Membumikan Pancasila di Sektor Telekomunikasi Menuju Indonesia Maju dan Berdikari - Telusur

Membumikan Pancasila di Sektor Telekomunikasi Menuju Indonesia Maju dan Berdikari


Telusur.co.id - Oleh : Satrio F. Damardjati, Ketua Umum Petani dan Inisiator Petani Go Digital

Tema Hari Lahir Pancasila 1 Juni Tahun 2020 sangat menarik. Pancasila dalam tindakan - melalui gotong royong menuju Indonesia Maju. Sebagai salah satu inisiator program Petani Go Digital, kami coba merenungkan dan mengevaluasi esensi tema Hari Lahir Pancasila tersebut dalam lingkup bidang telekomunikasi. Sudahkah pengelolaan bisnis telekomunikasi dilakukan sesuai nilai-nilai Pancasila untuk menuju Indonesia Maju?
 
Implementasi Nilai Pancasila dalam Sektor Telekomunikasi

Pandemi virus corona yang telah memporakporandakan aspek kesehatan, sosial dan ekonomi di berbagai belahan dunia membuat penggunaan perangkat dan layanan telekomunikasi semakin banyak digunakan oleh manusia. Kebijakan pemerintah untuk menerapkan work from home (WFH), school from home (SFH) dan aktivitas lainnya yang harus dilakukan dari rumah di tengah pandemi Corona memicu percepatan digitalisasi di berbagai bidang. Masa ini menjadi masa keemasan bagi para penyelenggara layanan telekomunikasi di Indonesia. Berikut beberapa data kenaikan pengguna layanan internet di berbagai operator telekomunikasi.

Indihome mencatat terdapat lonjakan trafik pada pengguna layanan internetnya, meningkat 13 persen pada malam hari, sedangkan siang hari meningkat 15 persen dibandingkan trafik rata-rata. Lonjakan trafik juga terjadi pada penonton harian TV Interaktif Indihome yang meningkat 3 juta, dari 8 juta ke 11 juta orang. Jumlah pelanggan baru Indihome pada bulan Maret meningkat 30 persen sampai dengan 40 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Sedangkan Biznet ada penambahan trafik sekitar 20 persen dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Peningkatan internet kebanyakan terjadi di daerah perumahan saat jam kerja kantor. Jumlah pengguna baru Biznet meningkat sebanyak 30 persen dibandingkan sebelumnya.

Telkomsel menunjukkan akumulasi persentase layanan broadband mereka mencapai 16 persen selama WFH. Lonjakan trafik itu didominasi oleh bertumbuhnya pengguna aplikasi belajar online seperti Ruang guru, Paket Ilmupedia, dan Google Classroom yang meningkat lebih dari 5404 persen.

Terjadi peningkatan pengguna layanan aplikasi penunjang untuk bekerja dari rumah yakni layanan konferensi video seperti Zoom, Microsoft Teams, dan CloudX milik Telkomsel lebih dari 443 persen. Aplikasi pesan instan seperti WhatsApp, Line, dan Telegram yang mencatatkan kenaikan trafik sebesar 40 persen. Aplikasi game online pun mengalami kenaikan sebesar 34 persen.

Trafik data layanan video streaming Youtube dan MAXstream, Telkomsel mencatat lonjakan trafik payload sebesar 17 persen. XL Axiata juga mengalami kenaikan trafik data setiap harinya sekitar 2 persen. Rincian trafik data dari awal sampai akhir Maret 2020 yakni layanan streaming: 52 persen, pesan instan: 13 persen, media sosial: 13 persen, browsing: 11 persen, dan VOIP: 3 persen. Sedangkan Smartfren mencatat kenaikan trafik data hingga 15 persen dari bulan Februari ke bulan Maret 2020.
 
Di sisi lain kebijakan WFH dan SFH menyulitkan para pekerja dan pelajar yang berada di daerah terpencil, yang belum terjangkau layanan internet. Salah satunya yang dialami oleh Kepala dan Sekretaris Desa, serta Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Wolo Klibang, Kecamatan Adonara Barat, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), terpaksa memanjat pohon untuk mencari jaringan internet agar bisa mengikuti rapat virtual dengan Bupati Flores Timur.

