Menjadi Mahasiswa yang Belajar - Telusur

Menjadi Mahasiswa yang Belajar

Alumnus Universitas Gadjah Mada, Hasanudin Abdurakhman

telusur.co.id - Banyak orang mengeluh sulit mencari kerja. Khususnya bagi lulusan baru yang tidak punya pengalaman kerja. Tidak sedikit yang melamar ke sana sini tapi tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Namun dari sisi sebaliknya saya merasakan hal yang juga tak enak. Dari sisi pemberi kerja (perusahaan), saya sering merasa kesulitan mendapat tenaga kerja sesuai dengan yang kami butuhkan.

Waktu memimpin sebuah perusahaan manufaktur kecil di Karawang saya punya kebijakan untuk memprioritaskan lulusan baru ketika merekrut karyawan. Pertimbangannya, saya ingin memberi kesempatan seluas-luasnya bagi lulusan baru. Saya menyediakan diri untuk membimbing dan melatih karyawan, juga memberi kesempatan kepada mereka untuk belajar secara mandiri.

Apa hal terpenting yang saya perhatikan ketika saya menyeleksi calon karyawan? Kemampuan belajar. Prinsip saya, seorang karyawan yang baik dan bisa diandalkan adalah orang yang mampu belajar dan mau terus belajar. Perusahaan akan maju bila para karyawannya adalah orang yang cerdas, kreatif, dan penuh inisiatif. Tapi bagaimana bisa menilai semua itu dari suatu wawancara yang singkat? Meski tidak 100% akurat, hal itu bisa dilakukan.

Bagi lulusan baru biasanya saya tanya soal apa saja yang dia pelajari waktu kuliah. Tujuan pertanyaan ini tidak untuk menggali kemampuan spesifik yang dibutuhkan pada suatu lowongan pekerjaan. Tujuannya lebih pada menggali informasi tentang kemampuan seseorang untuk belajar. Kemampuan belajar seseorang akan terlihat dari cara dia menjelaskan apa yang dia ketahui. Saya biasanya mulai dari pertanyaan umum tapi mendasar, lalu mengerucut pada hal yang lebih spesifik. Seseorang yang belajar dengan benar pasti mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Sayangnya, banyak yang sudah keteteran pada satu dua pertanyaan pertama.

Pada calon karyawan dengan pengalaman kerja ceritanya hampir sama. Biasanya saya akan minta dia menjelaskan seluk beluk pekerjaan dia di tempat ia bekerja. Karyawan yang belajar mampu menjelaskan apa yang dia lakukan secara komprehensif, sedangkan yang tidak hanya bisa menjelaskan sesuatu secara parsial. Ciri penting dari kemampuan belajar adalah kemampuan melihat persoalan yang dihadapi secara utuh.

Mengapa banyak orang yang gagal dalam seleksi kerja? Mengapa banyak orang yang tak kunjung dapat pekerjaan? Banyak yang mengira karena teknik wawancara mereka buruk. Ya, banyak yang mengira teknik wawancara adalah kunci untuk lulus seleksi. Lalu mereka mati-matian belajar dan berlatih wawancara. Hasilnya: mereka jadi badut saat wawancara.

Sebab kegagalan yang utama sangat jelas: karena mereka tidak belajar. Atau, karena mereka belajar dengan cara yang salah. Banyak mahasiswa mengira di bangku kuliah mereka akan belajar tentang hal-hal yang membuat mereka siap bekerja. Yang dibayangkan adalah ketika lulus nanti mereka akan mendapat pekerjaan dengan bekal apa yang sudah mereka pelajari. Pikiran seperti itu hanya cocok untuk peserta kursus menjahit yang ingin mencari kerja sebagai tukang jahit!

Pekerja lulusan perguruan tinggi tidak diharapkan demikian. Mungkin hanya 10% dari apa yang dipelajari dari kurikulum kuliah yang terpakai di dunia kerja. Dalam banyak kasus malah jauh di bawah angka itu. Kalau begitu, untuk apa kuliah bertahun-tahun, mempelajari ilmu yang kemudian tidak dipakai?

Kuliah, sekali lagi, bukan kursus keterampilan. Tujuan utama kuliah adalah untuk mengasah kemampuan belajar. Materi kuliah pada akhirnya hanyalah sampel yang pada tingkat tertentu bisa diganti-ganti. Lulus kuliah tidak berarti seseorang sudah lengkap ilmunya, dan siap memasuki dunia kerja. Lulus kuliah hanya bermakna bahwa seseorang sudah menjalani proses belajar, dan ia sudah menunjukkan kemampuan belajarnya, dan siap untuk belajar lagi.

Ketika memasuki dunia kerja orang tidak dihadapkan pada persoalan seperti saat menyelesaikan soal ujian di kelas. Ia akan menyelesaikan masalah yang selalu punya banyak dimensi. Dalam setiap masalah ia harus belajar lagi untuk mencari penyelesaiannya. Yang harus dia pelajari tidak terbatas pada bidang yang tadinya ia tekuni, tapi meliputi berbagai bidang. Dan setiap hari, setiap saat ia akan dihadapkan pada situasi itu. Setiap hari dan setiap saat ia harus belajar, lagi dan lagi. Bahkan seorang presiden direktur, seorang pakar sekalipun harus selalu belajar.

Banyak mahasiswa yang belajar demi menghadapi ujian. Lulus ujian adalah tujuan belajar. Bahkan lulus ujian adalah tujuan dari tujuan. Karenanya kita sering menemukan mahasiswa menyontek saat ujian. Pada titik itu ia sudah gagal sebagai mahasiswa, karena ia gagal memahami makna yang paling dasar dari proses belajar. Besar kemungkinan ia hanya akan jadi penenteng ijazah kosong saat lulus nanti.

Banyak pula mahasiswa yang tidak menghayati proses belajar. Ketika praktikum, misalnya, mereka hanya fokus pada materi akademik belaka. Padahal ada banyak sisi non-akademik seperti kerja sama, kepemimpinan, etika, dan lain-lain. Banyak yang menghabiskan waktu dengan menekuni buku teks, menjadi penghafalnya, tapi tidak pernah peduli pada hal lain seperti pergaulan, komunikasi, dan hal-hal lain yang dikenal sebagai soft skill. Hasilnya adalah seseorang yang mahir dalam hal-hal teknis, tapi gagap dalam kerja sama.

Oleh : Hasanudin Abdurakhman
- Alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM)
- General Manager di salah satu perusahaan Jepang yang berkantor di kawasan Summit Mas, Sudirman, Jakarta Selatan
 


Tinggalkan Komentar