Oleh: Dr. K.H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A., (Wakil Ketua MPR RI Periode 2019-2024)
TAHUN 2024 menjadi momentum bagi Indonesia untuk melesat menjadi bangsa dan negara maju. Pertama, 2024 menjadi tahun sakral pembangunan infrastruktur fisik IKN di Kalimantan yang menjadi tonggak penting bagi pembangunan untuk tahap-tahap selanjutnya. Kedua, proses sirkulasi kepemimpinan di Indonesia berjalan dengan mulus dan tanpa konflik, penuh dengan spirit persatuan dan nuansa perdamaian. Hal ini menjadi penanda bahwa elit-elit politik yang berkompetisi pada pemilu semakin dewasa dalam bersikap. Ketiga, 2024 menjadi tahun yang penuh konsolidasi bagi elit pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan kapasitas kebangsaan di segala lini kehidupan guna mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Oleh karena itu, peringatan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 2024 nanti di IKN akan menjadi momen peringatan yang penuh makna. Nusantara baru (baca; Ibu kota baru) diharapkan menjadi modal dasar bagi terwujudnya cita-cita Indonesia maju di masa yang akan datang.
Kunci Sukses
Keberhasilan suatu bangsa dan negara untuk menjadi negara maju tidak dicapai secara instan, melainkan melalui sebuah proses yang terencana dan dijalankan secara solid dan partisipatif oleh elemen-elemen di dalamnya. Amerika Serikat tumbuh menjadi Pax Americana menggantikan Pax Romana dan Pax Britannica pada periode pasca PD II (1945) dengan dukungan dari segenap elemen bangsa dalam menyuarakan jargon-jargon demokrasi, kebebasan sipil, dan kesetaraan hak asasi manusia. Pada masa itu, jargon-jargon ini masih seperti barang asing di tengah berkecamuknya realisme politik negara-negara Barat dalam mengejar dominasi ekonomi dan kekuasaan politik. Amerika Serikat semakin menancapkan posisinya sebagai hegemoni dunia ketika elit-elitnya mampu mengawinkan antara hard power (baca; kekuatan militer) dan soft power (baca; keunggulan sosial, ekonomi, dan budaya), sehingga Amerika Serikat keluar sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang progresif, kekuatan militer pilih tanding, dan banyak memiliki proksi-proksi politik di berbagai kawasan untuk menopang hegemoninya.
Kita juga perlu mencermati kebangkitan Tiongkok yang diprediksi akan menjadi imperium baru bernama Pax Sinica. Lesatan kemajuan Tiongkok di bidang militer dan ekonomi sungguh progresif. Adalah Deng Xiaoping, bapak modernisme Tiongkok, yang meniupkan ideologi pragmatisme kepada seluruh masyarakat. Tidak peduli kucing hitam atau kucing putih, yang penting bisa menangkap tikus. Inilah dasar megatrend politik dan ekonomi yang melanda Tiongkok dalam beberapa dasawarsa terakhir.
Tiongkok sangat menyadari bahwa mereka adalah bangsa bahari. Oleh karenanya, pembangunan kekuatan militer diarahkan pada pembangunan kekuatan maritim. Dengan kekuatan militer yang tangguh, Tiongkok tak sungkan untuk berkonflik dengan negara lain dalam menancapkan pengaruhnya. Salah satunya adalah konflik di Laut Cina Selatan yang masih berkobar hingga hari ini. Dengan kebijakan Belt Road Initiative dan Silk Road, Tiongkok berupaya menancapkan pengaruhnya di dunia melalui pendekatan ekonomi. Tiongkok menjelma menjadi alternatif pilihan dalam hal pinjaman ekonomi bagi negara-negara berkembang atau dunia ketiga yang selama ini merasa hanya diperbudak oleh Amerika Serikat melalui instrumen IMF dan Bank Dunia.
Keunggulan kompetitif
Indonesia memiliki modalitas yang besar untuk tumbuh berkembang seperti halnya Amerika Serikat dan Tiongkok. Pertama, Indonesia memiliki keunggulan geografis yang meletakkannya pada jalur strategis perdagangan dunia. Kedua, Indonesia mengalami surplus penduduk usia produktif yang dapat diberdayakan dalam menjalankan pembangunan nasional. Ketiga, Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, baik sebagai negara agraris, maritim, maupun negara dengan potensi energi baru dan terbarukan paling prospektif di dunia. Keempat, pola diplomasi Indonesia di panggung internasional dilandasi oleh prinsip yang luwes atau fleksibel, yakni diplomasi bebas dan aktif. Indonesia tak akan kesulitan mengoptimalkan semua relasi dalam mendukung kepentingan nasionalnya. Kelima, Indonesia memiliki keunggulan dalam hal khazanah budaya bangsa, yakni keragaman dalam hal suku, adat istiadat, agama, bahasa, dan lain-lain, yang notabene belum tentu dimiliki oleh negara lain.
