Telusur.co.id -Penulis : Muhammad Rizki Akbar, Mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia
Isu ekstensifikasi cukai menjadi isu yang hangat diperbincangkan akhir akhir ini, salah satunya, yakni Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) bersama Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sudah merancang kebijakan cukai untuk Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) dan plastik. Kebijakan ekstensifikasi dirancang untuk memperluas lingkup pengenaan cukai serta mengendalikan dampak negatif yang timbul atas konsumsi yang dilakukan masyarakat, seperti penyakit diabetes ataupun pencemaran limbah plastik. Hal ini sejalan dengan konsep cukai. Dikutip dari laman resmi DJBC, pungutan cukai dikenakan atas barang-barang tertentu yang konsumsinya dapat berdampak buruk baik bagi diri konsumen itu sendiri maupun ke masyarakat lainnya. Sehingga cukai juga dikenal dengan istilah “sin tax” atau “pajak dosa”.
Saat ini, pungutan cukai di Indonesia hanya dikenakan atas barang-barang tertentu saja atau disebut Barang Kena Cukai (BKC). Namun, dikutip dari laman artikel Kontan.co.id, pada tahun 2023, Kemenkeu mulai mengkaji pengenaan cukai terhadap jasa. Hal ini dikarenakan di beberapa negara sudah menerapkan kebijakan tersebut, termasuk negara-negara di ASEAN. Misalnya, Thailand, Kamboja, dan Laos sudah mengenakan cukai atas klub malam, diskotik, dan jasa perjudian. Malaysia yang mengenakan cukai atas jasa perjudian, serta Myanmar mengenakan cukai atas jasa klub malam dan diskotik. Tak hanya negara-negara ASEAN, Amerika Serikat juga merupakan salah satu negara yang mengenakan cukai atas judi dan lotere. Bahkan di tahun 2021, Amerika Serikat berhasil mengumpulkan $35 Miliar USD atau setara dengan Rp556,3 T dari sektor perjudian dan lotere. Pengenaan cukai atas jasa-jasa tersebut dinilai cukup berpengaruh signifikan bagi penerimaan negara.
Seperti yang diketahui, penerimaan negara dari cukai memiliki jumlah yang tidak sedikit. Menteri Keuangan, Sri Mulyani pernah mengungkapkan dalam Konferensi Pers Kinerja dan Realisasi APBN 2023 bahwa realisasi penerimaan negara di sektor kepabeanan dan cukai mencapai angka Rp286,2 T, dimana lebih dari 77% dari angka tersebut didominasi oleh penerimaan cukai yakni senilai Rp221,8 T. Sehingga, apabila dilakukan ekstensifikasi cukai di sektor jasa, tentu berpotensi menambah penerimaan negara dari cukai. Seorang ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet mengatakan, apabila kebijakan cukai di negara lain bisa diterapkan maka besar peluang kebijakan tersebut juga bisa diterapkan di Indonesia.
Namun apakah cukai atas jasa dapat diterapkan di Indonesia? Secara konsep, pengenaan cukai atas jasa dapat diterapkan di Indonesia selama ditujukan untuk mengendalikan konsumsi guna meminimalisir eksternalitas negatif yang timbul dari kegiatan jasa tersebut. Akan tetapi, perlu diingat pula tentang kondisi sosial di Indonesia. Cukai biasanya dikenakan atas hal-hal yang menimbulkan dampak negatif. Dengan kata lain, apabila cukai dikenakan atas jasa tertentu, berarti pemerintah melegalkan jasa-jasa yang dianggap memiliki konotasi ”negatif” . Hal ini berkemungkinan akan menimbulkan keributan atau resistensi masyarakat, mengingat doktrin dan paham masyarakat akan hal-hal negatif sangat berperan besar dalam hal kondisi sosial.
Selain kondisi sosial masyarakat, tantangan yang cukup besar ketika akan mengenakan cukai atas jasa adalah terkait dengan tracking atau pelacakan aktivitas jasa tertentu tersebut. Tracking atas konsumsi atau pemanfaatan jasa tentu memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi jika dibanding dengan konsumsi barang, dikarenakan jasa tidak memiliki wujud yang nyata. Ditambah dengan jenis jasa tertentu yang dikenakan cukai biasanya berkonotasi “negatif”. Hal ini akan semakin mempersulit pelacakan untuk memungut cukai karena jasa tersebut termasuk dalam kegiatan shadow economy. Maka dari itu, pemerintah perlu mempertimbangkan seluruh aspek yang mungkin terjadi apabila memungut kegiatan shadow economy, termasuk biaya yang akan dikeluarkan serta dampak yang mungkin muncul.
Kemudian, ketika akan memungut cukai atas jasa, pemerintah perlu mempertimbangkan dengan cermat dampak pengenaan cukai atas jasa terhadap penerimaan pajak daerah, khususnya Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) jasa hiburan tertentu, seperti industri kelab malam, diskotik, dsb. Jika kebijakan cukai diterapkan tanpa koordinasi yang jelas dengan pajak daerah, sektor jasa yang menjadi objek pungutan berisiko terkena beban ganda. Hal ini tidak hanya dapat mengurangi daya saing pelaku usaha di sektor tersebut, tetapi juga mengganggu stabilitas penerimaan daerah yang bergantung pada pajak tersebut. Maka, harmonisasi antara cukai dan pajak daerah menjadi langkah krusial untuk memastikan kebijakan fiskal berjalan efektif tanpa menimbulkan dampak negatif bagi pendapatan daerah maupun sektor jasa.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pengenaan cukai atas jasa berpotensi meningkatkan penerimaan negara dan mengendalikan dampak negatif aktivitas tertentu. Namun, implementasinya di Indonesia memerlukan kajian matang, berbagai tantangan muncul, seperti pelacakan aktivitas jasa, kondisi sensitivitas sosial, serta harmonisasi dengan pajak daerah untuk menghindari beban ganda juga harus diperhatikan. Dengan koordinasi yang baik dan perencanaan yang tepat, kebijakan ini dapat menjadi salah satu instrumen efektif untuk mengelola eksternalitas negatif sekaligus mendukung penerimaan negara.