Modifikasi Otoritas Pajak Semi Otonom: Upaya Pembengkakan Anggaran atau Suplai Penerimaan? - Telusur

Modifikasi Otoritas Pajak Semi Otonom: Upaya Pembengkakan Anggaran atau Suplai Penerimaan?


Telusur.co.id -Penulis: Caezar Putra Shidqie,  Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.

Pada musim kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) beberapa waktu lalu, salah satu pasangan calon mengusung ide untuk mendirikan lembaga Badan Penerimaan Negara (BPN) dengan tujuan dapat mendongkrak tax ratio di Indonesia. Lembaga tersebut nantinya akan berwenang dalam menjalankan fungsi penerimaan negara, khususnya dari bidang perpajakan, bea cukai, dan penerimaan negara lainnya. 

Gagasan tersebut kemudian menjadi salah satu gagasan yang kerap menjadi buah bibir khalayak masyarakat, baik pro maupun kontra. Bahkan, ditemukan bahwa rencana tersebut mendapatkan respons positif dari sejumlah akademisi dan konsultan pajak (Sugiarto & Subandi, 2017). 

Akan tetapi, pada Oktober kemarin, diumumkan bahwasanya pendirian BPN ini dibatalkan atas sejumlah pertimbangan. Ketua Relawan Pengusaha Muda Nasional (REPNAS), Anggawira mengutarakan bahwa pendirian BPN memerlukan serangkaian proses yang memiliki kompleksitas yang tinggi. Pendirian BPN tersebut dibatalkan karena transformasi lembaga dinilai memerlukan policy cost yang besar. 

Rencana Awal Pendirian Badan Penerimaan Negara di Indonesia 

Pada mulanya, pendirian BPN ini bertujuan untuk dapat mengejar target tax ratio para era pemerintahan baru hingga 23%, terlebih dengan kondisi Indonesia saat ini yang masih memiliki tax ratio di angka 10,21%. Namun, dengan sejumlah pertimbangan, pendirian BPN pun batal. 

Padahal, menurut sejumlah penelitian, ditemukan bahwasanya pendirian lembaga BPN dinilai dapat membantu mendongrak target penerimaan negara yang bersumber dari pajak. Hal ini karena desain kelembagaan dari BPN sendiri mengadopsi desain kelembagaan Semi-Autonomous Revenue Authority (SARA). Kristiaji dan Poesoro (2013) mengungkapkan bahwa dengan desain kelembagaan ini, tax ratio dinilai dapat meningkat sebesar 3% – 5%. 

SARA sendiri merupakan model desain kelembagaan yang memberikan wewenang lebih luas dan independen kepada otoritas pajak dan bea cukai Haldenwang et al., (2014) dalam Asmarani (2024) mengatakan bahwa desain kelembagaan ini memberikan wewenang kepada otoritas pajak secara terpisah dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). 

Desain kelembagaan otoritas pajak yang berada di bawah naungan Kemenkeu telah banyak ditinggalkan sejumlah negara dengan mengadopsi desain kelembagaan SARA, seperti di Peru, Singapura, Australia, dan negara-negara lainnya. 

Status Quo Desain Kelembagaan Otoritas Pajak di Indonesia

Di Indonesia sendiri, desain kelembagaan yang diimplementasikan masih berbentuk non-SARA. Dengan demikian, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ini masih berada di satu tubuh yang sama dengan Kemenkeu. Hal ini dinilai menimbulkan keterbatasan ruang gerak bagi DJP dalam merumuskan kebijakan secara lebih independen (Andiko et al., 2015). Selain itu, desain kelembagaan otoritas pajak di Indonesia saat ini juga dinilai menghambat birokrasi yang secara paralel menghambat proses yang efektif dan efisien (Nuryanto, 2019). 

