Mengkaji Ulang Pilkada 2024 - Telusur

Mengkaji Ulang Pilkada 2024


Oleh: A. Fathoni *

 

LAUTAN audiens berjas kuning sontak menggemuruh menyambut pidato Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, pada puncak HUT Golkar ke-60, yang melontar ide perbaikan sistem pilkada, yang dia sebut "pilkada rasa pilkades". 

Acara yang dipandu pasangan presenter Ben Kasyafani dan Indy Barends, di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Kamis 12 Desember 2024, itu bertambah riuh oleh tepuk tangan audiens saat Presiden Prabowo yang hadir pada malam itu mempertegas ide perubahan sistem pilkada langsung itu. "Menurut saya kita harus perbaiki sistem kita, dan kita tidak boleh malu untuk mengakui bahwa kemungkinan sistem ini terlalu mahal…. Berapa triliun habis dalam satu-dua hari, dari negara maupun dari tokoh-tokoh politik masing-masing," ujarnya.

Saya, sebagai bagian dari keluarga besar Partai Golkar, turut hadir di tengah ribuan kader yang memenuhi Grand Ballroom SICC tersebut, ikut merasakan keriuhan itu. Dalam batin saya, ini kegelisahan yang saya pendam selama ini. 

Memang, politik berbiaya mahal menjadi salah satu anomali dalam Pilkada 2024. "Politik uang" terjadi di mana-mana, secara serentak di seluruh Indonesia, oleh hampir setiap pasangan calon. Fenomena ini seakan menjadi keniscayaan dan kewajaran jika ingin menang dalam kontestasi. Seistimewa apa pun program dan visi-misi calon, bertekuk lutut di hadapan politik uang. Tak tahu, dari mana sumber kesalahan ini terjadi. Entah dari calon, ataukah dari pemilih yang memulai? Seperti memperdebatkan duluan mana telur atau ayam, tak tahu mana yang memulai duluan. 

Kami, yang dulunya aktivis yang kemudian memilih terjun ke politik, pasti pertanyaan pertama dari masyarakat, "Punya modal duit berapa?" Kagok menjawabnya. Jawaban idealis yang berbusa-busa tanpa diyakinkan ada modal, bakal dipandang sebelah mata, dan berakibat minim dukungan. 

Pada konteks pilkada langsung, tak bisa dimungkiri, dalam setiap tahapan, mulai dari deklarasi calon, kampanye ke semua titik dan simpul suara, hingga pemungutan suara, semua berbiaya mahal. Ini yang disindir Presiden Prabowo, "Yang menang lesu, apalagi yang kalah." 

Selain berbiaya mahal, kalau kita kaji, anomali lain yang menonjol yang menyertai pelaksanaan pilkada langsung ialah munculnya politik identitas, yang memendam potensi "pembelahan" dalam masyarakat. Politik identitas ini biasanya dimunculkan sebagai bagian strategi memenangkan calon. Masyarakat pun terpolarisasi sedemikian rupa. Intrik dan intimidasi berbasis SARA kerap terjadi. 

Warga dari kelompok identitas tertentu seolah wajib memilih calon yang mereka usung berdasarkan identitas mereka. Siapa pun yang menyimpang, bakal dicap sebagai pengkhianat. Pilkada langsung yang seyogyanya menjadi pesta demokrasi rakyat yang riang gembira, menjadi begitu menegangkan. Program, visi-misi calon untuk kemajuan daerah, ataupun kualitas figur pasangan calon tidak lagi menjadi tolok ukur utama, tapi lebih ke politik identitas. 

Imbasnya, masyarakat terpolarisasi menjadi kiri ataupun kanan. Diperkeruh oleh masifnya hujatan, fitnah, dan hoaks yang mengharu biru memenuhi media sosial.

Di Lamongan sendiri, tempat saya berhikmah, berdasarkan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2024 yang dirilis Bawaslu, termasuk kabupaten dengan tingkat kerawanan tinggi; peringkat ke-5 dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur. Tingkat kerawanan ini, salah satunya, ditopang oleh indikator/variabel politisasi SARA. 

Apalagi, Pilkada Langsung 2024 menjadi awal sejarah di Lamongan diikuti oleh dua pasang calon. Biasanya lebih dari dua pasang. Tak pelak, masyarakat terpolarisasi menjadi dua kubu, sebut saja kubu "kanan" dan "kiri", demi mendukung dua pasang calon yang nyaris sama-sama kuat.

Ajakan Ketum Golkar, Bahlil Lahadalia, yang disambut tegas oleh Presiden Prabowo untuk mengevaluasi dan mengkaji ulang sistem politik dalam Pilkada 2024, sepantasnya kita dukung penuh. Demokrasi dalam pengertian kedaulatan rakyat, menurut hemat saya, tidak selalu bermakna simplistis harus melibatkan rakyat memilih secara langsung. Itu terlalu riskan untuk negara sebesar Indonesia, dengan lebih dari 1.000 suku bangsa, yang memiliki pusparagam budaya. Riskan dalam biaya, juga polarisasi dalam masyarakat. 

Usulan yang disampaikan Presiden Prabowo bahwa pilkada perlu dikembalikan ke DPRD, hanyalah salah satu opsi tawaran. Mungkin ada tawaran lain. Prinsipnya, apa pun tawarannya, sesuai kaidah ushul fiqih, "Al-muhafadhatu 'ala qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah"; memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik, harus menjadi pedoman kita dalam merumuskan segala sesuatu, termasuk mendesain sistem politik Indonesia yang bhinneka dan multibudaya ini.

Jangan takut untuk mengubah dan berubah. Mari kita kaji secara lebih utuh dan mendalam![***] 

 

*) Anggota Komisi A (Politik dan Pemerintahan) DPRD Kabupaten Lamongan, Fraksi Partai Golkar

 


Tinggalkan Komentar