Oleh: Suroto*
Kementerian Koperasi dan UKM sedang kembangkan pabrik bersama (factory sharing) basis koperasi. Ide ini bagus, namun perlu diperhatikan aspek kelembagaanya.
Di banyak factory sharing dibangun oleh produsen skala rumah tangga dengan dimodali dan dikelola secara demokratis oleh mereka sendiri.
Idealnya, pengembangan proyek semacam ini memang dibangun sendiri oleh masyarakat, dan merupakan jawaban atas kebutuhan riil mereka sendiri, bukan inisiatif Pemerintah.
Biasanya yang dibangun pemerintah itu mudah sekali hancur, karena pra-syarat kelembagaan koperasi pengelolanya itu tidak dilihat secara mendalam. Hanya dilihat syarat administrasinya saja.
Admimistrasi juga penting karena menyangkut legalitas proyek. Tapi lebih penting keberlanjutan dari proyek tersebut. Kalau targetnya hanya kembangkan output proyek serta serapan anggaran, maka umurnya biasanya tidak akan lama. Apalagi ditambah embel-embel vested interest politik, maka semakin rusak.
Bantuan pemerintah berupa pengembangan pabrik bersama dari dulu dikembangkan oleh pemerintah tapi selalu gagal. Sebut misalnya, bantuan mesin penggilingan padi dan kemudian pengolahan minyak atsiri, dan banyak sekali. Skalanya malah masif.
Proyek-proyek yang diinisiasi oleh pemerintah itu baiknya hanya pilot project agar dapat dicontoh. Dikarenakan pilot project, maka kelembagaan koperasinya memang harus diperhatikan serius.
Kegagalan semua model proyek bantuan pemerintah itu karena gagal membangun organisasinya. Ini aksiomatik, jika organisasinya salah maka investasi apapun akan salah. Ini disebut prinsip kerja subsidiaritas koperasi, yaitu apapapa yang tidak bisa diusahakan sendiri, maka dilakukan bersama di koperasi. Tapi, kuncinya adalah kebutuhan riil anggota.
Pengembangan pilot project itu idealmya diriset dulu basis kebutuhan riilnya. Kemudian dari hasil riset aksi tersebut dipetakan potensi dan masalah yang akan dihadapi. Lalu baru dieksekusi.
Contohnya di Semarang, saya melihat ada satu kampung yang isinya adalah para produsen bandeng presto. Skalanya rumahan dan volumenya skala individu perajin terlalu kecil. Tapi kalau dihitung secara agregat satu kampung cukup besar.
Masalah mereka ketika saya tanyakan soal kendala ekspansi usaha juga sama, yaitu soal misalnya soal persyaratan standard kendali mutu dan perizinan, kemasan, jaringan pasar dan termasuk soal permodalan. Namun inisiatif untuk memulai membangun pabrik bersama tidak ada. Ini masalah kebiasaan yang mana mereka biasa hidup dan kembangkan sesuatu sendiri.
Nah, dalam situasi masyarakat seperti ini, maka baiknya pemerintah banyak memberikan pengertian kepada mereka tentang arti penting dari kelembagaan koperasi. Dalam situasi tertentu, kalau perlu pemerintah juga turut mengambil bagian ikut penyertaan modal sampai kelembagaanya benar-benar mapan. Lalu baru mundur dan kembangkan koperasi model lagi di daerah yang memiliki karakter masyarakat yang sama.
Selama ini target pasar mereka itu kelas menengah ke bawah dan warung-warung rakyat seperti Warteg, Warung Padang, dan konsumen langsung yang dijual melalui pedagang sayur keliling.
Mereka sebetulnya ingin sekali masuk ke segmen menengah ke atas. Karena di segmen ini marjin keuntunganya tinggi. Namun kendalanya ketika ingin memasuki segmen ini, salah satunya terkendala masalah persyaratan dapur yang musti terpisah dan berstandard sanitasi tinggi. Maka kebutuhan dapur atau pabrik bersama ini menjadi penting.
Menanggapi model dapur bersama yang dikembangkan oleh perusahaan basis aplikasi untuk usaha kuliner skala mikro, itu boleh-boleh saja. Asal jangan hanya jadi alat untuk merampok uang negara seperti dalam proyek penangulangan krisis akibat pandemi saat ini.
Pilot model factory sharing basis koperasi ini bukan hanya soal layanan kebutuhan akan rumah produksi bersamanya, tapi bagaimana sistem pengelolaanya dapat dikembangkan secara adil, transparan, dimiliki dan dikontrol secara demokratis. Sehingga lebih berkelanjutan dan berdampak luas manfaatnya.
Lebih penting lagi sebetulnya yang perlu dilakukan oleh pemerintah itu adalah membangun ekosistem koperasi agar masyarakat mampu memunculkan inisiatif sendiri untuk membangun koperasinya. Seperti misalnya, soal produksi pengetahuan koperasi, hapus semua regulasi dan kebijakan diskriminatif terhadap koperasi, pembersihan citra koperasi secara serius, dan lain lain. Syukur dalam bentuk kebijakan trade off untuk dorong motivasi bisnis bagi produsen usaha mikro dan kecil.[***]
*) Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)