Kepala Desa Wolo Klibang, Anselmus Sili mengungkapkan, awalnya dia bersama sekretaris dan anggota BPD Desa Wolo Klibang dijadwalkan mengikuti rapat virtual dengan Bupati Flores Timur, Jumat. Rapat itu membahas koordinasi penanganan dan pencegahan Covid-19 di Kabupaten Flores Timur. Namun, karena di desanya belum terhubung dengan internet, mereka pun terpaksa memanjat pohon di salah satu lokasi yang letaknya 1 kilometer dari Desa Klibang untuk mendapatkan sinyal.

Rapat itu berlangsung dua jam. Artinya, selama itu juga mereka bertahan di atas pohon. Anselmus mengatakan, selama ini warganya terisolasi karena sulitnya jaringan telepon dan internet. Biasanya, warga di desa itu harus menempuh jarak 1 kilometer untuk mendapatkan jaringan telepon. Untuk bisa sampai ke lokasi sinyal, ada warga yang menggunakan kendaraan, ada pula yang rela berjalan kaki.

Wakil Bupati Flores Timur Agus Boli mengatakan, Pemerintah Daerah (Pemda) sudah menyurati Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk mendatangkan tower mini yang jangkauan jaringannya bisa mencapai 10 kilometer. Tower mini sudah terpasang di beberapa desa, yaitu di Desa Titehena di Kecamatan Solor Barat, Desa Puhu di Kecamatan Adonara Timur, Desa Latonliwo di Kecamatan Tanjungbunga, dan Desa Lewoawang di Kecamatan Ile Bura, Kabupaten Flores Timur, Provinsi NTT. Pemda juga sudah meminta pihak PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk (Telkom) agar membangun tower, memang saat ini masih ada satu dua desa yang sulit sinyal. Kondisi ini menunjukan belum terjadinya pemerataan hasil pembangunan di bidang telekomunikasi di bumi Pancasila ini.
 
Kesenjangan layanan telekomunikasi juga terjadi di Kepulauan Wakatobi, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Dengan latar belakang Wakatobi sebagai kawasan wisata yang diharapkan berkelas dunia di tahun 2019, ironis rasanya melihat kondisi sarana listrik dan telekomunikasi di Pulau Kaledupa yang merupakan salah satu kawasan Taman Nasional Wakatobi.

Listrik dari PLN di Pulau Kaledupa belum 24 jam, hanya beroperasi setelah pukul 18.00 hingga pukul 06.00 pagi. Sedangkan jaringan telekomunikasi di Pulau Kaledupa hanya ada jaringan dari Telkomsel dengan kondisi kekuatan sinyal yang belum merata.
 
Pada saat melakukan kegiatan rutin kunjungan kerja Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Petani ke Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) pada bulan Desember 2018, kami (red: DPN Petani dan DPW Petani Sultra) bersama Camat Kaledupa mengumpulkan masyarakat yang mayoritas adalah Petani dan Nelayan (Petani Penangkap Ikan) di ruang pertemuan kantor Kecamatan Kaledupa. Pendapatan per kapita rata-rata masyarakat Petani di Kecamatan Kaledupa sebesar Rp. 3.000.000,- per bulan. Pada pertemuan tersebut para masyarakat yang mayoritas adalah Petani dan Nelayan (Petani Penangkap Ikan) menyatakan tingginya minat mereka dalam mengakses layanan internet. Mereka memohon dan meminta segera dilakukan penguatan sinyal telepon seluler dan pembangunan jaringan telekomunikasi fiber optik sebagai sarana mewujudkan layanan akses internet yang cepat dan terjangkau. Saat ini rata-rata konsumsi layanan data seluler masyarakat per bulan sekitar Rp. 400.000,-.
 
