Petra Theatre Hadirkan Refleksi Mendalam lewat "Going Home" & "Customer is King" - Telusur

Petra Theatre Hadirkan Refleksi Mendalam lewat "Going Home" & "Customer is King"

Petra Theatre Hadirkan Refleksi Mendalam lewat "Going Home" & "Customer is King". Foto: Ist.

telusur.co.id -SURABAYA - Petra Theatre, wadah bagi para pecinta seni teater dari English for Creative Industry atau ECI Petra Christian University (PCU) baru saja mementaskan dua cerita kontras dalam satu panggung. Menyuguhkan sebuah show yang menghibur namun terasa sangat nyata, dekat dengan realitas kehidupan sehari-hari. Dua cerita tersebut bertajuk “Going Home” dan “Customer is King”, yang berhasil dipentaskan dalam satu panggung di Petra Performance Hall pada Sabtu, 14 Juni 2025.

Penampilan apik ini diawali dengan “Going Home” yang berlangsung pada pukul 16.00-17.00 WIB. Kemudian hanya dalam waktu dua jam setelahnya, di panggung yang sama, dipentaskan “Customer is King” yang berlangsung mulai pukul 19.00-20.00 WIB. 

Disutradarai oleh mahasiswa dan alumni ECI serta bekerjasama dengan Program Studi Interior Design dalam pembuatan set panggungnya, kedua show itu berhasil memukau kurang lebih ratusan penonton yang hadir. Berikut cerita menarik dari “Going Home” dan “Customer is King”.
 
* Going Home

Going Home mengisahkan Renata dan ibunya, Suryani, yang memiliki perspektif berbeda dalam menyikapi soal agama dan keimanan. Ibunya, acap kali mengingatkan sang anak untuk dekat dengan Tuhan, tapi dalam beberapa kasus di kehidupannya, Suryani ternyata punya dendam dan akar pahit yang belum usai.

Sedangkan Renata, merasa terusik dan bertolak belakang dengan ibunya maupun umat Kristen yang sering kali mengagungkan dan mengutamakan Tuhan, tapi lupa untuk menjalankan kewajiban bersama serta menghargai sesamanya. Karena menurut Renata, nilai-nilai keagamaan itu tidak soal ibadah saja kepada Tuhan, tapi juga harus tercermin dari cara kita bersikap dan berbuat baik ke sesama.

Konflik pun semakin kelam ketika Suryani merasakan adanya penglihatan bahwa ia akan mati dalam tiga hari. Momen itulah yang memulai cerita-cerita menarik tentang perjalanan hidup dan keimanan, tentang sikap saling menghargai, peduli, dan mengasihi sesama, yang menjadi wujud nyata dari iman yang hidup, tidak sekadar ritual ibadah semata.

“Persiapannya sudah sejak bulan April lalu, dan melibatkan mahasiswa lintas angkatan dari 2021 hingga 2024 dalam proses produksinya,” ujar Olivia Agatha, sutradara Going Home sekaligus alumni ECI angkatan 2018 kepada Public Relations PCU. Senin, (16/6/2025).

Going Home berlatarkan panggung yang menampilkan suasana ruang tamu berdinding putih, dengan hiasan ornamen salib dan foto Yesus, hingga pintu warna-warni, memberikan kontras yang menyegarkan saat dilihat dari sisi penonton.

“Ini adalah pengalaman pertama saya menjadi sutradara, sehingga seluruh prosesnya bisa dibilang cukup menantang. Kesempatan sekaligus tanggung jawab sebagai sutradara ini juga membuat saya banyak belajar, karena sebagai seorang sutradara, saya harus memutuskan banyak hal. Tapi saya bersyukur, saya memiliki tim yang solid, yang bisa membantu dan mau berproses bersama,” tandas Olivia.
 
* Customer is King

Senyum ramah dan sikap cekatan yang dijunjung tinggi dalam dunia kerja, terkadang hanyalah topeng untuk bisa dapat “penilaian” bintang lima di depan atasan. Tanpa disadari, perilaku profesionalisme itu juga bisa menuntut orang untuk membungkam empati pribadi demi bertahan hidup.

Fenomena itu menjadi celah masuk Saranietha Kadang selaku sutradara “Customer is King”. Sesuai namanya, teater ini menceritakan Helga, resepsionis hotel yang harus patuh pada sistem yang meyakini bahwa keinginan pelanggan adalah mutlak adanya. 

Namun pada satu waktu, sistem itu menggoyahkan hati nuraninya, ketika Helga bertemu tamu yang depresi dan ingin mengakhiri hidupnya. Ia pun dihadapkan pada pertanyaan, “memilih untuk menjunjung kapitalis demi efisiensi dan penilaian baik, atau bersikap manusiawi dengan risiko kehilangan pekerjaan?”.

Menurut Saranietha, sang sutradara, kisah ini bukan fiksi belaka, tapi cerminan realitas yang ia lihat dan rasakan sendiri. Bagaimana sistem profesionalisme tidak memberi ruang untuk merasa capek dan sedih, melainkan mengajarkan untuk bersikap kapitalis dan mementingkan efisiensi daripada empati.

“Customer is King diibaratkan sebagai lonceng kecil di meja resepsionis hotel. Bel itu seperti simbol tekanan yang mewakili ekspektasi profesionalisme. Harus cepat. Harus profesional. Harus patuh. Tapi arti dari bel ini mulai bergeser menjadi alarm saat pria depresi datang untuk mengakhiri hidupnya. Suara bel yang biasanya berarti ‘layanilah aku’ malah terasa seperti teriakan: ‘hentikan aku walau aku ingin menyerah’,” terang mahasiswi ECI semester akhir itu.

Berdasarkan fenomena inilah, Saranietha bersama kru-nya mengajak penonton untuk merasakan perasaan “tidak nyaman” atau tersentuh akibat relate dengan kehidupan sehari-hari. Teriakan dan tepuk tangan yang riuh dari para penonton pun memenuhi Petra Performance Hall sesaat setelah Customer is King ditampilkan. 

Menunjukkan kesuksesannya, melalui cerita, ekspresi, hingga akting para pemain yang berhasil membawa perasaan penonton untuk pulang dengan sebuah pertanyaan besar, “jika kita di posisi Helga, mana yang akan kita pilih? kapitalisme atau humanisme?”.

“Going Home” dan “Customer is King” menjadi bukti nyata karya berkualitas sutradara muda. Seperti Olivia Agatha dan Saranietha Kadang, kontribusi sutradara muda dalam menghasilkan karya seni yang mendalam dan memukau ini menunjukkan bahwa, mereka akan menjadi aset berharga bagi bangsa. Peran mereka sangat penting dalam mengembangkan industri kreatif, khususnya performing arts di Indonesia, memastikan panggung teater tetap hidup dan relevan di masa depan. (ari)


Tinggalkan Komentar