Telusur.co.id -Penulis: Ragita Aulia Widyandaru, mahasiswi Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia.
Sampai saat ini, Tiongkok masih menjadi negara asal impor terbesar di Indonesia. Melalui Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia Impor tahun 2023 (BPS, 2024) menyatakan bahwa Pelabuhan Tanjung Priok menjadi tempat bongkar barang impor utama dengan porsi 37,36% atau senilai USD82.894,1 juta, yang dimana 28,4% atau senilai USD62.880,9 juta nya itu sendiri berasal dari Tiongkok. Barang impor tersebut didominasi oleh peralatan mekanis, perlengkapan elektrik, besi dan baja, plastik dan barang dari plastik, serta bahan kimia organik.
Dengan semakin meningkatnya volume barang impor dari Tiongkok sebesar 13,99% (4.346,3 ribu ton) ke Indonesia, dapat memengaruhi tingkat persaingan di pasar domestik. Produk lokal saat ini makin menghadapi tantangan besar akibat dari adanya persaingan harga dan kualitas dengan barang impor yang kerap lebih murah. Kondisi ini mengakibatkan terancamnya potensi keberlangsungan usaha lokal untuk “gulung tikar”, yang pada akhirnya dapat berdampak pada pengurangan tenaga kerja atau bahkan PHK di sejumlah sektor industri.
Menanggapi masalah ini, pemerintah melalui Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan bahwa, fokus pemerintah sekarang adalah mempersulit arus masuk barang jadi tekstil dan produk tekstil ke Indonesia. Adapun barang jadi yang dimaksud meliputi tujuh jenis barang yaitu, tekstil dan produk tekstil, kosmetik atau produk kecantikan, keramik, pakaian jadi dan aksesoris, alas kaki, elektronik, dan barang tekstil sudah jadi lainnya. Lebih lanjut, pemerintah menyiasati maraknya barang impor yang masuk ke Indonesia dengan memindahkan pelabuhan impor atau entry point ke Indonesia timur dan memanfaatkan bea masuk atas tujuh jenis barang tersebut.
Rencananya, pemerintah akan merancang kembali pintu masuk barang impor ke Indonesia dengan mengubah entry point dari Pelabuhan Tanjung Priok ke tiga titik yang sudah ditetapkan untuk menjadi pelabuhan impor. Pelabuhan di Indonesia timur yang ditetapkan merupakan Pelabuhan Sorong di Papua Barat Daya, Pelabuhan Bitung di Sulawesi Utara, serta Pelabuhan Kupang di Nusa Tenggara Timur (NTT). Pemindahan entry point ke pelabuhan timur ini juga dapat membentuk satu sentra kegiatan ekonomi baru di wilayah timur. Barang impor yang masuk ke Indonesia melalui pelabuhan di Pulau Jawa akan diangkut ke pelabuhan timur menggunakan kapal angkutan laut domestik. Kondisi ini akan memberikan multiplier effect karena mengatasi permasalahan pelabuhan di Pulau Jawa yang sudah mengalami overcapacity, serta memberikan dampak positif terhadap industri pelayaran nasional. Pemerintah juga mengambil langkah dengan meningkatkan pengeluaran pemerintah (goverment expenditure) guna membangun industri domestik untuk tujuh komoditas yang akan terkena Bea Masuk Tindak Pengaman (BMTP) dan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD).
Kebijakan pemerintah ini mendapat respon positif dari para pengusaha di dalam negeri, salah satunya adalah Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmadja. Ia mengatakan bahwa dengan ongkos kirim dari pelabuhan timur yang akan jauh lebih tinggi membuat produk lokal dalam negeri mampu bersaing dengan barang impor. Pihak PT Pelabuhan Indonesia (PT Pelindo) juga menyatakan bahwa, beberapa pelabuhan di Indonesia timur siap menjadi entry point untuk aktivitas impor. Atas pemindahan ini, diharapkan dapat mengurangi dominasi pelabuhan di wilayah Indonesia barat serta meningkatkan distribusi ekonomi yang lebih merata di Indonesia. Tidak lupa, rencana pemindahan entry point ini perlu dilakukan dengan pengelolaan yang cermat, supaya dapat menimbulkan manfaat kepada seluruh kalangan masyarakat.
Akan tetapi, pemindahan pelabuhan impor ke wilayah Indonesia timur juga menghadapi berbagai tantangan. Beberapa pihak meragukan dampak positif atas pemindahan entry point ke wilayah Indonesia timur tersebut. Salah satunya adalah Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) yang menyatakan menolak rencana pemerintah (Kemenperin) tersebut. Pihak GINSI menilai bahwa pemindahan entry point malah akan membuat tantangan baru kepada para pihak logistik nasional.
Tantangan lain yang dihadapi adalah keterbatasan jumlah pelabuhan internasional di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, dari 636 pelabuhan yang ada, hanya 12 yang berstatus sebagai pelabuhan internasional, dan mayoritas berada di Pulau Jawa. Kondisi ini menyebabkan banyak pelabuhan di luar Jawa, terutama di wilayah Indonesia timur, belum mampu mendukung aktivitas ekspor-impor secara optimal. Salah satu penyebab utama adalah infrastruktur pelabuhan yang masih belum memadai di wilayah tersebut. Kapal-kapal cenderung membongkar barang impor di pelabuhan Surabaya dahulu, baru didistribusikan ke kawasan yang dituju. Dengan pasokan barang ke Indonesia barat yang tersendat, sementara permintaan tetap tinggi, dapat berpotensi terjadinya penyelundupan barang secara ilegal.
Menurut pihak GINSI, pemindahan entry point impor ini semakin memperpanjang jarak distribusi barang ke Pulau Jawa, yang merupakan pasar terbesar di Indonesia. Keterbatasan infrastruktur ini membebani pelaku usaha di sektor transportasi dan logistik, yang pada akhirnya dapat meningkatkan biaya distribusi tersebut. Dampaknya, harga barang menjadi lebih mahal, daya beli masyarakat menurun, dan pelaksanaan program Belanja di Indonesia Aja (BINA) terhambat. Selain itu, sektor industri yang sangat bergantung pada bahan baku impor untuk produk ekspor juga menghadapi risiko. Jika biaya logistik nasional terus meningkat, daya saing produk Indonesia di pasar global akan melemah akibat kenaikan harga. Kondisi ini dapat mendorong investor mencari peluang di negara lain yang menawarkan biaya logistik lebih kompetitif.
Pemindahan entry point pelabuhan ke wilayah Indonesia Timur adalah langkah strategis yang memiliki potensi besar untuk mendorong pemerataan ekonomi nasional dan mengatasi overcapacity di wilayah Indonesia barat. Namun, tanpa perencanaan dan eksekusi yang matang, kebijakan ini bisa menjadi pedang bermata dua yang justru membebani pelaku usaha, meningkatkan biaya logistik, dan melemahkan daya saing produk Indonesia. Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah, pelaku industri, dan pengusaha logistik diperlukan agar kebijakan ini tidak hanya menjadi wacana, tetapi mampu memberikan manfaat nyata bagi seluruh lapisan masyarakat serta memperkuat daya saing Indonesia di pasar global.