Dengan jumlah penduduk Pulau Kaledupa lebih dari 21 ribu orang dengan 6 ribu lebih kepala keluarga dan tingkat konsumsi layanan data seluler per bulan Rp. 400.000,-, kami (red: DPN Petani dan DPW Petani Sultra) pikir sangat layak menghadirkan layanan akses internet dengan jaringan fiber optik di Pulau Kaledupa. Kehadiran jaringan telekomunikasi yang handal di Pulau Kaledupa diharapkan dapat mempercepat terwujudnya Wakatobi sebagai destinasi wisata kelas dunia dan meningkatkan taraf hidup masyarakatnya yang mayoritas Petani dan Nelayan (Petani Penangkap Ikan) lebih pada mewujudkan ‘Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’ dalam Negara Gotong Royong. Dan juga sebagai harapan dari ‘Kontribusi Positif Petani Go Digital Dalam Mewujudkan Sulawesi Tenggara Sebagai Lumbung Pangan Berbasis Poros Maritim’ di jalur sosio-ekonomi Kawasan Timur Indonesia.
 
Dampak Liberalisasi Telekomunikasi Terhadap Kesejahteraan Rakyat Indonesia

Pasal 33 pada Undang-Undang Dasar 1945 BAB XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejateraan Sosial (Perubahan Keempat), memuat ayat-ayat yang merujuk pada sila kelima dari Pancasila yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yaitu sebagai berikut :
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;
4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
 
Jika merujuk pada ayat kedua pasal 33 UUD 1945 di atas, maka sektor telekomunikasi yang merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak seharusnya dikuasai oleh negara. Undang-undang Republik Indonesia (UU) nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi pasal 2 menyatakan : Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri. Sedangkan pada UU 39/1999 Pasal 3 menyatakan : Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antar bangsa.
 
Sebagai negara yang aktif dalam membina hubungan antar negara atas dasar kepentingan nasional, keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kesepakatan multilateral menimbulkan berbagai konsekuensi yang harus dihadapi dan diikuti. Sejak penandatanganan General Agreement on Trade and Services (GATS) di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 15 April 1994, yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994, penyelenggaraan telekomunikasi nasional menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem perdagangan global. Sesuai dengan prinsip perdagangan global, yang menitikberatkan pada asas perdagangan bebas dan tidak diskriminatif, Indonesia harus menyiapkan diri untuk menyesuaikan penyelenggaraan telekomunikasi. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka peran pemerintah dititikberatkan pada pembinaan yang meliputi penentuan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian dengan mengikutsertakan peran masyarakat. Peningkatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan telekomunikasi tidak mengurangi prinsip dasar yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, hal-hal yang menyangkut pemanfaatan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang merupakan sumber daya alam yang terbatas dikuasai oleh negara.
 
Pembukaan keran regulasi telekomunikasi bagi swasta seharusnya bisa mempercepat pemerataan jaringan telekomunikasi di seluruh wilayah nusantara. Namun kenyataannya pengguna internet di Indonesia mayoritas ada di Pulau Jawa. Perusahaan telekomunikasi swasta cenderung membangun jaringan telekomunikasi dengan pertimbangan aspek bisnis. Kondisi geografi Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki tingkat kepadatan penduduk dan urbanisasi yang berbeda, merupakan hal yang sangat menantang dalam pembangunan infrastruktur telekomunikasi.
 
Beberapa kebijakan pemerintah yang terkait dengan upaya pemerataan pembangunan jaringan telekomunikasi di seluruh Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Kewajiban Pelayanan Universal (KPU) / Universal Service Obligation (USO)
KPU atau USO merupakan program yang bertujuan untuk pemerataan pembangunan infrastruktur dan aksesibilitas di seluruh wilayah Indonesia dalam rangka mengurangi kesenjangan digital (digital divide) khususnya di daerah tertinggal, terpencil, terluar, perbatasan dan daerah yang secara ekonomi belum berkembang.
Tantangan dan potensi program USO yang mendukung fokus pembangunan pemerintah Indonesia, antara lain adalah kebutuhan ketersediaan jaringan internet untuk informasi pertanian. Sesuai dengan data yang di keluarkan oleh Kementerian Pertanian, terdapat 5.232 Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP3K) membutuhkan penyediaan, penguatan, dan peningkatan akses internet untuk penyebaran informasi publik bidang pertanian. Tersedianya akses internet dalam kaitannya dengan desa pertanian dapat memudahkan petani untuk mecari informasi mengenai bibit unggul, harga pupuk, ataupun teknik berocok tanam yang baik serta segala informasi yang menyangkut bidang pertanian sehingga dapat mengurangi potensi kerugian yang akan terjadi. Selain itu, petani juga dapat mengecek harga pasaran produk pertanian mereka tanpa harus pergi ke kota. Dengan adanya internet, petani dapat mempromosikan hasil pertanian kepada calon pelanggan di luar kota lebih cepat sehingga tingkat ekonomi petani juga dapat meningkat;
 
