Perkuat Regulasi, Membangun Kedaulatan Maritim Indonesia - Telusur

Perkuat Regulasi, Membangun Kedaulatan Maritim Indonesia


Telusur.co.id - Oleh : Farah Fahmi Namakule, Penulis adalah Direktur Riset dan Pengembangan Hukum LKPHI.

Pembangunan maritim menjadi tantangan, dan perhatian kita bersama yang sampai saat ini belum terselesaikan dengan baik. Prinsip Negara Kepulauan, pemerintah indonesia memasuki pelaksanaan Konferensi Hukum Laut Internasional III yang melahirkan United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) adalah suatu negara yang seharusnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.

Wujud suatu negara kepulauan ditentukan berdasarkan penentuan garis pangkal lurus kepulauan (archipelagic straight baseline). Penarikan garis pantai pangkal lurus kepulauan dapat dilakukan bagi negara yang memiliki karakteristik kepulauan. Negara kepulauan mempunyai kebebasan untuk menentukan cara penarikan garis pangkal sepanjang tidak bertentangan dengan Konvensi 1982.

Indonesia merupakan Negara Maritim yang letak pulaunya secara geografis terbentang luas dari Sabang sampai Merauke, sebuah negeri untaian zamrud khatulistiwa yang mengikat lebih dari 500 suku bangsa dan bahasa, ragam agama dan budaya di sepanjang rangkaian tanah air yang membentang dari 6°08’ Lintang Utara hingga 11°15’ Lintang Selatan dan dari 94°45’ Bujur Timur hingga 141°05’ Bujur Timur.

Secara Geopolitik, Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti dikatakan Bung Karno Indonesia merupakan Negara Lautan (archipelago) yang ditaburi oleh pulau-pulau atau dalam sebutan umum dikenal sebagai Negara Kepulauan.

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar didunia terdiri dari sekitar 17.508 pulau (citra satelit terakhir menunjukan 18.108 pulau) - sekitar 6000 di antaranya. Lautan menjadi faktor dominan.

Dari 7,9 juta km2 total luas wilayah indonesia 3,2 juta km2 merupakan wilayah laut teritorial, dan 2,9 juta km2 merupakan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan sisahnya sebanyak 1,8 juta km2 merupakan daratan.

Maka dengan demikian luas lautan indonesia meliput 2/3 dari total luas wilayah indonesia, dengan panjang pantai 95.180.8 km, panjang khatulistiwa 40.070 km maka panjang pantai indonesia lebih panjang dua kali lipat dari panjang khatulistiwa.

Sejarah kejayaan maritim Indonesia bukan hanya sebagai romantisme masa lalu belaka melainkan menjadi dasar pijakan kita dalam membangun tatanan hukum terkait pembangunan sea power beserta segalah turunannya.

Sejarah bangsa Indonesia, dan kejayaan maritim Nusantara sebagai cara untuk menggugah keyakinan kita sebagai bangsa maritim yang memiliki energi untuk menggentarkan seantero jagat raya, dari sejarah itu kemudian kita beranjak menjadi suatu bangsa yang besar yang disatukan oleh laut pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Sebagai Negara Kepulauan terbesar di dunia sudah sepatutnya Indonesia memiliki strategi maritim yang baik dan benar. Hal tersebut yang nantinya akan mendukung aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, keamanan dan pertahanan.

Jika dipetakan di belahan bumi lain, luas wilayah Nusantara sama dengan jarak antara Irak hingga Inggris timur sampai dengan barat, atau Jerman hingga Aljazair Utara sampai Selatan.

Letaknya yang seksi ditopang oleh potensi sumber daya alam yang berlimpah membuat negara-negara yang berkepentingan tergoda menguasai kekayaan alam bumi khatulistiwa.

Kekuatan maritim sudah tentu harus didukung oleh kekuatan SDM yang mumpuni, dan mengerti alur hukum yang berlaku, disinilah lahir gagasan pembangunan maritim, pemerataan kesejahteraan, melalui laut dan konservasi potensi laut, laut kita adalah aset yang luar biasa, dengan kata lain Indonesia harus bisa hidup dari laut, bersahabat dengan laut, serta jaya di laut.

