Telusur.co.id -Penulis: Ibnu Abbas Al-Ghifari - Universitas Indonesia.
Permasalahan mengenai sampah masih menjadi masalah yang besar, tidak hanya di Indonesia tetapi juga dunia. Menurut data dari Making Oceans Plastic Free tahun 2017, sekitar 182,7 miliar kantong plastik digunakan setiap tahunnya di Indonesia. Angka ini menunjukkan bahwa kantong plastik sekali pakai masih menjadi bagian besar dari konsumsi masyarakat sehari-hari. Dari jumlah tersebut, bobot total sampah kantong plastik yang dihasilkan mencapai sekitar 1.278.900 ton per tahun. Lalu, Menurut studi yang dilakukan oleh Jenna R. Jambeck dan timnya pada tahun 2015, Indonesia menempati posisi kedua sebagai penyumbang terbesar sampah plastik ke lautan, hanya berada di bawah China. Diperkirakan sekitar 16 persen dari seluruh sampah plastik yang mencemari lautan berasal dari Indonesia. Jumlah ini menunjukkan betapa seriusnya masalah limbah plastik yang dihadapi Indonesia, terutama ketika sebagian besar sampah tersebut masuk ke ekosistem laut, mengancam kehidupan biota laut dan kesehatan manusia.
Tentunya berbagai permasalahan yang ditimbulkan dari sampah plastik tersebut merupakan masalah yang patut menjadi perhatian utama tidak hanya Indonesia, namun juga dunia. Instrumen cukai plastik menjadi salah satu opsi yang sebenarnya tidak baru dan sudah ada sejak beberapa tahun lalu. Hingga saat ini, negara – negara tetangga Indonesia, seperti Filipina dan Vietnam telah mengambil langkah nyata dengan menerapkan cukai plastik guna mengendalikan konsumsi plastik dan meminimalisir dampak lingkungan yang terjadi akibat besarnya volume konsumsi sampah plastik.
Di Indonesia sendiri gagasan mengenai cukai plastik sebenarnya sudah menjadi bahasan pemerintah sejak 2016 dan sempat memasukkannya ke dalam target penerimaan APBN 2017. Yaitu dengan skema bahwa tarif cukai pada kantor plastik dengan ketebalan kurang dari 75 mikron direncanakan sebesar Rp30 ribu per kg atau 200 per lembar. Namun, sampai saat ini kebijakan cukai plastik masih belum dapat diimplementasikan karena pemerintah mempertimbangkan dampak yang akan diberikan terhadap situasi perekonomian Indonesia ditengah kondisi perekonomian saat ini yang masih tidak pasti.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Baidarus dan Siburian pada tahun 2018, yang dipublikasikan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK), ditemukan bahwa setiap kenaikan harga kantong plastik sebesar 1% berpotensi menurunkan permintaan plastik hingga 0,96%. Dengan demikian, jika pemerintah menerapkan tarif cukai sebesar 20%, ini diperkirakan dapat menghasilkan penerimaan negara hingga Rp1,6 triliun, dengan asumsi konsumsi kantong plastik di Indonesia mencapai 53 juta kilogram per tahun.
Selain potensi pendapatan negara, kebijakan cukai plastik juga diprediksi memberikan dampak yang dapat dikatakan minimal terhadap inflasi. Pemungutan cukai ini diperkirakan akan menyumbang inflasi sebesar 0,045%, angka yang relatif kecil dibandingkan dengan potensi dampak positif terhadap lingkungan dan pengurangan limbah plastik. Data ini memberikan gambaran bahwa pengenaan cukai plastik tidak hanya efektif dalam mengurangi konsumsi, tetapi juga dapat mendukung upaya pendanaan negara tanpa membebani masyarakat secara signifikan.