2. Palapa Ring
Palapa Ring merupakan proyek pembangunan tulang punggung internet cepat nasional yang menghubungkan seluruh 514 ibukota kabupaten/kota di Indonesia yang dibangun dengan skema Kerjasama Pemerintah dan swasta atau Badan Usaha (KPBU) dan Non-KPBU. Proyek Palapa Ring adalah proyek KPBU pertama dalam sektor telekomunikasi dengan menerapkan skema pembayaran ketersediaan layanan atau availability payment (AP) skema availability payment diprakarsai oleh Kementerian Keuangan dan sumber dana availability payment berasal dari Dana Kontribusi Universal Service Obligation (USO). Skema avalability payment (AP) diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 190/PMK.08/2015 merupakan pembayaran secara berkala selama masa konsesi berdasarkan pada ketersediaan layanan infrastruktur yang telah dibangun oleh badan usaha.

Komponen biaya yang dapat dibayarkan oleh AP adalah biaya modal, biaya operasional, dan keuntungan wajar yang diinginkan oleh badan usaha. Dengan skema ini risiko permintaan (demand risk) dari tersedianya layanan infrastruktur akan ditanggung sepenuhnya oleh Penanggung Jawab Proyek Kerja sama (PJPK) yaitu Kemenkominfo.
 
Jaringan tulang punggung serat optik Palapa Ring merupakan proyek infrastruktur telekomunikasi berupa pembangunan serat optik di seluruh Indonesia sepanjang 36.000 km. Proyek itu terdiri atas tujuh lingkar kecil serat optik (untuk wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Papua, Sulawesi, dan Maluku) dan satu backhaul untuk menghubungkan semuanya. Proyek Palapa Ring ini akan mengintegrasikan jaringan yang sudah ada (existing network) dengan jaringan baru (new network) pada wilayah timur Indonesia (Palapa Ring-Timur). Palapa Ring-Timur akan dibangun sejauh 4.450 KM yang terdiri dari sub marine cable sejauh 3.850 km dan land cable sepanjang 600 KM dengan landing point sejumlah lima belas titik pada 21 kota/kabupaten. Jaringan tersebut berkapasitas 100 GB (Upgradeable 160 GB) dengan mengusung konsep ring, dua pair (empat core). Strategi pembangunan proyek Palapa Ring ini adalah dengan membentuk suatu konsorsium di mana anggota konsorsium terdiri dari para penyelenggara telekomunikasi di tanah air. PT Telkom telah mengintegrasikan backbone serat optik di 457 Kabupaten/Kota melalui skema Non-KPBU. Penggelaran Palapa Ring oleh Pemerintah sepanjang lebih dari 12 ribu km di 57 kabupaten/kota di 11 provinsi. PT Palapa Ring Barat, PT LEN Telekomunikasi Indonesia, PT Palapa Timur Telematika, pemerintah melalui BAKTI telah menuntaskan pembangunan Palapa Ring di seluruh ibukota kabupaten/kota di Indonesia pada bulan Agustus 2019.

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo telah meresmikan operasional Palapa Ring pada tanggal 14 Oktober 2019. Hasil yang diharapkan dari proyek Palapa Ring adalah :
1. "Sovereignty / Kedaulatan Negara" dan "Ketahanan Nasional" melalui ketersediaan infrastruktur telekomunikasi yang terintegrasi;
2. Akselerasi pertumbuhan dan pemerataan pembangunan sosial ekonomi melalui ketersediaan infrastruktur jaringan telekomunikasi berkapasitas besar yang terpadu bisa memberikan jaminan kualitas internet dan komunikasi yang berkualitas tinggi, aman, dan murah.
 
