telusur.co.id - Pengawas Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS) Apartemen Graha Cempaka Mas, Dwi Lies, mengajukan aduan ke posko pengaduan masyarakat di Balai Kota DKI Jakarta terkait perselisihan yang terjadi di hunian bertingkat tersebut sejak 2013.
Dwi Lies, yang mewakili PPRS Apartemen Graha Cempaka Mas, menjelaskan bahwa masalah ini bermula dari gugatan yang diajukan oleh sekelompok warga terhadap PPRS. Gugatan tersebut mengklaim bahwa PPRS tidak lagi memiliki dasar hukum yang sah.
Pada tahun 2011, menurut Dwi, ada perubahan dalam regulasi mengenai rumah susun yang mengubah nomenklatur PPRS menjadi Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS). Kelompok warga yang tidak setuju dengan perubahan ini kemudian mengadukan masalah tersebut ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Sebagai tindak lanjut, Gubernur DKI Jakarta saat itu, Anies Baswedan, mengeluarkan Keputusan Gubernur (Kepgub) yang mencabut Surat Keputusan (SK) penetapan PPRS Apartemen Graha Cempaka Mas.
Tidak terima dengan keputusan tersebut, Dwi Lies dan beberapa warga lainnya membawa masalah ini ke pengadilan. Pada akhirnya, peradilan tingkat kasasi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memutuskan bahwa PPRS yang dipimpin oleh Hery Wijaya adalah pengurus yang sah, sementara PPRS tandingan yang dipimpin oleh Tonny Soenanto dianggap tidak sah.
Seiring dengan perkembangan ini, Dwi Lies kembali mengajukan aduan kepada Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Teguh Setyabudi, dengan harapan agar SK pencabutan yang dikeluarkan Anies Baswedan dapat dicabut.
"Kami sudah menerima putusan kasasi yang sudah inkrah dan berkekuatan hukum tetap. Kami meminta agar Pj Gubernur mencabut SK Pak Anies Baswedan yang mencabut akte pendirian kami," ujar Dwi di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (18/11/24).
Selain itu, Dwi juga meminta agar Teguh Setyabudi segera memerintahkan Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (PRKP) DKI untuk memfasilitasi pembentukan Panitia Musyawarah (Panmus) untuk pemilihan Ketua P3SRS yang sah.
"Kami juga meminta Pak Pj Gubernur untuk memerintahkan Dinas Perumahan untuk memfasilitasi kami dalam menyelesaikan masalah ini sesuai dengan undang-undang yang berlaku," tambah Dwi.
Dwi mengungkapkan bahwa selama berlangsungnya sengketa dengan kelompok warga lain, PPRS yang sah telah mengalami kerugian materiil hingga Rp40 miliar. Kerugian ini timbul akibat kelompok PPRS tandingan yang menarik Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) dengan tarif lebih murah, sementara dana yang diterima tidak digunakan untuk membayar kebutuhan operasional seperti listrik dan air.
"Warga yang membayar IPL kepada PPRS tandingan ini tidak pernah membayar tagihan listrik dan air, sementara kami yang sah harus menalangi pembayaran tersebut untuk sekitar 200 warga," jelas Dwi.
Akibatnya, PPRS yang sah terpaksa menalangi pembayaran IPL selama sembilan tahun menggunakan dana dari anggaran sinking fund.
"Dana yang terpakai kurang lebih Rp40 miliar dalam sembilan tahun, dan itu adalah jumlah yang sangat besar bagi kami untuk memelihara gedung dan menjaga keamanan warga," ujar Dwi.
Dwi berharap agar Pj Gubernur DKI Jakarta memberikan perhatian terhadap masalah ini dan turut membantu penyelesaian konflik antarwarga. Selain itu, dia juga meminta agar PPRS tandingan bertanggung jawab dan mengganti kerugian sebesar Rp40 miliar yang telah digunakan untuk menalangi IPL warga.
"Sebagai langkah lanjutan, kami meminta kepada Pj Gubernur untuk segera melaksanakan putusan kasasi yang sudah inkrah dan berkekuatan hukum tetap," tutup Dwi. [Fhr]