Dengan hukum yang didasari pada sejarah dan menandakan kedekatan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa menjadi pikiran dalam merumuskan suatu konsepsi untuk membangun kekuatan maritim Indonesia yang mengarah pada terwujudnya peradaban maritim bahkan dunia.

Negera kepulauan sebagaimana tertuan dalam UNCLOS yang dipelopori oleh Indonesia melalui Deklarasi Djuanda 1957 belum diadopsi secara benar, sebagaimana terbukti dalam berbagai regulasi yang telah di keluarkan belum secara maksimal mengakomodir prinsip negara kepulauan.

Dalam mengelolah negara kepulauan yang begitu besar seperti Indonesia, tentunya tidak bisa berpusat pada pemerintah pusat semata. Indonesia terbagi atas daerah-daerah kepulauan yang secara konstitusional mempunyai kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri sebagaimana di atur dalam Pasal 18 A ayat (1) UUD NRI 1945.

Prinsip negara kepulauan mestinya diadopai secara mutatis mutandis untuk dirumuskan dalam pengaturan wilayah kewenangan daerah otonom dalam pengelolaan sumber daya alam di laut.

Hal ini akan menampakkan keharmonisan antara hukum internasional dan hukum nasional Indonesia melalui adopsi prinsip Negara Kepulauan menjadi prinsip daerah Provinsi, Kabupaten/Kota. Kepulauan bagi daerah dengan karakteristik kepulauan karena karakteristik wilayah dimana luas wilayah laut yang lebih besar dari luas wilayah darat.

Dalam konteks ini, kebutuhan akan peraturan perundang-undangan yang harmonis, dan terintegrasi menjadi sangat diperlukan untuk mewujudkan ketertiban menjamin kepastian, perlindungan hukum demi peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah kepulauan.

Kewenangan untuk mengurus kepentingannya sendiri kemudian diperkuat dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah khususnya Pasal 9 Ayat (1) menegaskan bahwa, urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum.

Urusan pemerintahan konkuren dibagi atas pemerintahan pusat dan daerah provinsi, daerah kabupaten atau kota. Urusan pemerintahan konkuren yang kemudian diserahkan ke daerah menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah.

Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 14 Ayat (1) menegaskan bahwa, penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi, dan sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ini lahir dari pandangan bahwa, negara Indonesia yang mempunyai wilayah kepulauan yang sangat luas laut dari pada daratan mustahil dapat dikelola dengan baik tanpa ada pembagain urusan antara pemerintah pusat dengan peerintah daerah dalam pengelolaan pemerinahan termasuk di dalamnya pengelolaan laut.

Pembagian kewenangan pusat dan daerah dalam pengelolaan wilayah laut atau pengelolaan zona maritim oleh pemerintah pusat daerah dengan keberadaan indonesia yang secara geografis terletak di antara dua samudra merupakan potensi yang dapat didayagunakan dengan prinsip pembagian kewenangan pusat ke daerah.

Pengelolaan laut atau zona maritim oleh pemerintah daerah diperlukan mengingat efektivitas, dan efisiensi keuangan negara dan kinerja SDM terkait.

Pemberian kewenangan bagi pemerintah daerah dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yang dapat berkompoten dalam bidang kemaritiman agar sesuai dengan budaya masyarakat lokal masing-masing daerah.

Serta pengembangan teknologi yang dapat disesuaikan dengan kemampuan lingkungan daerah terkait, mengingat pemerintah daerah lebih memahami kebutuhan daerah terkait, dan pengaturannya yang lebih sesuai.

Pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya alam (SDA), dan lingkungan daerah prinsipnya harus lebih efektif, efisien, dan partisipatif.

Dibandingkan jika langsung dikelola oleh pemerintah pusat, khususnya pembangunan dalam budang kelautan, dan zona maritim yang baru saja dicanangkan oleh Presiden Jokowi terkait Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Dilerlukan penggalian potensi zona maritim, karena sangat dibutuhkan peranannya oleh pemerintah pusat, dan juga pemerintah daerah untuk pengembangan lebih lanjut.

