Menakar Problematika Pengangguran Gen-Z, Siapkah Indonesia Emas 2045? - Telusur

Menakar Problematika Pengangguran Gen-Z, Siapkah Indonesia Emas 2045?

Ketua Umum SEMMI Cabang Surabaya, Ryu Choirul Adi Firmansyah

telusur.co.id - Gen Z ialah generasi yang lahir pada Angkatan 1997 hingga 2012 yang mana juga merupakan tiang harapan sebab generasi muda saat ini lebih unggul dibandingkan dengan generasi sebelumnya dikarenakan adanya kemudahan mengakses segalam macam informasi, penguasaan teknologi sejak dini serta pengetahuan global dan khususnya harapan masa depan Indonesia Emas 2045.

​Adanya kelebihan seperti yang telah dijelaskan diatas bukan berarti Gen Z tidak memiliki sebuah tantangan ataupun masalah yakni yang paling terlihat jelas terdapat fenomena maraknya pengangguran khususnya dikalangan Gen Z tentu ini menjadi ancaman serius bila tidak segera ditangani secara tepat pasalnya hal ini nantinya dapat mempengaruhi daripada indeks demografi menuju Indonesia Emas 2045.

​Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) juga menambahkan bahwasanya hamper dari 10 juta penduduk Indonesia Gen Z rentang usia 15-24 tahun menganggur atau tanpa kegiatan dan bila dirinci lebih komprehensif, anak muda yang paling banyak masuk kedalam kategori menganggur justru terdapat pada daerah perkotaan yang dikalkulasikan secara keseluruhanada 7,2 juta pengangguran di Indonesia diperbarui per februari 2024 lalu.

​Dikutip melalui lama Puslapdik Kemendikbud Ristek, jumlah pengangguran dari lulusan SMK masih memiliki persentase tertinggi dibandingkan dengan jenjang Pendidikan yang lain yakni mencapai 8,62%, Sementara lulusan SMA menjadi pengangguran sebesar 6,73% dan jenjang mahasiswa dari D4,S1,S2,S3 sebanyak 5,63%. 

Melalui data yang telah dijabarkan dapat diketahui bahwasanya persentase pengangguran pastinya memiliki hubungan kausalitas (sebab-akibat) mengapa masih terjadi fenomena pengangguran yang masih cukup tinggi di Indonesia.

​Salah satu tokoh pemuda sekaligus Ketua Umum Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia Cabang Surabaya yakni Ryu Choirul Adi Firmansyah turut memberikan pendapatnya serta kritikan kepada pemerintah mengenai maraknya fenomena pengangguran yang masih banyak ditemui dikalangan anak muda.

​“Saya rasa persoalan terkait pengangguran ini merupakan case yang cukup kronis khususnya di negeri ini dan pastinya harus segera diatasi secara bersamaan yakni dengan menumbuhkan kesadaran dari tiap individu agar bisa lebih kritis, kreatif, inovatif agar dapat berkompetitif di era yang serba tidak pasti ini serta tak lupa peran yang lebih komprehensif dari sang pembuat kebijakan (pemerintah) yang tentunya dalam pengentasan masalah pengangguran yang banyak menimpa Gen Z,” papar Ryu. Minggu, (06/10/2024).

Lantas Penyebab Maraknya Pengangguran pada Gen Z?

​Ryu juga menambahkan, dari hasil riset dan analisanya kurun waktu 2 tahun kebelakang ini dalam mengidentifikasi banyaknya angka pengangguran pada usia muda rentang 15-24 tahun yakni disebabkan karena adanya disinkronisasi dari pendidikan dan permintaan tenaga kerja.

“Dapat kita telaah juga secara seksama dalam 2 hingga 1 tahun terakhir banyaknya kasus komersialisasi pendidikan hingga problematika PTN-BH ini juga merupakan cikal bakal dari mulanya masalah pengangguran yang berasal dari kebijakan pemerintah, bagaimana bisa pendidikan yang mulanya diperuntukkan untuk mencerdaskan bangsa namun per hari ini khususnya di Indonesia justru menjadi alat bisnis negara. Disisi lain, minimnya akses kurangnya pemerataan pendidikan dan permintaan industri yang tidak setimpal juga merupakan tantangan yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah,” jelasnya.

​Ironisnya, per hari ini pemerintah kian kerap menyederhanakan sebab dari tingginya angka pengangguran, karena adanya ketidaksesuaian antara kebutuhan industri dan angkatan kerja baru sehingga mengakibatkan pada upaya penanganan yang dibebankan pada sektorial pendidikan. 

Presiden Jokowi pada tahun 2022 telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi, melalui peraturan ini pemerintah menganjurkan setiap institusi pendidikan dan pelatihan agar dapat menyelaraskan program yang diampuh guna menyesuaik kebutuhan dunia usaha serta industri. Akan tetapi sialnya, justru kian memperparah masalah sebab program yang dibuat tidak bisa dilakukan secara instan.

​Dari program-program bombastis yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya penanganan masalah pendidikan ini justru malah menghabiskan anggaran yang cukup besar namun tidak terjalan secara efektif dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja. 

Tak hanya itu, Ryu juga memaparkan penanganan yang kurang tepat dari  pemerintah selama ini dalam menyelasaikan masalah pengangguran.

​“Timbulnya kecenderungan pemerintah yang berpihak pada industri penghiliran daripada industri manufaktur dan padat karya juga telah memperlihatkan dampak buruk. Pabrik-pabrik pengolahan mineral yang mengandalkan tenaga kerja asing daripada pekerja lokal telah menghasilkan berbagai macam bentuk kerusakan lingkungan dan justru mencipatkan kapitalisme terstruktur yakni pemilik modal semakin kaya khususnya di industri penghiliran, konsesi tambang dan yang paling buruknya adalah dijadikan sebagai alat politik dan kekuasaan,” paparnya.

​Mungkin saat ini, pemerintah boleh saja bersikap tenang sambil menutup dada karena dirasa mampu menjaga pertumbuhan ekonomi. Namun, kebanggan tersebut sesungguhnya hanya semu dan tak memiliki arti apa-apa. 

Pertumbuhan ekonomi yang selama ini diklaim lebih baik bilamana disandingkan dengan negara lainnya namun pada kenyataannya masyarakat di level terbawah masih belum merasakan manfaatnya serta di lingkup anak muda atau Gen Z yang memiliki produktifitas justru ditampar kenyataan yakni dihantui oleh kemiskinan. Sebab mereka terpaksa banyak sekali yang menanganggur karena sempitnya lapangan pekerjaan.

​“Dapat disimpulkan secara keseluruhan maraknya problematika pengangguran yang mengakar ini bila tidak segera dituntaskan secara serius mulai dari merubah arah kebijakan yang lebih jelas, masalah pengangguran justru akan menjadikan efek bola salju (Snowball Effect) yang justru mengakibatkan persoalan yang pelik nan kronis bagi masa depan bangsa Indonesia terkhusus bagi cita-cita Indonesia Emas 2045 yang kerap digaungkan pemerintah selama ini rampung,” tutup Ryu. (ari)


Tinggalkan Komentar