Semi-Autonomous Revenue Authority Bak Angin Segar Kelembagaan Otoritas Pajak 

Adopsi dari desain kelembagaan SARA pada otoritas perpajakan suatu negara dinilai dapat memangkas proses birokrasi dengan Kemenkeu sehingga alur perancangan kebijakan dan juga administrasi dapat berjalan secara lebih efektif dan efisien. Lebih lanjut, Taliercio et al., (2004) mengungkapkan bahwa adopsi dari SARA ini dinilai dapat menunjang performa dan sistem administrasi dari otoritas pajak. 

Efektivitas dan efisiensi dari proses birokrasi dan administrasi dari lembaga otoritas pajak dapat memberikan wewenang lebih luas kepada otoritas pajak. Dengan demikian, otoritas pajak tersebut dapat memiliki kendali yang lebih luas dalam mengelola penerimaan negara, khususnya yang bersumber dari pajak. 

Menilik Keberhasilan Desain Kelembagaan SARA di Sejumlah Negara 

Berdasarkan penemuan Taliercio et al., (2004), desain kelembagaan SARA ini telah terbukti berhasil meningkatkan tax ratio di sejumlah negara. Salah satunya di Peru, SARA berhasil diadopsi dalam Superintendencia Nacional de Aduanas y de Administracion Tributaria (SUNAT) dengan meningkatkan tax ratio dari 8,4% menjadi 12,3% dalam rentang waktu 1991 – 1998. 

Selain itu, Uganda juga mengimplementasikan lembaga serupa, yakni Uganda Revenue Authority (URA). Lembaga tersebut berhasil mendongkrak tax ratio dari yang sebelumnya berada di angka 7% menjadi 11,9% dalam jangka waktu 1991 – 1999. 

Tantangan dalam Implementasi Desain Kelembagaan SARA 

Kendati demikian, kompleksitas dari adopsi desain kelembagaan SARA pada otoritas pajak di Indonesia memanglah betul adanya. Pasalnya, transformasi desain kelembagaan memerlukan sejumlah tantangan dan juga cost yang harus dipertimbangkan. Pertama, perlu adanya pertimbangan atas policy cost yang dibutuhkan, seperti administrative cost, direct cost, dan juga indirect cost, terlebih dengan adanya pembengkakan pengeluaran negara belakangan ini. 

Kedua, adopsi dari SARA ini dinilai berpotensi menimbulkan lembaga otoritas pajak yang memiliki power yang kuat karena memiliki hierarki langsung di bawah presiden (Junquera-Varela et al., 2019). Hal ini kemudian akan berdampak kepada pencederaan atas

hak-hak dari wajib pajak apabila kekuatan dari lembaga otoritas pajak tidak terkontrol dengan baik. 

Ketiga, Manasan (2003) dalam Darussalam (2024) mengungkapkan bahwa desain kelembagaan ini juga dapat membawa distorsi dalam hal perumusan kebijakan. Hal ini karena adanya kemungkinan atas ketidakselarasan antara kebijakan yang lebih menekan kepada revenue oriented dengan kebijakan yang berfokus kepada pembangunan nasional. 

Pada dasarnya, adopsi desain kelembagaan SARA dengan memisahkan wewenang dari otoritas pajak (DJP dan DJBC) dari Kemenkeu memanglah dapat membantu mendongkrak tax ratio di Indonesia. Akan tetapi, perlu adanya pertimbangan secara berkelanjutan terkait hal-hal yang berpotensi mendistorsi sejumlah aspek, seperti hak-hak wajib pajak dan juga pembangunan nasional. 

Oleh karena itu, ketika desain kelembagaan SARA akan diimplementasikan di Indonesia, diperlukan adanya kontrol atau kendali yang menjaga pergerakan dari otoritas pajak semiotonom sehingga tidak menjadi lembaga yang sewenang-wenang. Hal ini dirasa perlu dilakukan agar dapat menjaga stabilitas ekonomi di Indonesia atas kebijakan-kebijakan yang dihasilkan. 


Tinggalkan Komentar