunan Rakyat
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah perkebunan besar yang dimiliki dan dikelola oleh rakyat itu mungkin?. Semuanya itu mungkin kalau pemerintah saat ini memiliki political will. Polanya ada dua, secara revolusioner dengan mengrobah perkebunan besar dengan pola joint venture antara koperasi pekebun dengan para pemilik modal, dan atau dilakukan perombakan BUMN Perkebunan menjadi milik rakyat serta lakukan revolusi mental manajemen bahwa karyawan perusahaan BUMN Perkebunan bekerja untuk melayani masyarakat anggotanya sebagai pemilik.
Pola yang kedua adalah mendorong berdirinya perkebunan rakyat melalui koperasi secara perlahan. Bentuk konsesi lahan dengan hak guna usaha (HGU) yang sekarang ini sudah habis izinnya diberikan kepada masyarakat melalui koperasi. Kemudian dijadikan perkebunan milik rakyat yang dikembangkan dalam pola perkebunan integratif Koperasi Agro-Industri dengan nilai tambah tinggi untuk pasaran dalam dan luar negeri. Kedua model ini dapat dijalankan sekaligus.
Pengalaman di berbagai daerah waluapun masih dalam skala kecil misalnya di Kalimantan Timur telah berhasil dilakukan penyerahan lahan sawit, karet, kakao dan lada oleh pemerintah daerah. Sementara di Kalimantan Barat, satu koperasi K-77 bisa menaikkan produktifitas petani sawit hingga dua kali lipat hanya dengan pola pelatihan yang dikembangkan oleh mereka.
Di luar negeri, contohnya sangat banyak. Seperti, misalnya JA Zen-noh di Jepang yang jadi koperasi pertanian terbesar dunia, NACF di Korea Selatan, Koperasi Kehutanan Metsaliito di Finlandia yang jadi pengelola manajemen hutan terbaik dunia, Floraholland Di Belanda, Perkebunan Jeruk Koperasi Sunkist dan lain sebagainya.
Dalam mendukung program ini, pemerintah bisa mendorong pembiayaannya melalui penugasan khusus pada bank BUMN yang secara perlahan kemudian diharapkan dapat membentuk bank milik rakyat sendiri dalam bentuk bank koperasi perkebunan dan pertanian. Kementerian Koperasi dan UKM diberikan penugasan khusus untuk membangun organsiasi dan pengetahuan koperasi yang benar dan pendidikan manajemen tingkat tinggi dengan bekerjasama dengan berbagai pihak seperti perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat yang concern dengan perkebunan serta koperasi yang telah mapan. Pemerintah juga dapat membentuk organisasi penugasan khusus untuk “marketing board” bagi produk-produk yang dihasilkan.
Kita bisa belajar dari pengalaman masa lalu, pola Inpres No.9 Tahun 1975 tentang tebu rakyat yang terpisah dari struktur produksi rakyat ternyata menghambat usaha tebu rakyat sendiri. Sebab, pola PIR itu telah gagal menyatukan kepentingan yang berbeda antara rakyat dan pabrik/pemilik modal besar. Pabrik berhadapan dan bukanya bersamaan dengan rakyat. Begitu juga dengan pola PIR lainya yang dikembangkan dalam perkebunan sawit, karet, pertambangan dan lain sebagainya.
Masyarakat sebetulnya juga sudah jenuh dengan pola kerjasama yang dikembangkan dalam bentuk PIR selama ini. Selain menjadi bernilai tambah kecil, masa depan mereka sangat tergantung pada perusahaan inti yang semakin konsentratif dan monopolistik. Sementara kita tahu, tanah itu untuk kemakmuran rakyat dan bukan untuk kemakmuran segelintir pemilik modal. Pola Koperasi Perkebunan Agro-Industri yang dikembangkan dengan dengan benar sesuai jatidirinya bisa menjadi solusi untuk menghapus pola perkebunan yang feodal kapitalistik seperti sekarang ini.[***]
*) Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat ( INKUR) , Ketua Koperasi Trisakti (KOSAKTI)