Lipsus 100 Hari Kerja Bupati Bekasi Ngejomblo, Warga Nilai 100 Hari Kerja Bupati Eka Gagal - Telusur

Lipsus 100 Hari Kerja Bupati Bekasi Ngejomblo, Warga Nilai 100 Hari Kerja Bupati Eka Gagal

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil melantik Eka Supria Atmaja sebagai Bupati Bekasi untuk sisa masa jabatan 2017-2022, di Aula Barat Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Rabu (12/6/2019)

telusur.co.id - Tanggal 19 September besok, kepemimpinan Bupati Bekasi Eka Supria Atmaja, genap 100 hari kerja, sejak dilantik di Gedung Sate, Bandung, Rabu, 12 Juni 2019 lalu.

Namun, hingga 100 hari ini, kinerja Eka dinilai gagal. sejumlah warga Kabupaten Bekasi merasa kepemimpinan Bupati Bekasi belum memenuhi janjinya 100 hari kerjanya. Warga menilai kepemimpinan Eka Supria Atmaja gagal memenuhi janji 100 hari kerja, terutama di bidang infrastruktur, pendirian mal pelayanan publik, infrastruktur pendidikan, sektor kesehatan, dan pelayanan Kependudukan dan Pencatatan Sipil.

“Saya rasa 100 hari kerja masih begini-begini saja. Tidak ada perubahan lebih dari sebelumnya,” ujar Ketua Dewan Pengawas LSM Suara Independen Rakyat (SIR), R. Meggi Brotodihardjo kepada telusur.co.id, Rabu (18/9/2019).

Meggi menegaskan, hingga 100 hari ini, kinerja Bupati Eka belum menunjukkan gebrakan yang mengindikasikan leadership yang kuat, bersinar, apalagi “out of the  box thinking”. Selain itu, belum terlihat adanya “Bekasi baru Bekasi bersih”, yang merupakan slogan bupati.

Kerja Bupati Bekasi Eka Supria Atmaja, yang one man show alias ngejomblo (tanpa didampingi wakil bupati), terlihat kewalahan.Memang, lanjut Meggi Brotodihardjo, 100 hari kerja, bukan ukuran sempurna dalam menilai suatu kinerja pemerintahan.

Namun konsep ini, diyakini sebagai indikator konvensi untuk mengukur efektivitas suatu pemerintahan baru dan sudah lazim digunakan,

“Konsep 100 hari kerja muncul pertama kali di Amerika Serikat dan digunakan oleh masyarakat, media massa serta akademisi sebagai ukuran keberhasilan pemerintahan, sejak Franklin D Roosevelt mempelopori konsep 100 hari pertama ketika menjabat presiden pada 1933,” paparnya.

 

Dikatakan Meggi, bupati bukan hanya pemimpin birokrat, tapi penggagas yang harus visioner, menggebrak, memotivasi rakyat berdaya, membangun visi ke depan.

Meggi pun mengkritik, 100 hari kerja Bupati Eka Supria Atmaja belum memberikan “kabar baik” bagi masyarakat. Padahal, kabar baik ini, sangat dinantikan masyakarat Kabupaten Bekasi.

Mengapa cuma sekadar kabar baik? Kata Meggi, karena dari kabar baik itulah muncul optimisme warga untuk mendapatkan hak hidup lebih baik maupun harapan dari hadirnya rezim baru.

Bagi rezim baru, lanjut Meggi, optimisme warga bisa menjadi daya dukung sekaligus penguat legitimasi eksistensinya.

“Tapi hingga hampir 100 hari usia rezim Eka, belum telihat dimata masyarakat akan hadirnya kabar baik, baru sekadar retorika,” tegas Meggi yang juga Senior Consultant-The Economist and Social Intelligence ini.

“Gebrakan politik yang besar terkait jargon Bekasi baru Bekasi bersih, sebagai anti tesis dari rezim sebelumnya yang korup dan nepotis pun tidak kelihatan,” lanjut Meggi.

Bahkan, beberapa program yang dijanjikan Bupati Eka akan segera dilaksanakan dalam periode kepemimpinannya hingga 2022 pun masih bias dengan jargon Bekasi baru Bekasi bersih. Seharusnya, bupati masih tetap mengacu pada visi dan misi “Bekasi Bersinar” sebagaimana tertuang dalam RPJMD tahun 2017-2022, sebelum ada revisi.

Berbagai indikator tadi, kata Meggi, tentu merupakan kabar buruk bagi masyarakat Kabupaten Bekasi. Sebagai kabar buruk, maka pesimisme rakyat terhadap rezim Eka akan terus menguat seiring semakin rapuhnya kepercayaan rakyat terhadap rezim baru ini.

“Ini pertanda kinerja buruk bagi rezim yang baru berusia seumur jagung,” kata mantan Tim Perumus Visi-Misi Kabupaten Bekasi.

 

Dikatakan Meggi, sebaiknya program-program yang akan direncanakan dianalisa, dikaji dan diberikan prioritas. Karena ada beberapa program yang takarannya terlalu berat. Misalnya, pengentasan kemiskinan dan pengentasan pengangguran.

“Jika kita ingin membangun pesawat ulang alik untuk mendarat di bulan, tapi yang ada baru kopi dan gula, ya sudah kita ngopi saja, nggak usah buat yang aneh-aneh,” sindirnya.

Meggi menegaskan, “konsolidasi gagal”, paling tidak tercermin pada tiga indikator utama. Pertama, power sharing yang tidak clear antara Bupati dan DPRD, tidak segera memililih wakil bupati.

Kedua, reformasi birokrasi, tidak banyak janji politik rezim Eka yang bisa dieksekusi pada APBD 2019 untuk kesejahteraan rakyat. “Belum mampu bekerja secara maksimal dalam mengonsolidasi kinerja birokrat yang profesional,” jelasnya.

Terakhir masalah pelayanan publik yang menjadi perhatian, terutama terkait infrastruktur jalan yang banyak dikeluhkan masyarakat dan pengangguran yang masih tinggi di Kabupaten Bekasi.

“Kebijakan yang diambil saat ini cenderung parsial. Padahal, pembangunan yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi seharusnya sustainable development goals SDG's,” ucapnya.

Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi juga seakan buta dan tuli, tidak melihat dan mendengar berbagai permasalahan yang nyata terjadi sebagaimana diutarakan masyarakat. “Warganet maupun stakeholder adalah masalah yang kerap terjadi, namun diam tak bergeming,” imbuhnya.

Berbagai keluhan warga atas berbagai proyek pembangunan jalan dan jembatan yang diduga banyak permasalahan, Open Bidding yang ditengarai tidak benar dan tidak tuntas, penanganan masalah sampah yang masih besifat parsial.

“Termasuk, penanaman manggrove yang tidak tuntas, masalah kualitas udara, masalah TKD dan asset Pemda, reformasi birokrasi yang tidak tuntas, serta masih banyak lagi masalah lainnya sebagai konfirmasinya,” pungkas Chairman PIBA Indonesia ini.  [asp]

 

Laporan Dudun Hamidullah

 

 


Tinggalkan Komentar