Saat ini terdapat 166 perusahaaan penyelenggara jaringan telekomunikasi (jaringan tetap lokal jaringan tetap tertutup, jaringan bergerak seluler, jaringan bergerak terestrial, dan lain-lain) termasuk di antaranya dengan skala bisnis yang besar adalah 7 (tujuh) perusahaan penyelenggara jaringan bergerak seluler dengan sebagian saham dimiliki perusahaan asing. Bagi investor telekomunikasi asing, Indonesia seperti seorang gadis cantik yang bukan hanya menarik, tapi juga sangat menggiurkan. Betapa tidak? Bila jumlah pelanggan telekomunikasi saja sudah mencapai 240 juta orang, sementara Average Revenue Per User (ARPU) estimasi Rp 50 ribu, maka pendapatan per bulan sektor telekomunikasi di Indonesia mencapai Rp 12 triliun. Luar biasa! Dari sisi pulsa, bila ditinjau dari kepemilikan operator di Indonesia, maka tentunya sebagian besar penghasilan pulsa lari ke luar negeri. Untunglah masih ada pungutan USO, Biaya Hak Penggunaan (BHP) Jastel, dan BHP frekuensi sehingga Indonesia masih sedikit merasakan dari gemerlapnya industri telekomunikasi di tanah air.
 
Negara asing begitu enaknya mengeruk pulsa-pulsa dari kantong masyarakat Indonesia, sementara untuk Tanah Air sendiri, seperti tidak ada yang tersisa. Indonesia yang merupakan lahan subur bagi perusahaan telekomunikasi asing menjadikan masyarakat setempat seperti tamu di negeri sendiri. Pembangunan jaringan telekomunikasi di pelosok nusantara dilakukan oleh pemerintah dan Telkom. Beberapa penyelenggara jaringan telekomunikasi swasta memang bekerja sama dengan pemerintah dalam proyek Palapa Ring. Namun resiko bisnisnya dibebankan kepada Pemerintah.
 
Pekerjaan Rumah Pemerintah di Sektor Telekomunikasi

Pada tahun 2019 Indonesia menduduki peringkat keempat dalam jumlah pengguna internet tertinggi di dunia. Penetrasi smartphone lebih dari 60%, mengingat ketersediaan banyak model low-end atau smartphone dengan harga yang terjangkau. Fakta lainnya adalah Indonesia memiliki populasi pengguna Facebook / Instagram terbesar keempat di dunia. Berdasar data dari AppAnnie, pada tahun  2019 orang Indonesia memiliki waktu paling tinggi untuk setiap perangkat per seluler di seluruh dunia, dengan lebih dari 4 jam sehari dalam aplikasi. Penetrasi broadband di Indonesia tetap rendah, tetapi dengan jumlah homepass sekitar 20 juta (29% dari total rumah tangga di seluruh negeri) di mana Telkom menjadi pionir bisnis home broadband di Indonesia pada akhir tahun 2018, maka angka penetrasi kemungkinan akan meningkat. Kenaikan kecepatan data dan kecenderungan penurunan harga layanan data selama beberapa tahun terakhir, memungkinkan tingkat adopsi internet yang lebih besar, terutama melalui telepon seluler.