Peran pemerintah pusat adalah untuk menjaga pertahanan, dan keamanan wilayah laut, pengelolaan zona maritim dalam bidang pengangkutan, pelayaran dermaga, sumber daya air, dan perikanan dalat dikelola oleh pemerintah daerah sebagaiman yang termuat dalam Pasal 27 Ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014 bahwa, kewenangan Daerah Provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut meliputi eksplorasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di luar dari pada minyak, dan gas bumi.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berorientasi pada pembangunan daratan belum mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan melalui pelayanan publik, pembangunan ekonomi dan perlindungan sosial bagi masyarakat di daerah kepulauan. Untuk memaksimalkan penigkatan kesehjateraan masyarakatan kepulauan.

Pentingnya prinsip negara kepulauan diadopsi, dan dijabarkan menjadi prinsip daerah kepulauan telah mendapat perhatian dari daerah-daerah provinsi yang berkarakteristik kepulauan.

Tepatnya pada tanggal 10 Agustus 2005, Gubernur dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Kepulauan melakukan pertemuan di Ambon sekaligus menghaslkan Deklarasi Ambon dengan latar belakang pemikiran bahwa (1). Penegasan kesatuan daratan dan lautan adalah falsa fah serta pandangan bangsa indonesia mengenai laut sebagai penghubung yang melahirkan prinsip negara kepulauan (Archipelagic State Principles).

(2). Konsep negara kepulauan dalam konvensi hukum laut 1982, diperjuangkan oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia teleh menjadi wilayah provinsi kepulauan sebagai tolak ukur adanya pengakuan prinsip negara kepulauan.

(3). Pengakuan prinsip negara kepulauan hendaknya diinplementasikan menjadi prinsip daerah provinsi kepulauan

(4). Sumber daya alam alam di laut pada provinsi kepulauan mampu memberikan kontribusi yang besar bagi pembangunan masyarakat Indonesia, tetapi tidak mendapatkan imbalan yang proporsional bagi pembangunan daerah yang mensejahterakan masyarakat.

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka Deklarasi Ambon dengan tegas, meminta kepada pemeritah pusat untuk mewujudkan pengakuan yuridis terhadap provinsi kepulauan melalui berbagai regulasi yang dibutuhkan untuk mempercepat proses pembangunan daerah demi terwujudnya kesehjateraan rakyat.

Upaya hukum yang dilakukan dalam rangka pengakuan yuridis daerah kepulauan, dan tidak dimaksudkan untuk menuntut otonomi khusus, melainkan adanya suatu pengakuan, dan perlakuan khusus bagi daerah-daerah (Provinsi) yang memiliki karakteristik kepulauan.

Adapun daerah-daerah atau Provinsi kepulauan yang melaksanakan Deklarasi Ambon tersebut adalah Provinsi Maluku, Provinsi Maluku Utara, Sulawesi Utara, Bangka Belitung, Riau, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat.

Deklarasi Ambon tersebut diwakili oleh Kepala Daerah dan pimpinan DPRD masing-masing daerah Provinsi, di antarany Wakil Gubernur Maluku, MA Latuconsina, Ketua DPRD Provinsi Maluku, Jhon Mailoa, Gubernur Maluku Utara, Madjid Abdullah, Ketua DPRD Provinsi Maluku Utara, A Rahim Fabanyo.

Provinsi Nusa Tenggara Timur diwakili oleh Frans Lebu Raya, dan Mel Adoe dari DPRD Provinsi, provinsi Riau diwakili oleh Muchalarudin, dan J Nadeak dari DPRD, provinsi Bangka Belitung Farid Effendi.

Terdapat dua provinsi yang tidak mengirimkan perwakilannya di antaranya, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Barat, namun dua Provinsi ini prinsipnya tetap menyetujui deklarasi tersebut.


Tinggalkan Komentar