Telusur.co.id - Oleh: Dr. Margarito Kamis, SH. M.Hum
Terminologi Otorita, mendadak muncul dipanggung politik dan hukum tata negara mutakhir, yang dengan sejumlah alasan praktis terlihat eksplosif. Tensinya terus bergerak naik. Menariknya, gerak naik itu tidak disebabkan oleh terminologi itu, tetapi hal lain, yang tidak seorang pun dapat mengingkarinya, yaitu pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur.
Romantisasi Jakarta dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara, andai hal itu hendak disodorkan dan disajikan di meja diskusi politik, tak mungkin bisa diremehkan. Suka atau tidak, di Jakartalah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dilangsungkan. Jakarta pulalah, untuk pertama kalinya pemerintahan nasional dibentuk dan bekerja.
Tidak lama, karena untuk alasan keamanan, pemerintahan nasional yang baru berumur 3 (tiga) bulan, terhitung untuk pertama kalinya bekerja sejak tanggal 2 September Presiden Sukarno membentuk kabinetnya. Kabinet ini bekerja pada tanggal 5 September 1945. Menariknya pemerintahan presidensial ini berumur pendek.
Politik, bukan hukum, berbicara dengan cara yang tidak banyak orang dapat mengenal esensinya. Indonesia telah merdeka dan orang-orang yang tadinya kritis terhadap kemerdekaan yang diproklamasikan itu, juga ikut menyelenggarakan pemerintahan. Entah begitulah begitu politisi atau hal lain, beberapa diantara mereka masih terus ditindas oleh keraguan terhadap cara kemerdekaan diproklamasikan.
Bikinan Jepang, begitulah mereka yang ditindas keraguan tentang proklamasi kemerdekaan, membayangkan akan menjadi penilaian sekutu terhadap kemerdekaan itu. Bagi mereka, penilaian semacam, ini harus dicegah. Apalagi disisi lain, dunia telah dikendalikan Barat, dengan Amerika dan Inggris berada di front terdepannya.
Amerika dan Inggris, dua kampiun demokrasi, yang telah membuat Hitler dan Musolini bertekuk lutut, sedang terbakar gairah memastikan negara-negara di dunia mencampakan totalitarisme ala Hitler dan fasisme ala Jepang. Amerika, dengan Presidennya Harry Truman, terkenal dengan taktik dan visi politik yang cermat, menempatkan kebebasan sebagai cara mewujudkan keadilan. Dalam keyakinannya, keadilan hanya bisa diwujudkan sejauh demokrasi tumbuh di negara-negara baru.
Berbagi tugas atau kalkulasi efisiensi, menjelang akhir September 1945, bukan Amerika, tetapi Inggris, sekutunya yang produktif, mendarat di Indonesia. Jepang harus dipastikan menyerah total, tidak eksis dan harus tunduk pada kendali sekutu, menjadi memandu mereka memasuki Indonesia pada bulan September itu.
Campuran faktor-faktor itu menghasilkan perubahan postur bentuk pemerintahan nasional Indonesia. Pemerintahan presidensial yang dipimpin Bung Karno berakhir pada tanggal 13 November 1945. Pada 14 November 1945 pemerintahan Bung Karno diganti oleh pemerintahan parlementer dengan Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menterinya.
Pemerintahan ini Sjahrir diselenggarakan di Jakarta. Tapi tak lama. Tanggal 6 Januari 1946, pemerintahan ini dipindahkan begitu saja, tanpa perintah UU, ke Yogyakarta. Menariknya, Sutan Sjahrir tetap berada di Jakarta, tanpa menteri-menterinya. Bung Karno, Bung Hatta dan menteri-menterinya pindah ke Yogyakarta.
Tahun 1949, untuk alasan politik, negara kesatuan Republik Indonesia. Berubah menjadi Republik Indoensia Serikat. Perubahan bentuki negara ini terjadi pada tanggal 27 Desember 1949. Republik Indonesia ber-ibu kota Yogyakarta dengan Mr Assat sebagai Presiden, sebenarnya acting presiden, dan Susanto sebagai Perdana Menterinya.
Jakarta, disisi lain, menjadi ibu kota Republik Indonesia Serikat (RIS), dengan Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Pada tanggal 13 Mei 1950, barulah dibentuk UU Darurat Nomor 20 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Jakarta Raya. Tapi tak satu pun dari 8 (delapan) pasal dalam UU ini mengatur Jakarta Raya sebagai Ibu Kota RIS.