Menurut Equity Research ada beberapa faktor yang membuat sektor internet Indonesia berbeda dari China atau Amerika Serikat (AS) dan yang akan memengaruhi perkembangannya :
1. Mayoritas kota-kota di luar Jawa bukan merupakan kota besar berpenduduk padat.
Densitas penduduk Indonesia di luar Jawa lebih rendah dari pada di Jawa, yang menyebabkan biaya logistik yang lebih tinggi, termasuk juga menyebabkan tingginya biaya investasi jaringan telekomunikasi dan lamanya tingkat pengembalian nilai investasi karena jumlah pengguna layanan telekomunikasi tidak sebanyak di pulau Jawa ;
2. Masih belum berkembang (walaupun membaik) infrastruktur, terutama pelabuhan internasional, yang membentang melintasi kepulauan yang kompleks;
3. Pendapatan per kapita yang masih rendah.
Dengan pendapatan domestik bruto per kapita sekitar US$ 4-5 ribu, konsumen Indonesia memiliki penghasilan terbatas untuk membeli barang-barang 'mewah';
4. Terbatasnya kemampuan manufaktur barang jadi.
Tidak seperti China dan AS, Indonesia bukan produsen produk jadi yang signifikan. Sebagian besar barang-barang konsumen (kecuali kategori-kategori tertentu seperti pakaian, kerajinan tangan, produk makanan) perlu diimpor, menciptakan biaya tambahan bagi konsumen. Kurangnya swasembada ini menimbulkan tantangan, karena gangguan perdagangan dari guncangan eksogen (seperti pada saat terjadinya pandemi virus Corona misalnya) dapat menciptakan kekurangan pasokan yang signifikan. Selain itu, lebih sulit bagi pedagang lokal untuk membuat diferensiasi yang kuat (misal kurangnya pengetahuan manufaktur untuk membuat produk yang disesuaikan, atau hambatan bahasa). Faktor-faktor ini secara negatif menekan profitabilitas pedagang lokal. Di sisi lain, ini menawarkan peluang bagi platform e-commerce untuk menawarkan produk kepada para pedagang lokal maupun kepada konsumen;
5. Tingkat pendidikan dan melek huruf di Indonesia masih jauh di belakang negara tetangga. Hal ini mendorong perusahaan-perusahaan global untuk melakukan outsourcing ke negara-negara lain seperti India dibandingkan ke Indonesia.
6. Tingkat birokrasi sektor pemerintahan yang lebih tinggi.

Pemerintah harus segera melakukan pembenahan mendasar yang berkaitan dengan sektor telekomunikasi, yaitu yang terkait poin nomor 4 dan nomor 6 di atas. Untuk poin nomor 4, pemerintah harus menetapkan cetak biru arah pembangunan sektor telekomunikasi dari hulu ke hilir. Untuk bidang hulu, pemerintah bisa memberdayakan PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Persero) atau disingkat INTI. INTI yang merupakan BUMN strategis yang memiliki portofolio di bidang Manufaktur dan Perakitan, Managed Service, Layanan Digital, dan Integrator Sistem. Pada tahun 2009 INTI sedang menjajaki untuk membuat komputer murah buatan Indonesia, namun hingga saat ini belum ada kelanjutan hasil produksi computer murah buatan INTI. Jika pemerintah bisa mengembangkan INTI sebagai produsen perangkat telekomunikasi seperti Huawei dan ZTE misalnya, kita tidak akan terpengaruh dengan masalah pasokan dan harga perangkat telekomunikasi. Dampak positif lain yang dirasakan adalah penyerapan tenaga kerja oleh INTI dan pada akhirnya akan mempengaruhi pergerakan ekonomi dalam negeri dan kenaikan pendapatan per kapita rakyat Indonesia.
 
Hal lain yang harus dibenahi pemerintah adalah memastikan tidak ada tumpeng tindih pada portofolio bisnis utama antar BUMN. Contohnya PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) memiliki anak perusahaan yang bergerak di bidang jasa telekomunikasi dan Information Communication Technology (ICT), yaitu PT PGN Telecommunication Nusantara (PGASCOM). Selain itu PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN juga memiliki anak perusahaan di bidang ICT yaitu PT Indonesia Comnets Plus (ICON+). PGASCOM dan ICON+ saat ini menjadi pesaing Telkom. Pembenahan lini bisnis BUMN ini sejalan dengan pernyataan Menteri BUMN Erick Thohir yang pada bulan Desember 2019 berencana merilis Peraturan Menteri untuk mengatur pendirian anak usaha perusahaan pelat merah dan turunannya agar BUMN ke depannya terhindar dari anak usaha yang tidak sehat serta kembali ke lini bisnis utama atau core business.
 