Berbagai keunggulan komparatif tersebut perlu dikonversi menjadi keunggulan kompetitif agar bisa dimanifestasikan dalam bentuk capaian-capaian yang konkret dan bermanfaat bagi masyarakat. Kuncinya adalah pada aspek kepemimpinan. Indonesia membutuhkan kepemimpinan visioner (visionary leadership) yang kuat, mampu melihat persoalan secara luas dan memiliki gambaran besar mengenai quo vadis Indonesia di masa depan. Kepemimpinan Indonesia hari ini sejatinya sudah berada pada kriteria tersebut, demikian pula harapan kita pada kepemimpinan selanjutnya. Pemancangan visi Indonesia Emas 2045 dipandang sebagian kalangan pesimis sebagai visi yang utopis dan lebih bermuatan selebrasi dan festivalisasi. Tapi bagi kalangan yang optimis, visi Indonesia Emas 2045 tersebut merupakan bentuk komitmen seluruh elemen bangsa untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa dan negara emas, yakni negara dengan prinsip dan praksis kesejahteraan yang mampu memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya akan sandang, pangan, dan papan dengan harga yang terjangkau, negara yang demokratis, serta negara yang berlandaskan pada koridor hukum di semua aspek kehidupannya.
Guna mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, langkah yang ditempuh hari ini menjadi tolok ukurnya. Salah satu yang perlu kita cermati adalah pemindahan ibu kota negara dari DKI Jakarta ke IKN di Kalimantan. Pemindahan ibu kota negara ini didasari oleh spirit untuk mewujudkan pemerataan hasil pembangunan, serta pemerataan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Model pembangunan yang terjadi selama ini memang mampu memacu pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, hasil pembangunan lebih banyak terkonsentrasi di Pulau Jawa, lokasi ibu kota berada. Hasil pembangunan tidak menetes (trickle-down) ke daerah-daerah pinggir, khususnya kawasan Timur Indonesia. Alhasil, wilayah-wilayah seperti Aceh dan Papua, yang notabene merupakan wilayah kaya sumber daya alam, terjerembap sebagai provinsi termiskin di Indonesia. Papua bahkan bergejolak menuntut kemerdekaan sampai hari ini. Melalui pemindahan ibu kota negara ke wilayah tengah negara, dalam hal ini Pulau Kalimantan, diharapkan dapat lebih mewujudkan pemerataan. Pola seperti ini juga telah diterapkan oleh negara-negara lain yang melakukan pemindahan ibu kota seperti Brazil, Kazakhstan, Turki, hingga Australia. Pemerintah bahkan memiliki visi yang lebih optimis dengan menempatkan IKN sebagai pusat gravitasi nasional (center of gravity). Yakni sebagai pusat pemerintahan, pusat ekonomi dan perdagangan, serta pusat pertahanan dan keamanan.
Soliditas kebangsaan
Pembangunan IKN yang berjalan hari ini memang belum bisa dikatakan sempurna, baik secara konsep maupun implementasinya. Kekurangan ini perlu kita sempurnakan bersama dengan urun rembuk dan senantiasa memberikan solusi bagi pemerintah. Dari sisi sosial budaya misalnya, ada potensi terjadinya konflik horizontal antara penduduk lokal dan pendatang apabila pemerintah tidak memiliki cetak biru dalam tata kelola kependudukan di IKN. Kalimantan memiliki sejarah panjang dalam menerima arus migran pada masa lalu. Komposisi penduduk Kalimantan Timur hari ini didominasi oleh para pendatang. Namun tantangan hari ini tentu saja berbeda dengan tantangan di masa lalu. Pemerintah perlu meresponsnya dengan kebijakan yang tepat. Kekurangan lainnya, atau lebih tepatnya kerentanan lainnya, berada pada sisi pertahanan dan keamanan. Posisi ibu kota di Kalimantan memiliki kerentanan yang lebih besar dibandingkan dengan Jakarta. Kalimantan Timur berada pada jalur ALKI II yang merupakan jalur pelayaran internasional. Traffic potensi ancaman tentu jauh lebih tinggi. Indonesia juga masih berseteru dengan Malaysia di wilayah Sebatik dan Ambalat. Manajemen perbatasan yang belum solid berpotensi menimbulkan masalah perbatasan dan konflik perbatasan yang dapat berdampak secara langsung atau tidak langsung terhadap IKN. Persolan-persoalan inilah yang harus dicermati oleh pemerintah.
Pelaut yang tangguh tidak dibentuk oleh lautan yang tenang. Demikian juga bangsa yang besar tidak dibentuk oleh dinamika yang stagnan. Indonesia sudah melewati banyak halang rintang dalam usianya yang tidak lagi muda. Pemberontakan dan gerakan separatis di awal kemerdekaan, totalitarianisme orde baru, krisis moneter yang menghancurkan fondasi ekonomi, krisis politik 1998, hingga pandemi Covid-19 pada 2020 yang memakan banyak korban jiwa. Namun demikian, semua ancaman dan tantangan tersebut dapat dilalui dengan baik berkat soliditas kebangsaan yang kuat. Ini tentu menjadi modalitas penting dalam menyongsong mimpi besar Indonesia Emas 2045. Akhirul kalam, saya mengucapkan, selamat hari kemerdekaan Indonesia ke-79. Dengan Nusantara baru, kita songsong Indonesia maju. Dirgahayu negeriku.