Telusur.co.id -Penulis: Faqih Thoriqul Aziz, Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia.
Prabowo Subianto, sebagai presiden terpilih, bertekad penuh dan berani dalam pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN). Presiden ke-8 Indonesia tersebut mengusulkan pembentukan BPN ini akan menjadi badan baru yang tidak berada di bawah Kementerian Keuangan. Pemisahan peran antara perumusan kebijakan fiskal dan pengumpulan penerimaan di Kementerian Keuangan menjadi langkah terobosan yang diharapkan mampu mendongkrak tax ratio secara signifikan, menciptakan fondasi baru bagi optimalisasi penerimaan negara. Melalui pembentukan BPN, fungsi Kementerian Keuangan sebagai pengumpul penerimaan akan sepenuhnya dialihkan ke badan baru ini. Dampaknya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), yang saat ini bernaung di bawah Kementerian Keuangan sesuai Peraturan Presiden No. 57 Tahun 2020, akan melepaskan diri dari otonomi Kementerian Keuangan.
Namun, gaungan pembentukan BPN ini terasa kian tenggelam setelah keluarnya Peraturan Presiden Nomor 139 tahun 2024 tentang Penata Tugas dan Fungsi Kementerian Negara Kabinet Merah Putih Periode Tahun 2024 yang menegaskan fungsi Kemenkeu yang langsung di bawah komando Presiden. Dilansir dari detikfinance, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menuturkan bahwa kementerian keuangan adalah satu, yang mengindikasi bahwa tidak ada badan lain yang sifatnya menggantikan tugas dari Kementerian Keuangan. Seakan angin belaka, pembentukan BPN diterka tidak akan terwujud.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), sebagai otoritas utama di bidang kepabeanan dan cukai, tentu turut terdampak oleh pembatalan rencana ini. Hingga 13 November 2024, belum ada peraturan yang mengubah struktur DJBC di bawah Kementerian Keuangan. Penulis beropini pembatalan pembentukan BPN ini turut mengindikasikan bahwa DJBC akan tetap berada di bawah naungan Kementerian Keuangan, tanpa peluang untuk memisahkan diri dari kendali kementerian yang dipimpin oleh Sri Mulyani tersebut. tersebut.
Bea dan cukai sendiri merupakan pondasi yang cukup kokoh dalam menyusun struktur APBN. Sebagaimana dilansir dari laman beacukai.id, penerimaan negara dari bea dan cukai mencapai Rp282,2 Triliun. Selain itu, fungsinya tidak hanya sebagai sumber penerimaan bagi APBN. fungsi dari bea dan cukai sendiri tidak hanya sebagai penerimaan bagi APBN, tetapi juga terkait lalu lintas dan aktivitas perdagangan. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), dalam hal ini sebagai otoritas bea dan cukai di Indonesia, memegang peran penuh atas regulasi bea dan cukai di Indonesia. Dapat dikatakan, DJBC sangat berperan dalam melindungi masyarakat Indonesia dari ancaman barang terlarang dan barang dengan impor yang dibatasi. Terdapat empat fungsi DJBC, yakni revenue collector, community protector, trade facilitator, dan industrial assistance. Fungsi ini menjadi dasar bahwa DJBC merupakan otoritas yang tidak hanya bicara soal penerimaan negara, melainkan banyak hal lainnya. Menilik pentingnya fungsi DJBC, sudah seharusnya DJBC diberikan kewenangan penuh untuk dapat memaksimalkan pergerakannya sebagai otoritas kepabeanan dan cukai di Indonesia.
Pemisahan DJBC dari Kemenkeu dapat membuka potensi adanya kepastian sumber penerimaan negara yang lebih stabil dan berkelanjutan. Pasalnya, DJBC lebih resisten dalam merumuskan kebijakan yang lebih responsif terhadap dinamika ekonomi nasional, maupun global. Selaras dengan hal tersebut, Prasetyo (2020) berpendapat bahwa negara yang memiliki otonomi dalam pengelolaan bea cukai cenderung memperlihatkan pertumbuhan pendapatan yang lebih segar dibandingkan dengan yang masih terintegrasi dalam kementerian keuangan.
