telusur.co.id - Pakar hukum pidana, Chairul Huda, menyoroti pelantikan Ketua DPD Partai Demokrat Sumatera Utara (Sumut), Muhammad Lokot Nasution, sebagai anggota DPR RI periode 2024-2029. Menurutnya, pelantikan tersebut hanya membuang-buang anggaran negara.

Ditegaskannya, Lokot yang namanya disebut sebanyak 30 kali sebagai penerima suap di kasus pembangunan jalur rel kereta api di lingkungan Direktorat Jenderal Kereta Api (DJKA) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tidak memiliki moral. 

"Uang negara keluar (habis) untuk melantik dia (Lokot). Orang enggak punya moral," kata Chairul dalam keterangannya, Rabu (2/10/24).

Di sisi lain, Chairul juga mempertanyakan sikap KPK dalam merespons penyebut nama Lokot sebanyak 30 kali dalam putusan Pengadilan Tipikor Bandung, Jawa Barat, dengan terdakwa Zulfikar Fahmi di kasus dugaan suap pembangunan jalur rel kereta api di lingkungan DJKA Kemenhub.

Menurutnya, KPK harusnya dapat merespons cepat hal tersebut. Sehingga negara tidak perlu mengeluarkan uang untuk melantik orang seperti Lokot.

"Semestinya ketika sudah disebut, apalagi sampai 30 kali seperti itu, ya diproses, diperiksa, kalau perlu ditetapkan tersangka, dan ditahan," katanya.

Menurut Chairul, sikap KPK saat ini justru terlihat tidak menjalankan fungsinya secara fungsi dengan baik. Menurutnya, hukum seharusnya menjadi jalan untuk menindak orang-orang yang tidak bermoral. 

"Seharusnya hukum bertindak, karena tidak punya moral. ini menunjukan hukum tidak bekerja, sementara moralitas dari orang yang disebut itu tidak ada," ucapnya. 

"Kalau dia (Lokot) punya seharusnya ketika namanya disebut dia mundur, tidak ikut kontestasi, selesaikan dulu perkara hukumnya," tutur Chairul.

Sebelumnya, ditilik dari Direktori Putusan Mahkamah Agung (MA) yang dikutip pada Selasa, 24 September 2024, Lokot sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Satuan Kerja (Satker) Lampung disebut sebanyak 30 kali dalam putusan Pengadilan Tipikor Bandung dengan terdakwa Zulfikar Fahmi, Direktur PT Putra Kharisma Sejahtera dalam kasus korupsi di DJKA Kemenhub dengan Nomor Perkara 6/Pid.Sus-TPK/2024/PN Bdg.

Nama Lokot tertulis pada halaman 47, 48, 49, 53, 55, 56, 58, 59, 60, 63, 65, 66, 67, 203, 411, 412, 425, 426, 427, 439, 455, 456, 493, 494, 501, 504, 505, 509, 510, dan 517.

Lokot bersama sejumlah orang dalam putusan itu disebut Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menerima uang suap senilai Rp9,3 miliar dalam kurun waktu Januari 2012 hingga April 2023.
Zulfikar sendiri sudah divonis bersalah dan dihukum empat tahun dan sembilan bulan penjara.

Namun, Lokot dan sejumlah nama lainnya yang disebut sebagai penerima suap dari Zulfikar belum ditetapkan sebagai tersangka hingga sekarang.

KPK sebenarnya sudah memeriksa saksi tambahan dalam perkara dugaan suap pembangunan jalur rel kereta api di lingkungan DJKA Kemenhub pada Jumat (20/9/2024) lalu, yakni Staf Keuangan PT Dwifarita Fajarkharisma, Sukartoyo; Direktur, Sugeng Prabowo; dan Direktur PT Citra Diecona, Sanusi Surbakti.

Sementara itu, KPK belum memeriksa kembali Lokot. Padahal, KPK sebelumnya telah menyampaikan mempertimbangkan memeriksa kembali calon anggota DPR RI terpilih periode 2024-2029 itu.

Lokot pernah diperiksa KPK dalam perkara dugaan suap pembangunan jalur rel kereta api di lingkungan DJKA Kemenhub pada 27 Februari 2024 lalu.

Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika menyampaikan, semua fakta yang muncul di persidangan dapat dilaporkan kepada Pimpinan KPK melalui Laporan Pengembangan Penuntutan atau Laporan Hasil Persidangan.

"Yang mana hal tersebut dapat dibahas di Rapat Pimpinan untuk ditentukan apakah akan dilakukan pengusutan baru," kata Tessa saat dikonfirmasi pada Kamis (26/9/24). 

Ia menyampaikan, proses penyidikan kasus korupsi di DJKA Kemenhub masih berlangsung sampai sekarang. Dia juga mempersilakan publik menunggu perkembangan proses penyidikan yang dilakukan pihaknya. (Ts)