telusur.co.id - Langkah Presiden Prabowo Subianto menghentikan pemberian bonus bagi komisaris dan direksi perusahaan BUMN yang merugi, sebagai keputusan berani dan tepat. Kebijakan itu, menjadi sinyal kuat bahwa era “zona nyaman” pejabat BUMN sudah berakhir.
Penaian ini dikemukakan Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, dalam Forum Legislasi bertajuk "Pengesahan RUU BUMN Harapkan Percepat Kemajuan Ekonomi Nasional" di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (9/10/2025)
“Pernyataan Presiden Prabowo kemarin sangat menarik. Beliau bilang, perusahaan rugi kok komisaris dan direksinya masih dapat bonus, bahkan bonus untuk dirinya sendiri. Ini kan brengsek banget, dan itu memang tidak fair,” ujarnya.
Menurut Pangi, keputusan Prabowo untuk menghentikan sistem bonus di BUMN yang merugi adalah langkah efisiensi yang layak diapresiasi. Ia menyebut, selama ini kinerja BUMN sering dinilai lamban, birokratis, dan tidak memiliki daya saing setara dengan sektor swasta.
“Bekerja di BUMN seringkali penuh formalitas. Rapat bisa berjam-jam, tanpa keputusan. Kalau di swasta, rapat 30 menit langsung eksekusi. Tradisi kerja seperti ini harus dievaluasi,” katanya.
Pangi juga menyoroti pernyataan Prabowo terkait aset negara yang diduga disembunyikan dan nilainya mencapai lebih dari 1.000 triliun rupiah. Ia menilai pernyataan itu perlu ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum agar aset-aset negara yang “terpendam” bisa diselamatkan.
“Kalau benar aset negara mencapai 1 triliun dolar, itu harus diusut oleh kejaksaan, kepolisian, dan KPK. Negara tidak boleh dibiarkan dirampok seperti ini,” tegasnya.
Selain itu, Pangi menekankan pentingnya profesionalisme dan integritas dalam penempatan pejabat BUMN. Ia mendukung langkah pemerintah yang tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) BUMN sebagai upaya memperbaiki tata kelola perusahaan pelat merah.
“RUU BUMN harus mengembalikan semangat transparansi dan akuntabilitas. Tidak boleh lagi ada status direksi atau komisaris yang bukan pejabat negara, karena itu menghilangkan pengawasan publik. Negara modern itu seperti akuarium, semuanya harus terlihat jelas,” ujarnya.
Pangi juga menyoroti praktik rangkap jabatan oleh pejabat publik, termasuk 33 menteri dan wakil menteri yang juga menjabat sebagai komisaris BUMN. Ia menyebut praktik itu sebagai bentuk “moral hazard” dan harus segera diakhiri.
“Kalau alasan rangkap jabatan karena gaji wakil menteri kecil, ya tambahkan saja gajinya, jangan dijadikan komisaris. Negara tidak bisa dikelola dengan cara seperti ini,” tegasnya.
Ia berharap transformasi tata kelola BUMN di era pemerintahan Prabowo bisa meniru keberhasilan model Temasek di Singapura, di mana perusahaan negara dikelola secara profesional dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
“BUMN tidak boleh terus-menerus rugi. Tapi ukuran keberhasilan bukan sekadar laba, melainkan sejauh mana mereka meningkatkan kesejahteraan rakyat,” pungkasnya. [ham]