Sementara itu Telkom akan melakukan konsolidasi 20 anak perusahaan yang memiliki kesamaan portofolio ataupun yang saat ini masih kurang optimal dalam memberikan nilai tambah. Proses konsolidasi akan dilaksanakan secara bertahap hingga tahun 2021. Diharapkan pemangkasan anak dan cucu usaha itu akan memberikan dampak positif bagi perseroan. Produk Telkom akan bisa menang berkompetisi dengan produk global. Tidak seperti saat ini di masa pandemi Corona, aplikasi rapat jarak jauh milik Telkom yaitu UMeetMe dan milik Telkomsel yaitu Cloud X masih kalah dibandingkan aplikasi Zoom dari China. Total valuasi saham Zoom saat ini mencapai sekitar US$ 35 miliar seiring peningkatan popularitasnya dan banyak digunakan untuk telekonferensi dan meeting jarak jauh karena kebijakan bekerja dari rumah (work from home / WFH) di berbagai belahan dunia. Virus Corona yang kini telah mejadi pandemi di lebih 204 negara di dunia telah meningkatkan popularitas aplikasi Zoom. Bila pada Desember 2019, penggunanya hanya 10 juta, pada akhir Maret lalu, penggunanya naik sangat signifikan menyentuh 200 juta per hari. Dalam tiga bulan terakhir, kekayaan Eric Yuan pendiri dan CEO Zoom pun terkerek naik sekitar U$ 4 miliar (112%) menjadi US$ 7,57 miliar (Rp 121,12 triliun) dengan asumsi kurs US$ 1 setara dengan Rp 16.000.

Poin nomor 6 pada hasil penelitian Equity Research di atas, menyatakan tingginya tingkat birokrasi di sektor pemerintahan. Pembenahan birokrasi di pemerintah yang terkait dengn sektor telekomunikasi harus sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Untuk mempercepat pencapaian target pembangunan nasional, RPJMN IV tahun 2020-2024 telah ditetapkan 6 (enam) pengarusutamaan (mainstreaming) sebagai bentuk pendekatan inovatif yang akan menjadi katalis pembangunan nasional yang berkeadilan dan adaptif. Salah satunya adalah Transformasi Digital. Indikatornya adalah meningkatnya Network Readiness Index (NRI) dan memperkuat Information Communication Technology Development Index (IDI). NRI untuk mengukur bagaimana teknologi khususnya teknologi, informasi dan komunikasi (TIK) dapat memberikan dampak terhadap suatu negara, sedangkan IDI untuk melihat bagaimana pengembangan TIK suatu negara dari sisi infrastrukturnya.

Network Readiness Index (NRI) juga disebut sebagai Technology Readiness, mengukur kecenderungan negara-negara untuk mengeksploitasi peluang yang ditawarkan oleh teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Pilar NRI adalah Teknologi, People, Governance, dan Impact. Laporan penilaian NRI ini dianggap sebagai penilaian paling otoritatif dan komprehensif tentang bagaimana TIK berdampak pada daya saing dan kesejahteraan suatu negara. Indeks ini berupaya lebih memahami dampak TIK terhadap daya saing negara dan merupakan gabungan dari tiga komponen:
1. lingkungan untuk TIK yang ditawarkan oleh negara atau komunitas tertentu (pasar, politik, peraturan, dan lingkungan infrastruktur);
2. kesiapan pemangku kepentingan utama negara (individu, bisnis, dan pemerintah) untuk menggunakan TIK;
3. penggunaan TIK di antara para pemangku kepentingan ini.

Pada tahun 2019 Network Readiness Index (NRI) Indonesia berada pada peringkat 76 dari 121 negara. Perolehan ini jauh di bawah negara tetangga seperti Malaysia yang berada di peringkat ke-31 ataupun Thailand di posisi ke-62. Sedangkan untuk Information Communication Technology Development Index (IDI) data terakhir di tahun 2017 Indonesia dengan nilai 4,33 berada pada peringkat 111 dari 165 negara. Jauh di bawah Malaysia yang berada di peringkat ke-9 ataupun Thailand di posisi ke-10. Pemerintah Indonesia harus berupaya meningkatkan indeks Network Readiness Index (NRI) dan Information Communication Technology Development Index (IDI). Penggunaan teknologi telekomunikasi harus memberikan manfaat berupa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.


Tinggalkan Komentar