RIS bentukan Belanda itu, karena ketidaksukaan Indonesia, segera menemukan akhir untuk selamanya. RIS dibubarkan secara sah pada tanggal 17 Agustus 1950. Republik Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, dengan pemerintahan berbentuk republik dan sistem pemerintahan parlementer. Pemerintahannya diselenggarakan di Jakarta.
Jakarta, dengan demikian, tersaji sekali lagi, dalam ketatanegaraan sebagai ibu kota negara republik Indonesia. Status itu disandang begitu saja, sesuai kenyataan ketatanegaraan yang telah diterima. Melintasi waktu politk dan tata negara yang panjang, akhirnya melalui Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1961 Tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya, menyatakan Jakarta Raya sebagai ibu kota negara Kesatuan RI.
Kebijakan pemerintahan nasional tersebut dituangkan dalam pasal 1 Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1961. Dalam pasal 1 Penetapan Presiden ini dirumuskan “Pemerintah Jakarta Raya yang wilayahnya meliputi daerah kota praja Jakarta Raya dikuasai (langsung) oleh Presiden RI melalui menteri pertama.
Jakarta Raya, disatu sisi, dalam kenyataan ketatanegaraan dipimpin oleh seorang gubernur. Diseberang kenyataan itu, berdasarkan Penpres yang disebutkan di atas, Jakarta berada dalam pengendalian langsung pemerintah pusat. Praktis Jakarta raya, untuk alasan hukum dikelola oleh dua organ; pemda di satu sisi dan pemerintah pusat disisi lain.
Tidak ada batas jangkauan kewenangan kedua organ tersebut, menarik dijadikan fokus. Kenyataan ini, menandai prinsip-prinsip minimum administrasi negara tidak diimplementasikan. Entah apa kalkulasi politik dibalik itu, tetapi pemerintah pusat menggunakan keadaan tersebut sebaik yang bisa, dengan melepaskan pemda daerah Jakarta Raya pengadaan tanah untuk proyek Asian Games IV tahun 1962.
Dua tahun usai Asian Games, Jakarta sebagai ibukota Republik Indonesia diberi legalisasi melalui UU. UU dimaksud adalah UU Nomor 10 Tahun 1964 Tentang Pernyataan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya Tetap Sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta. Inilah UU pertama yang menggunakan nama Jakarta, sekaligus menetapkannya sebagai ibukota Negara Republik Indonesia.
Jakarta, suka atau tidak, satu hari nanti akan tiba pada keadaan hukum tak lagi berstatus ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini merupakan satu diantara beberapa konsekuensi katatanegaraan yang ditimbulkan oleh UU Ibu Kota Negara.
Artikel ini tidak akan memasuksi rangkaian konsekuensi yang timbul dari UU Ibu Kota Negara yang disahkan sebagai fokus. Yang dijadikan fokus hanyalah konsep “otorita.” Apa itu otorita? Mengapa dibuat otorita? Mengapa ibukota negara diurusi oleh otorita? Apakah urusan ibukota Negara, secara hukum memiliki sifat sebagai urusan pemerintahan? Apakah hukum tata negara positif menyediakan kaidah untuk mengualifikasi urusan itu sebagai urusan pemerintahan yang dapat diotonomikan?
Negara hukum klasik, pada masanya tidak mendekorasi struktur-struktur pemerintah dengan badan dan komisi. Tabiat merusak dari keterlibatan atau keaktifan negara dalam kehidupan masyarakat, telah disajikan di atas meja kajian ketatanegaraan dan administrasi negara sebagai penyebab utama negara hukum klasik pasif mengurus rakyat.
Akibat-akibat negatif negara yang pasif, khas negara hukum klasik, terus menggerogoti kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah merajalelanya korporasi yang mulai berkarakter “trust.” Karakter “trust” merupakan hasil kreasi Rockeffeler dan J.P Morgan, pada penguhujung tahun 1870. Keadaan ini menjadi pendorong utama koreksi atas konsep klasik itu.
Dalam konteks koreksi atas konsep negara hukum klasik, muncul gagasan negara tak bisa lagi bersembunyi, membiarkan sepak terjang “korporasi berkarakter trust” mengendalikan ekonomi. Negara, sebagai konsekuensinya harus, untuk alasan kesejahteraan rakyat, lebih aktif, progresif mengatur dan mengendalikan kehidupan ekonomi dalam batas rasionalitas baru.
Tibalah tahun 1890, tahun yang menandai untuk pertama kalinya pergeseran peran pemerintah. Pemerintah yang semula pasif, berubah menjadi aktif. Dalam kasus Amerika lahirlah Interstate Commerce Act, sering disebut Sherman Act, sesuai nama pemrakarsanya, John Sherman, senator Republik.