Dalam poros good governance, lembaga negara ibarat nahkoda yang menavigasi kapal besar ke arah akuntabilitas dan transparansi. Kelembagaan berperan sangat penting untuk mengatur dan mendistribusikan sumber daya agar dapat tercipta optimalisasi sumber daya untuk mencapai tujuan kebijakan. Berdirinya DJBC sebagai lembaga yang memiliki otonomi sendiri dapat mengoptimalkan perannya tanpa adanya pengaruh dari kebijakan belanja yang sering tidak selaras dengan tujuan penerimaan. Selain itu, kompleksitas birokrasi dan tumpang tindihnya kewenangan suatu lembaga pun juga dapat dimitigasi demi mewujudkan good governance pada DJBC. Kerumitan birokrasi berpotensi terciptanya kebocoran penerimaan yang tentunya merugikan negara. Sebagaimana studi yang dilakukan Nuryati (2019) yang menunjukkan bahwa sentralisasi kewenangan dapat menurunkan tingkat kebocoran pendapatan negara hingga 30%.
Intervensi politik menjadi bayangan gelap yang tak bisa diabaikan dalam perjalanan sebuah lembaga. Dengan tidak dipisahkannya DJBC dari Kemenkeu, akan terdapat abuse of power yang kerap dicampuri bumbu politik. Dengan berdirinya DJBC dengan kakinya sendiri, dapat menunjukkan ketidakberpihakan otoritas ini terhadap satu pihak yang berimplikasi juga pada kepercayaan publik pada otoritas ini. Dalam laporan tahunan yang diterbitkan oleh Transparency International (2023), terdapat korelasi positif antara tingkat kemandirian lembaga pengelola penerimaan negara dengan persepsi publik tentang integritas dan transparansi. Dalam konteks DJBC, pemisahannya dari Kemenkeu dapat memperkuat legitimasi lembaga ini di mata masyarakat.
Kesimpulan
Pembatalan pemisahan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dari Kementerian Keuangan menunjukkan dinamika yang kompleks dalam pengelolaan penerimaan negara. Di satu sisi, DJBC memiliki peran strategis yang tidak hanya berfokus pada penerimaan fiskal tetapi juga pada perlindungan masyarakat dan fasilitasi perdagangan. Pemisahannya dari Kemenkeu dianggap dapat meningkatkan efisiensi, transparansi, dan daya respons terhadap perubahan ekonomi global. Namun, di sisi lain, integrasi DJBC dalam Kemenkeu memberikan sinergi yang lebih terkoordinasi dalam perumusan dan implementasi kebijakan fiskal.
Langkah pembatalan ini, meskipun mengecewakan bagi sebagian pihak, membuka ruang bagi pemerintah untuk mengevaluasi strategi yang lebih baik dalam memperkuat tata kelola DJBC. Alih-alih memisahkan secara kelembagaan, fokus pada reformasi birokrasi, peningkatan teknologi, dan pemberdayaan sumber daya manusia dapat menjadi solusi untuk mengoptimalkan peran DJBC tanpa harus mengorbankan koordinasi fiskal.
Di tengah tantangan ekonomi global yang semakin kompleks, pemerintah dituntut untuk mengambil keputusan yang tidak hanya pragmatis tetapi juga berbasis visi jangka panjang. Apapun format kelembagaannya, DJBC harus diberikan ruang yang cukup untuk berinovasi, menjaga akuntabilitas, dan melayani kepentingan masyarakat secara maksimal. Dengan pendekatan yang tepat, harapan akan penerimaan negara yang lebih stabil dan berkelanjutan tetap bisa diwujudkan.