Telusur.co.id -Penulis: Ghading Alfatah, Mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia.
Pada 15 Mei tahun 2023 lalu, Mantan Presiden Joko Widodo mengesahkan PP Nomor 26 Tahun 2023 yang mengatur tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Hal ini menuai kontra dari berbagai pihak khususnya organisasi lingkungan, seperti Greenpeace dan para nelayan yang memang ‘berjibaku’ langsung di laut sebagai sumber mata pencahariannya.
Sebelum membahas lebih lanjut, perlu diketahui bahwa pasir laut dihasilkan dari proses sedimentasi, sedangkan sedimen merupakan material-material berukuran halus yang terendapkan pada suatu lokasi tertentu. Sehingga sedimentasi adalah proses yang melibatkan butiran sedimen tersebut, mulai dari proses pelapukan, transportasi, hingga pengendapan. Sedimen dapat berasal dari berbagai sumber, seperti hasil pelapukan batuan yang terakumulasi atau dari dasar samudera. Sedimentasi memainkan peran penting dalam pembentukan daratan, terutama daerah pesisir, yang dapat membentuk tombolo, barrier island, dan sebagainya.
Berdasarkan perhitungan kasar yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Anggaran, potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari kegiatan ekspor pasir laut diproyeksikan dapat mencapai kisaran Rp2,5 hingga Rp3,2 triliun. Proyeksi ini didasarkan pada asumsi volume ekspor pasir yang mencapai 50 juta meter kubik, dengan pengenaan tarif antara 30-35% (Tempo.co). Merespon isu yang sama, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah menyampaikan bahwa diperlukan diskusi dan kajian yang lebih lanjut dan mendalam dengan Badan Kebijakan Fiskal (BKF), untuk mengatur pengenaan bea keluar atas ekspor pasir laut melalui revisi Peraturan Menteri Keuangan yang sudah ada (DDTC.co.id). Meskipun potensi penerimaan PNBP dari sektor ekspor pasir laut ini terlihat sangat menjanjikan dan menggiurkan dari sisi ekonomi, timbul pertanyaan krusial yang perlu dipertimbangkan secara mendalam: apakah manfaat ekonomi yang diperoleh dari kegiatan ini dapat mengimbangi dampak dan kerusakan ekologis jangka panjang yang mungkin ditimbulkan dari aktivitas pengerukan hasil sedimentasi di wilayah perairan laut Indonesia?
Sehubungan dengan hal tersebut, pada tanggal 26 Agustus 2024, di Jakarta, Kementerian Perdagangan menetapkan peraturan untuk batas kandungan pasir hasil sedimentasi yang boleh diekspor beserta syarat-syarat Eksportir Terdaftar. Hal ini dituangkan di dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 21 Tahun 2024 yang mengatur tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2023 Tentang Kebijakan Dan Pengaturan Ekspor, dan berlaku mulai dari 28 September 2024. Pada Lampiran XIX Pasir Hasil Sedimentasi Di Laut, dengan kode HS ex 2505.10.00 dan ex 2505.90.00,
“Pasir alam yang berasal dari pembersihan hasil sedimentasi di laut yang memiliki ukuran butiran 0,25 mm ≤ D ≤ 2,0 mm; dengan persentase kerang (shells) / CaCO3 ≤ 15%; Au (emas) ≤ 0,05 ppm; Ag (perak) ≤ 0,05 ppm; Platina, Palladium, Rhodium, Rutenium, Iridium, Osmium ≤ 0,05 ppm; Silika (SiO2) ≤ 95%; Timah (Sn) ≤ 50 ppm; Nikel (Ni) ≤ 35 ppm; dan logam tanah jarang total ≤ 100 ppm.”.
Dari bunyi lampiran di atas, terlihat bahwa Menteri Perdagangan telah mengatur kriteria dan kandungan pasir yang wajib dipenuhi supaya bisa diekspor. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun pemerintah berfokus terhadap penerimaan negara, sebagai regulator, pemerintah juga memberlakukan serangkaian limitasi terhadap ekspor pasir laut guna ‘memperkecil’ dampak lingkungan yang mungkin ditimbulkan dari aktivitas penambangan dan ekspor tersebut.
Akan tetapi, pertanyaan krusial yang perlu diperhatikan adalah bagaimana dengan sistem pengawasannya? Peraturan Kementerian Perdagangan sudah berlaku mulai dari 28 September 2024, namun untuk saat ini belum ada regulasi yang mengatur terkait dengan pengawasan limitasi kandungan pasir laut. Dalam hal ini, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai baru sebatas menyampaikan bahwa akan dilakukan tim pengawasan yang terdiri dari empat unit kementerian yang saling berkoordinasi, yaitu mulai dari Kementerian Keuangan sebagai pengawas kepabeanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk aspek kelautan, Kementerian Perdagangan untuk regulasi perdagangan, dan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral untuk pengawasan sumber daya (financeDetik.com).
Meskipun aturan limitasi dan rencana pengawasan telah diutarakan secara komprehensif, namun pada kenyataannya pemerintah masih belum mempertimbangkan secara serius mengenai dampak lingkungan jangka panjang yang dapat ditimbulkan dari aktivitas ekspor pasir laut yang intensif dan berkelanjutan. Di dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 21 Tahun 2024, setelah dilakukan kajian secara menyeluruh, ternyata belum ada pasal-pasal yang secara spesifik mengatur tentang rencana pemulihan lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas ekspor pasir laut, termasuk di dalamnya tidak ada ketentuan mengenai kewajiban rehabilitasi ekosistem laut pasca penambangan.
Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan dan kekhawatiran yang mendalam bagi sebagian besar masyarakat, apakah pemerintah dalam hal ini benar-benar mengutamakan kepentingan negara beserta masyarakatnya secara luas dan berkelanjutan, atau justru hanya memprioritaskan kepentingan golongan tertentu yang memiliki akses terhadap aktivitas ekspor tersebut? Dilansir dari Tempo.co, melalui Ginanjar, et.al., seorang aktivis organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Parid Ridwanuddin, menyatakan bahwa aktivitas ekspor pasir laut ini dapat diibaratkan seperti ‘bom waktu’ yang sangat berbahaya, yang berpotensi menimbulkan kerugian besar dalam berbagai aspek kehidupan dan secara langsung menyangkut hajat hidup orang banyak, khususnya masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem laut.
Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dapat diperoleh dari pengenaan Bea Keluar atas kegiatan ekspor pasir laut memang terlihat sangat menggiurkan untuk peningkatan keuangan negara dalam jangka pendek. Namun demikian, perlu disadari bahwa terdapat pengorbanan yang sangat besar dan mungkin tidak sebanding untuk mendapatkan keuntungan ekonomi tersebut, terutama jika ditinjau dari aspek keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat pesisir dalam jangka panjang.