Tidak seperti UU lain sebelumnya, UU ini hanya mengatur satu urusan kecil untuk diurusi. Urusan itu adalah perdagangan antar negara bagian, yang hingga saat itu bermasalah. Walau jangkauan urusan yang diaturnya kecil, terbatas, tetapi UU hasil kreasi John Sherman, Senator Republik ini membawa akibat struktural yang hingga saat itu belum dikenal.
Dalam UU ini diciptakan organ (institusi) khas negara hukum modern. Cirinya adalah negara aktif mengelola urusan-urusan yang menghasilkan kesejahteraan masyarakat. Untuk tujuan itu, Sherman Act menciptakan Organ yang diberi nama Interstate Commerce Commission (ICC). Fungsinya hanya mengurus perdagangan antar negara bagian. Tidak lebih.
Ilmu hukum tata negara, kelak mengidentifikasi dan mensifatkan urusan yang diotorisasi ke Interstate Commerce Commission itu sebagai urusan pemerintahan spesifik, teknis dan sangat penting. Agar efektif dalam menjalankan fungsinya, organ ini diberi status independepen, mandiri. Organ ini bebas dari campur tangan pemerintah. Presiden tidak tidak bisa mengurusi organ ini. Ilmuan hukum tata negara mensifatkan organ ini dengan state auxelarry body atau independent auxelary body atau independent regulatory body.
Cengkeraman korporasi berkarater “trust” yang terus membesar, mendominasi pasar dengan cara kartel, pengaturan harga, terutama dibidang perminyakan, perkeretapian, dan perbankan serta pasar modal, tentu dalam kasus Amerika, memaksa pemerintah terus melangkah menghadapi mereka. Presiden Teddy Rosevel misalnya, pada tahun 1902 melanjutkan apa yang telah dimulai oleh William McKdenley, presiden sebelumnya.
Rosevelt membawa Amerika memasuki era progresif paling energik hingga masa itu. Rosevelt selain membentuk Kementerian Perdagangan, juga membetuk Bereau of Commerce and Labour, dan Berau of Corporation. Biro ini, secara teknis berada dibawa kementerian Perdagangan, tetapi secara konseptual berada dibawah presiden.
Herbert Knox, deputinya, yang diujuluki “trust buster” ditugasi menginvestigasi dan menggugat Northern Securities Company (perusahaan Induk Kereta Api) Milik J.P Morgan dan Harryman. Sukses, Mahkamah Agung menyatakan kontrol harga yang dilakukan oleh Northern, illegal.
Biro ini bergerak energik “trust busting” menginvestigasi sejumlah korporasi besar. Di antaranya, Standard Oil dan American Tobacco. Kasus in dibawa ke pengadilan. Tetapi baru diputus setelah Amerika dipimpin oleh ke Presiden William Howard Taft. Sukses, tindakan kedua korporasi yang menguasai pasar lebih dari 80% dinyatakan illegal oleh Mahkamah Agung.
Tidak berpuas diri, Presiden Wilson, presiden sesudah Taft yang menjabat hanya satu periode, juga mencurahkan energi progresifnya yang sama terhadap sepak terjang korporasi besar. Wilson meminta Kongres menyediakan undang-undang yang mengatur Tarif. Kongres menyambutnya.
Melalui prakarsa Senator John Clayton, dibentuklah Anti Trust Act. Agar efektif mengontrol perilaku korporasi dalam penentuan tarif, UU ini mengatur, lebih tepat disebut mendelegasi kewenangan pembentukan organ khusus mengurusi masalah itu. Organ itu adalah Federal Trade Commission, FTC.
Pada saat tak tersedia pilihan lain, kecuali harus terlibat dalam perang dunia I, dengan segala konsekuensinya, Presiden Woodrow Wilson segera mengambil dari kantong implied powernya, membentuk satu badan khusus. Pada tanggal 28 Juli 1917, presiden mendirikan War Indutries Board (WIB). Dewan ini berada dibawah Councel of National Defence, CND.
Wilson berpendapat bukan tentara yang harus dilatih dan bentuk untuk perang bangsanya. Bagi Wilson sumber daya material dan manusia harus dikoordinasikan untuk mendukung upaya perang bangsa. Dalam usaha yang luar biasa seperti itu, pemerintah federal harus memainkan peran utama. Ini alasan dibalik pembentukan WIB.