Irlandia, merupakan salah satu negara yang terbilang cukup sukses dalam mengurangi penggunaan sampah plastik dengan memanfaatkan instrumen pungutan wajib dari pemerintah. Irlandia berhasil mengurangi penggunaan kantong plastik hingga lebih dari 90% setelah memperkenalkan Plastic Bag Levy pada tahun 2002. Awalnya dikenakan biaya sebesar 15 sen Euro per kantong plastik, langkah ini dirancang untuk mengurangi konsumsi plastik dan dampaknya terhadap lingkungan. Sebelum kebijakan ini, konsumsi kantong plastik mencapai rata-rata 328 kantong per orang setiap tahun. Setelah kebijakan diterapkan, angka tersebut turun drastis menjadi hanya 21 kantong per orang per tahun. Pada 2007, biaya ini dinaikkan menjadi 22 sen Euro untuk mempertahankan efeknya. Hasil dari kebijakan ini juga menciptakan pengurangan signifikan dalam sampah plastik di jalanan dan menghasilkan pendapatan sekitar €9.6 juta pada tahun pertama. Dana ini digunakan untuk mendukung proyek-proyek lingkungan melalui Environment Fund. Inisiatif ini mendapatkan dukungan publik yang luas, dengan 91% masyarakat menyatakan kebijakan tersebut baik untuk lingkungan dan lebih nyaman menggunakan kantong belanja yang dapat digunakan kembali.
Untuk melaksanakan kebijakan ini di Indonesia, presiden dan wakil presiden terpilih seharusnya tidak perlu ragu lagi untuk mengambil langkan pro aktif dalam menyegerakan pengimplementasian dari cukai plastik ini. Prabowo – Gibran perlu memastikan setiap kementrian/lembaga yang berkaitan mempunyai tujuan yang sama mengenai isu sampah plastik. Dalam hal ini tentunya kajian dari KLHK memegang peranan yang strategis. Solusi nyata yang mungkin dapat diambil ialah pemerintah mulai dengan tahap pengajuan ulang kebijakan. Otoritas fiskal perlu mengajukan kembali usulan tentang cukai listrik ke DPR. Di saat yang sama KLHK perlu menyegerakan kajian dan DJBC melakukan survei survei willlingness to pay pada masyarakat terkait dengan cukai ini.
Dalam pengimplementasian kebijakan cukai plastik, Indonesia dapat menerapkan kebijakan ini secara bertahap. Pendekatan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya reverse behaviour di masyarakat, yakni kecenderungan kembali menggunakan plastik secara berlebihan yang dapat merusak efektivitas kebijakan ini. Untuk mendukung implementasi tersebut, diperlukan strategi yang matang dan terencana. Hal ini penting untuk menghindari stagnasi atau penundaan di tengah tren global yang terus mendorong pengurangan sampah plastik serta meningkatnya tekanan dari berbagai organisasi internasional.
Lebih lanjut, pengenaan cukai plastik tidak dapat disamaratakan untuk semua jenis plastik. Pemerintah perlu menerapkan pendekatan yang lebih spesifik dengan mengacu pada praktik terbaik di negara lain. Sebagai contoh, Inggris mengelompokkan plastik ke dalam beberapa kategori, yaitu pointless plastic, replaceable plastic, dan problem plastic. Ketiga kategori ini mencakup jenis plastik yang konsumsi atau penggunaannya perlu ditekan. Sementara itu, ada dua kategori plastik yang dinilai perlu tetap dipertahankan, yaitu harder to replace plastic dan essential plastic. Pendekatan berbasis kategori ini dapat menjadi rujukan untuk memastikan kebijakan yang diambil lebih tepat sasaran dan berdampak signifikan
Kebijakan ini diharapkan mampu mendorong masyarakat untuk beralih dari penggunaan plastik konvensional menuju material yang lebih berkelanjutan, seperti bioplastik, kantong kain, atau kemasan berbahan alami seperti daun atau bambu. Selain itu, edukasi publik dan kampanye kesadaran perlu ditingkatkan agar masyarakat memahami dampak negatif plastik terhadap lingkungan dan mendukung perubahan perilaku konsumsi. Jika kebijakan ini didukung dengan insentif bagi produsen dan konsumen, serta infrastruktur pengelolaan limbah yang memadai, upaya ini tidak hanya akan mengurangi dampak lingkungan, tetapi juga membuka peluang inovasi dan pengembangan ekonomi hijau di masa depan.