Pembentukan Kopdes Merah Putih Cara Pemerintah Coreng Wajah Gerakan Koperasi - Telusur

Pembentukan Kopdes Merah Putih Cara Pemerintah Coreng Wajah Gerakan Koperasi

Ilustrasi

telusur.co.id - CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR) Suroto mengkritisi rencana pemerintahan Prabowo Subianto membentuk 80.000 Koperasi Desa Merah Putih yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

Menurut Suroto, kebijakan pembentukan Kopdes Merah Putih yang sudah ditertibkan melalui Inpres Nomor 9 Tahun 2025, ditandatangani Presiden Prabowo tertanggal 27 Maret 2025 lalu, justru merusak hakekat koperasi. 

"Kebijakan pembentukan Koperasi Desa yang modalnya akan dibiayai dari sumber APBN, APBD, APBDes dan sumber lainya berupa kredit program baik model chanelling maupun executing terutama dari Bank BUMN adalah bentuk perusakan masif terhadap hakekat koperasi," kata Suroto dalam keterangan tertulisnya, Minggu (13/4/2025). 

Suroto menilai, pemerintah seperti sedang mengulang kegagalan strategi kebijakan lama pembangunan koperasi. Koperasi diusahakan sebagai program nasional dengan pendekatan atas-bawah (top down).

Ketika dunia sedang trend mengurangi jumlah koperasi untuk konsolidasi perkuat gerakan melalui peleburan (merger) dan penggabungan (amalgamasi ), pemerintah justru melakukan penambahan jumlah koperasi besar-besaran hingga sebanyak 80 ribu Kopdes. 

Pemerintah, lanjut Suroto, seperti sedang mencoreng wajah gerakan koperasi di mata dunia tepat di Tahun Koperasi Internasional 2025 yang ditetapkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). 

PBB dalam resolusinya A/78/L.71 menetapkan tahun 2025 sebagai Tahun Koperasi Internasional (International Year of Cooperatives/IYC 2025) dan diberikan tema" Koperasi Membangun Dunia Lebih Baik". IYC 2025 ini adalah bentuk pengakuan penting dunia terhadap capaian koperasi sebagai organisasi otonom, mandiri dan demokratis. 

Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) ini menerangkan, sejarah perjalanan koperasi di seluruh dunia mengajarkan hal penting bahwa koperasi yang dibangun secara top down itu lemahkan prakarsa masyarakat, lemahkan basis kewirausahaanya.  

Daya lestari koperasi hancur dengan pola kebijakan program nasional yang politis dan menutup agenda masyarakat sendiri. 

"Pembentukan koperasi secara atas bawah (top down) dan distimulasi oleh program pemerintah, telah terbukti membunuh prakarsa masyarakat untuk tumbuh kembangkan koperasi sesuai dengan nilai dan prinsip prinsipnya yang benar. Koperasi kita semakin menjauh dari keberhasilannya," tegas Suroto. 

Menurut Suroto, keberhasilan banyak koperasi di penjuru dunia, kuncinya  karena pemerintah hargai kemandirian, otonomi dan demokrasinya yang secara kebijakan makro didukung dengan agenda demokratisasi ekonomi lebih luas. Disamping itu, dijaga tata kelolanya sendiri secara aktif dengan kembangkan program pendidikan koperasi untuk anggota dan masyarakat.  

Sedangkan apa yang dilakukan pemerintah dengan pembentukan 80 ribu Kopdes Merah Putih, seperti sedang mengulang pola kebijakan lama yang maksudnya adalah melakukan pembinaan, namun justru sebetulnya ciptakan pisau tajam untuk membinasakan koperasi. 

"Kebijakan yang dilakukan adalah sama dengan kebijakan kolonial," paparnya. 

Melalui kekuasaan yang koersif negara, tegas Suroto, koperasi dihabisi prakarsanya dengan digelontori dana dari kas Pemerintah melalui Hulp Spaaken Bank di Zaman Kolonial Hindia-Belanda maupun Kyumaika ketika Zaman Pendudukan Jepang. Tujuanya agar prakarsa masyarakat untuk membangun koperasi lumpuh, dan disisi lain berarti semakin perkuat kekuatan penetrasi bisnis kapitalis elitis.

"Apa yang dilakukan pemerintah seperti mengulang kebijakan lama ketika bangun Badan Usaha Unit Desa (BUUD) yang kemudian diintegrasikan dengan Koperasi Unit Desa (KUD). Pola kebijakanya sama persis dengan Orde Baru ketika kembangkan Inpres 4 tahun 1984 yang tujuanya adalah untuk konsolidasikan koperasi di desa yang multifungsi ke dalam KUD yang kemudian segera mati suri ketika dicabut privelege-nya dengan dikeluarkanya Inpres No. 18 tahun 1998," tuturnya. 

Menurut Suroto, koperasi di Indonesia dihadapkan dalam satu kondisi yang buruk. Secara makro, koperasi digencet melalui kebijakan yang menjauh dari sistem demokrasi ekonomi, seperti amanah Konstitusi. Disisi lain, program pembinaan koperasi justru mendorong mafia proyek pembinasaan koperasi yang lebih banyak untungkan makelar proyek ketimbang manfaatnya untuk masyarakat. 

Untuk itu, ia meminta agar diperhatikan kegagalan KUD di masa lalu, karena dari segi prinsip organisasinya tidak banyak diperhatikan. Pengembangan organisasinya terlalu banyak diintervensi dan pendirian koperasinya didominasi motif untuk mendapatkan berbagai fasilitas kebijakan pemerintah ketimbang sebagai upaya untuk menjawab kebutuhan riil masyarakat dan promosikan manfaat lembaga koperasi dibandingkan dengan swasta kapitalis. 

Bagi Suroto, koperasi, apapun jenisnya, semestinya dikembangkan di atas organisasi yang baik. Koperasi adalah entitas bisnis otonom dan secara administrasi publik merupakan badan hukum privat, persona ficta yang diakui oleh negara. 

Pemerintah seharusnya cukup berikan lingkungan yang kondusif dengan jalankan agenda demokratisasi ekonomi. Sesuatu yang hingga saat ini jauh di tinggal di belakang dan bahkan sebagai diskursus pun tidak pernah dilakukan. 

"Kegagalan kita membangun koperasi  di atas tentu dipengaruhi oleh banyak faktor. Baik itu paradigma, regulasi maupun kebijakan pemerintah sendiri. Namun, faktor kerusakan paling fatal dari koperasi di Indonesia terutama justru karena faktor regulasi dan kebijakan pemerintah sendiri. Selama ini, Pemerintah Indonesia justru yang banyak berperan sebagai pencipta dan sekaligus perusak koperasi di masyarakat. Goverment as creator and destroyer," ungkapnya.

Suroto juga menyoroti fenomena koperasi palsu, koperasi papan nama, semua itu terstimulasi dari kebijakan pemerintah yang dominan. Maraknya rentenir berbaju koperasi selama ini manfaatkan kelemahan regulasi koperasi. Sehingga makin pertebal semak belukar koperasi yang menutup koperasi genuine, koperasi sejati. 

"Ditambah secara regulasi umum yang cenderung kembangkan sistem kapitalis ketimbang demokrasi ekonomi, hilangkan lahan subur bagi tumbuh kembang koperasi. Ini persis yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial," tukasnya. [Nug] 

 

 


Tinggalkan Komentar