Memasuki Perang Dunia I pada musim semi 1914 itu, membuat Presideen Wilson menemukan kenyataan, baik internal maupun eksternal (negara sekutu) mereka). Kenyataan itu adalah penyediaan makanan. Herbert Hovert, kelak menjadi presiden tahun 1949, dalam menghadapi masalah itu, mengusulkan kepada Presiden Wilson mengambil tindakan kepresidenan untuk mengatasinya.
Wilson merespon. Menindaklanjuti saran Hoover, tidak dengan membentuk UU, tetapi perintah eksekutif, executive order 2679-A. Pada tanggal 10 Agustus 1917, Presiden Wilson membentuk American Food Administration. Organ ini berstatus executive agency.
Organ ini dipimpin oleh Herbert Hoovert, kelak menjadi presiden, yang dijuluki sebagai orang yang tidak ada tandingannya dalam memberi makan orang lain. Organ yang dipimpin oleh Herbert Hovert ini hanya bekerja, eksis selama tiga tahun. Dibentuk berdasarkan executive order, dan dibubarkan juga dengan executive order. Organ ini dibubarkan dengan executive order 3320 pada tanggal 21 Agustus 1920.
Sesudah era Woodrow Wilson, Amerika terus bergerak memasuki negara hukum modern, sering disebut negara administratif, dengan ciri utama pemerintah aktif mengurusi hajat hidup rakyat. Masa keemasan usaha ini tiba pada pemerintahan Franklin Derlano Ropsevelt, FDR.
Terhimpit dan terjatuh jauh ke dalam akibat buruk depresi ekonomi 1929-1933, memaksa FDR mengidentifikasi detail penyebabnya. Cara penyelesaiannya, dslam pandangannya harus ditemukan sesegera yang bisa dan tepat. FDR, dengan “Brain Trust” akhirnya sampai pada satu titik, kekuasaan pemerintah federal harus diperluas. Pemerintah harus aktif, bukan pasif, mengurus semua soal tentang hajat hidup rakyat.
Itulah penjelasan utama dibalik menjamurnya independent state agency atau state regulatory body atau state auxelarry body pada periode pemerintahan FDR. Kreasi perluasan kekuasaabn pemerintahjn ini ditandai oleh Ilmuan tata negara sebagai transformasi signifikan negara hukum klasik ke negara hukum modern. Bahkan, pada batas tertentu, terlihat sebagai penilaian oposisional, Amerika dibawah FDR dinilai bercorak corporatis state.
Terilhami atau tidak dengan kreasi FDR dalam memperluas kekuasaan pemerintahan Federal, Presiden Soeharto, juga menandai pemerintahanya dengan membentuk gugusan lembaga pemerintah. Apa yang disebut lembaga pemerintah non departemen, LPND, yang sebagian masih eksis hingga kini. Salahkah ini dilihat sudut hukum tata negara? Tidak.
Pada era Pak Harto dibentuk Otorita Batam, dipimpin oleh seorang kepala Otrorita, sebelum akhirnya dibentuk juga Kota Batam, dipimpin oleh Wakikota. Tetapi itu bukan konfirmasi yang tepat untuk menerangkan legitimasi dan legalitas kehadiran otorita dalam kasus IKN.
Ibukota negara, untuk alasan hukum tata negara dan administrasi negara, tidak dapat diterangkan dengan prinsip apapun dalam tata negara positif sebagai urusan pemerintahan, yang mutlak bersifat otonomi daerah. Urusan IKN, dilihat sudut hukum tata negara dan administrasi negara harus diterangkan berdasarkan prinsip “lebih dapat dimengerti.”
Konsep “dapat dimengerti” merupakan satu prinsip dalam tata negara modern tentang hal-hal yang tidak terang hukumnya dalam hukum positif. Rule of reasionnya kurang lebih begini, kalau urusan pemerintahan yang telah terang pun dapat dibatasi untuk tak diotonomikan, apalagi yang tidak terang hukumnya.
Tentu logis, hal yang terakhir di atas tidak diotonomikan. Berdasarkan prinsip apat dimengerti, urusan IKN logis dikerangkakan pada urusan pemerintahan yang bersifat teknis, spesifik, tetapi penting. Logis urusan ini berada dan dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat. “Otorita” secara adalah organ dalam jajaran eskekutif eganecy. Dari asal-usul kemunculannya, organ ini dirangsang oleh keperluan teknis penyelenggaraan urusan pemerintah yang bersifat spesifik. Keperluan untuk efektifitas penyelenggaraan urusan itulah, ekspektasi dibalik penciptaannya. Suka atau tidak, kehadirannya konstitusional.