Telusur.co.id -Penulis: Farid Azzam Zaidan dan Moch. Giffari Al Hafidz G, Mahasiswa dari Universitas Indonesia.
Pajak Karbon atau Carbon Tax merupakan instrumen perpajakan yang sedang trending sebagai langkah Sustainable Development Goals (SDGs) dalam rangka penanganan dan perubahan iklim. Tujuan dari Pajak Karbon adalah mengubah perilaku masyarakat untuk mengurangi aktivitas yang menghasilkan emisi gas karbon. Beberapa negara maju seperti Finlandia, Swedia, dan Norwegia berhasil menerapkan Carbon Tax untuk mengurangi tingkat emisi gas karbon.
Pajak Karbon merupakan salah satu varian dari Pigouvian Tax. Sebagaimana Tax Foundation (2020), Pajak Karbon merupakan pajak yang dikenakan atas setiap produk yang menghasilkan emisi karbon, misalnya bahan bakar fosil. Dalam karyanya yang berjudul The Economic of Welfare, Pigou (1920) menyebutkan bahwa eksternalitas negatif adalah sejumlah biaya yang dibebankan kepada pihak ketiga akibat aktivitas seorang individu atau perusahaan.
Pajak Karbon menjadi komitmen pemerintah Indonesia untuk mengurangi tingkat emisi melalui Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC). Pada awalnya, Pajak Karbon dijadwalkan untuk diterapkan pada April 2022. Namun hingga saat ini, masih belum terdapat kejelasan terkait kapan Pajak Karbon akan diimplementasikan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa penerapan Pajak Karbon masih ditunda karena pemerintah masih menyiapkan komponen-komponen regulasinya.
"(Penerapan pajak karbon, sedang) kami siapkan terus building block-nya, dari sisi peraturan dan regulasinya," kata Sri Mulyani saat menghadiri Indonesia Net-Zero Summit (INZS) di Jakarta, sebagaimana dilansir dari Antara (24/08/2024).
Penundaan penerapan Pajak Karbon tentunya memunculkan beberapa pertanyaan karena Pajak Karbon dimasukkan ke dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang menandai reformasi perpajakan di Indonesia. Salah satu isu yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah isu mengenai pembagian kewenangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait pajak karbon, atau yang disebut dengan tax assignment.
Kewenangan Fiskal
Sebagai implikasi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, terdapat pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, di mana bidang moneter dan fiskal nasional didesentralisasikan pada daerah (Hadi & Saragih, 2013). Adanya desentralisasi fiskal ini kemudian memunculkan isu terkait “siapa (tingkat pemerintahan yang mana) yang mengenakan pajak atas apa?”, yang disebut dengan masalah tax assignment.
Pemberian tax assignment tidak serta merta merupakan output dari adanya penyerahan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam bentuk desentralisasi fiskal. Richard Musgrave (1959) dalam McLure (2021) membedakan tiga fungsi fiskal pemerintah yang kemudian menjadi dasar dari tax assignment, yakni alokasi sumber daya, redistribusi pendapatan, dan stabilitas makroekonomi. Feld et al., (2015) juga menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi pengklasifikasian suatu pajak berada di kewenangan pemerintah pusat atau pemerintah daerah, sebagai berikut:
- Mobilitas Basis Pajak
Pertimbangan kewenangan berdasarkan mobilitas basis pajak sehingga meringankan cost of administration. Dalam hal ini, pajak yang memiliki mobilitas rendah, seperti PBB, PAT, dan BPHTB lebih cocok untuk dikenakan di tingkat daerah. Sebaliknya, atas pajak yang memiliki mobilitas tinggi seperti PPh OP, PPh Badan, dan PPN, lebih tepat dikelola oleh pemerintah pusat. Dalam hal ini, secara mobilitas basis pajak, Pajak Karbon lebih cocok dikelola oleh pemerintah pusat karena atas eksternalitas emisi gas karbon merupakan benda berwujud gas yang penyebarannya tidak terbatas, sehingga sulit menentukan daerah mana yang memiliki kewenangan untuk mengenakan Pajak Karbon.
- Prinsip Pembiayaan
Perlu adanya pertimbangan mengenai pemungutan pajak yang dikenakan oleh pemerintah. Seharusnya atas pungutan pajak diberikan kembali secara kontraprestasi terhadap masyarakat dalam bentuk layanan, subsidi, maupun bentuk-bentuk kontraprestasi lainnya. Secara pembiayaan Pajak Karbon lebih cocok dikelola oleh pemerintah pusat karena sebagaimana tertuang pada UU HPP, “Penerimaan Pajak Karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim.” Dalam hal ini, pemerintah pusat memiliki wewenang yang lebih besar untuk pengendalian perubahan iklim sebagaimana komitmen pemerintah Indonesia dalam ENDC.
- Kepentingan Lokal
Sebagaimana salah satu tujuan dari adanya desentralisasi fiskal, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk memaksimalkan potensi daerahnya masing-masing. Dalam hal ini pemerintah daerah memiliki kepentingan untuk meningkatkan penerimaan daerah dari penambahan basis pajak, salah satunya Pajak Karbon. Namun, pengelolaan yang terpusat penting untuk memastikan bahwa target pengurangan emisi karbon dapat dicapai secara merata di seluruh daerah, tanpa adanya perbedaan dalam tarif atau regulasi yang dapat menimbulkan ketidakadilan.
Berdasarkan penjelasan diatas, pembagian kewenangan pajak atau tax assignment merupakan hal yang penting untuk mencapai tujuan dari pajak itu sendiri. Pajak Karbon sebagai pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat merupakan langkah yang tepat demi mencapai tujuan pemerintah untuk mengurangi tingkat emisi karbon.