Oleh: Suroto*
Selama 50 tahun semenjak Orde Baru hingga kini, kita mendapati koperasi dalam dua label. Sebagai lembaga yang selalu diglorifikasi dan sekaligus dihinakan.
Disebut sebagai sokoguru ekonomi tapi tidak dalam praktek keseharian. Antara teori dan modus operandi jauh berbeda.
Kenyataan ini dapat dengan mudah kita lihat dari capaianya. Selama ini kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto ( PDB) menurut Kantor Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2019 hanya 5,1 persen. Hingga 5 tahun kedepan, Kementerian Koperasi dan UKM hanya targetkan capaian menjadi 5,5 persen. Artinya memang tidak serius akan dikembangkan.
Pemerintah dan terutama Menteri Koperasi dan UKM tak hanya sepelekan koperasi. Sumbatan yang sebabkan mandegnya perkembangan koperasi tetap dibiarkan. Bahkan malahan turut mendukung binasakan koperasi.
Contoh kongkritnya, UU BUMN tempatkan koperasi hanya sebagai tempat berbelas kasihan bukan diberikan kesempatan yang sama sebagai badan hukum. Tidak boleh jadi badan hukum investasi asing, tidak boleh menjadi badan hukum rumah sakit, dibuang dari UU Bank Indonesia dan Perbankkan, dan regulasi ekonomi lainya.
Sementara dalam UU yang harusnya dibedakan seperti dalam perlakuan pajak justru disamakan. Sebagaimana kita ketahui bahwa, koperasi itu secara sistem adalah telah menjalankan salah satu prinsip keadilan ekonomi itu secara inheren. Melekat didalamnya fungsi membagi keuntungan dan kekayaan. Sehingga banyak negara seperti Philipina, Singapura, Amerika dan lain sebagainya itu menerapkan pembebasan pajak bagi koperasi atau setidaknya peringanan karena dianggap sebagai hak moralnya koperasi. Sebagai sistem economic patrone refund atau dana perlindungan kembali dan berorientasi pada lokal ekonomi yang penting bagi pertahanan ekonomi nasional.
Secara terang-terangan, Menteri Koperasi dan UKM juga turut dukung pembunuhan koperasi. Ini terlihat dari dukunganya terhadap program Kredit Usaha Rakyat melalui Bank dan mendukung kebijakan pembentukan Holding Ultra Mikro.
Kontribusi terbesar dari usaha koperasi di Indonesia saat ini adalah usaha simpan pinjam.Kurang lebih 80 an persen. Namun menteri koperasi justru mendukung pembunuhan koperasi ini dengan berikan dukungan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang berikan subsidi kepada bank dan bukan lewat koperasi.
Pembentukan Lembaga Penjaminan Simpanan untuk Koperasi saja dari sejak dulu hanya menguap jadi wacana sehingga kepercayaan masyarakat terhadap koperasi simpan pinjam/koperasi kredit jadi rendah.
Sampai hari ini, di lapangan, keragaan statistik perkembangan koperasi tidak pernah dihitung secara serius. Hanya berupa keragaan statistik yang tergantung dari selera pejabat dan semau-maunya untuk menaikkan dan menurunkan angkanya. Seperti mengatakan jumlah ekor sapi perah yang banyak namun kenyataanya ketersediaan susu sangat kurang.
Ketika penulis pelajari, banyak keberhasilan koperasi di banyak negara lain itu ternyata adalah riil memang berjalan di lapangan dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Pemerintah tidak hanya menglorifikasi tapi sungguh-sungguh mau menciptakan lingkungan yang baik bagi pertumbuhan koperasi. Menganggap koperasi adalah instrumen penting sebagai model kelembagaan yang cocok untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan.
Lebih penting dari itu, mereka menganggap bahwa koperasi memiliki kecocokan dengan nilai-nilai kearifan lokal untuk selamatkan lingkungan dan juga ciptakan perdamaian karena promosikan kerjasama lintas kelompok dan golongan.
Dalam konteks penghargaan nilai kearifan lokal, koperasi dianggap membuat pengakuan dari praktek kebersamaan dan solidaritas. Koperasi dianggap berarti bagi penyelamatan lingkungan hidup karena letakkan supremasi bisnis itu pada keputusan demokratis bukan pada dominasi modal. Sehingga mereka yang hanya datang mengejar keuntungan dan abaikan kepentingan lingkungan akan mendapatkan tentangan dari masyarakat secara serius.
Praktek di banyak negara, koperasi yang inklusif sifatnya telah mempertinggi nilai kerjasama terbuka bagi semua orang yang merupakan faktor kunci dari penciptaan perdamaian. Sesuatu yang vice versa, atau bertentangan dengan sistem kapitalisme yang penuh slogan persaingan yang menjadi akar dari segala konflik.
Pemerintah di banyak negara yang maju koperasinya selalu memiliki sebuah cerita sukses yang pertama tama karena terkesan oleh keberhasilan koperasi dalam skala kecil. Tapi kemudian mereka melakukan penelitian secara serius dan membongkar seluruh sumbat botolnya dan termasuk mengoreksi regulasi, kebijakan, kelembagaan lainya yang secara mendasar menghambat koperasi.
Di Indonesia ini, lebih dari 50 tahun pemerintah tidak pernah pedulikan hal ini. Paradigmanya tidak pernah berubah dalam membangun dan memperlakukan koperasi. Bahkan dikatakan secara terang-terangan oleh Prof Hans Mukhner, pakar hukum koperasi Internasional yang diakui reputasinya mengatakan UU Perkoperasian kita adalah yang terburuk di dunia.
Beberapa hal menurut analisa penulis, Koperasi itu oleh pemerintah memang sengaja tidak diberikan tempat yang semestinya karena : dianggap membahayakan bagi kepentingan sistem patrone-client atau kepentingan ekonomi kongkalikong antara konglomerasi kapitalis dan pemerintah sendiri. Hal ini berakar karena kita tidak pernah memang secara serius untuk mengimplementasikan konsep demokrasi ekonomi, sistem ekonomi yang diperintahkan oleh Konstitusi kita.[***]
*) Ketua AKSES