Telusur.co.id - Oleh : Wilson Lalengke
Sekira seminggu silam, seorang rekan sesama penerima beasiswa Ford Foundation menghubungi saya. Dia telepon beberapa kali. Saya tidak sempat merespon karena sedang di perjalanan bersama ‘orang rumah’. Dia kemudian mengirim pesan, “Bro, jika sudah ada waktu saya mau telepon.”
Tiba di rumah saya baca pesan tersebut, sebut saja dari Bang Budiman. Saya berguman. Tumben kawan ini menghubungi saya. Soalnya sudah lama kami tidak berkomunikasi. Berbilang tahun sudah. Tentu ini ada hal penting sehingga mendadak teringat untuk menghubungi saya.
Saya kemudian merespon dengan menghubungi balik kawan saya yang tinggal di perbatasan Bogor dan Kabupaten Sukabumi itu. “Halo Bang Budiman, tumben menghubungi saya, adakah yang bisa saya bantu?” Saya menyapa dan menanyakan apa hajat gerangan tuan?
Rupanya, dia mau minta tolong. Mungkin karena mengira saya orang media dan banyak sahabat Polisi, sehingga dianggapnya saya bisa membantunya. Perkaranya terkait keponakannya yang ditahan Polres Jakarta Barat. Kasusnya berkenaan dengan judi online. Ponakannya itu digeledah Polisi di jalanan dan memeriksa handphone si ponakan.
Na’as, dalam hape tersebut masih tersimpan history chat tentang permainan judi online. Menurut Bang Budiman, sebenarnya history chat itu sudah lama. Ponakannya tidak lagi terlibat dalam permainan tersebut. Namun, sang oknum aparat Polres Jakarta Barat bersih-keras memproses dan menggiring sang ponakan ke Polres. Ditahanlah dia.
Saat di Polres, cerita kawan saya itu, orang tua si keponakannya ini dimintai uang tebusan. Nominal 50 juta rupiah. Karena tidak ada uang sebanyak itu, keluarga kawan saya menawar 10 juta. Polisi bertahan di angka 25 juta. Untuk menyelesaikan urusan itulah, si kawan ini meminta bantuan saya menegosiasikan ke oknum Polres Jakarta Barat agar bersedia menerima tebusan 10 juta rupiah dan melepaskan keponakannya.
Saya tentu saja tidak mungkin bantu. Saya katakan kepada rekan saya yang menyelesaikan studi S-2-nya atas sponsor Ford Foundation di Inggris itu, bahwa saya tidak bisa bantu. Karena jika saya melakukannya, maka tentu saja saya tidak mungkin lagi bisa mengkritisi kinerja institusi Polri yang dipenuhi para perompak berbaju aparat itu. Dia setuju. Namun saya berikan nama seseorang kepada teman saya agar dihubungi untuk bantu ke Polres Jakarta Barat. Setelah itu, saya tidak tahu lagi akhir ceritanya.
Penggalan pengalaman di atas saya utarakan sebagai pembuka tulisan ini, yang judulnya mungkin agak ganjil bagi banyak orang. Secara singkat saya ingin mengatakan bahwa, pembunuh orang-orang bejat, terutama aparat hukum yang sewajibnya menegakkan hukum, adalah pahlawan! Di saat kepercayaan terhadap institusi penegak hukum sudah di bawah nol derajat celcius, maka penegakan hukum ala film Death Wish yang tayang baru-baru ini di sebuah televisi swasta merupakan pilihan masyarakat.
Death Wish merupakan film Amerika yang terinsipirasi dari novel karya Brian Garfield. Dirilis pertama kali tahun 2018. Film tersebut bercerita tentang aksi seorang dokter bedah yang menempuh jalannya sendiri menghabisi para penjahat yang telah menewaskan istrinya.
Dikisahkan Paul Kersey, seorang dokter bedah yang bekerja di salah satu rumah sakit di Chicago. Dia memiliki seorang istri bernama Joanna dan seorang putri bernama Jordan. Keluarga kecil itu sangat bahagia. Apalagi ketika putrinya berhasil diterima di salah satu universitas terbaik di New York, mereka merayakannya.
Akan tetapi, kebahagiaan keluarga ini tidak berlangsung lama. Peristiwa tragis merenggut suasana indah kehidupan Paul bersama keluarga kecilnya. Tepat di malam ulang tahunnya, rumah mereka disatroni sekelompok penjahat. Istrinya, Lucy, tewas dalam serangan itu. Jordan putrinya, mengalami koma akibat geger otak terkena peluru para perampok.
Kejadian memilukan ini menghancurkan kehidupan Paul dan meninggalkan rasa sedih amat mendalam. Istrinya telah tiada, anak satu-satunya sedang koma entah kapan bisa siuman dan sembuh. Paul berusaha mencari keadilan melalui jalur hukum. Namun harapannya berujung kecewa. Kasus kematian Lucy ditangani seadanya oleh pihak kepolisian.
Rasa kecewanya semakin meningkat tatkala melihat betapa banyaknya kejahatan terjadi di kotanya tanpa penanganan efektif dari pihak berwenang. Menyaksikan kenyataan itu, Paul kemudian sadar bahwa, dia tidak mungkin tinggal diam, menunggu hasil kerja aparat hukum yang entah apa kerjanya. Diapun berkesimpulan bahwa dirinya harus bertindak sendiri tanpa mengandalkan pihak kepolisian lagi.
Singkat cerita, ketika satu per satu anggota kelompok penjahat yang membunuh istrinya dihabisi oleh Paul, polisi yang ditugaskan menangani kasus kematian Lucy, menaruh curiga terhadap Paul atas tewasnya para penjahat itu. Mereka menduga Paul berada di balik terbunuhnya anggota-anggota geng penjahat.
Bagi masyarakat, Paul justru menjadi pahlawan karena merasa terlindungi dari para penjahat yang terlihat kebal hukum. Paul Kersey bahkan diberi julukan sebagai malaikat penjaga di tengah maraknya kejahatan yang terjadi. Dia jadi simbol penyelamat di kala aparat hukum tidak berdaya melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya.
Jika Polri tidak segera berbenah, membina anggotanya dengan moralitas dan ahlak yang baik, yang selama ini malah terkesan melakukan pembiaran terhadap kejahatan yang makin marak di tubuh lembaga wereng coklat itu, maka jangan salahkan Briptu Fadhilatun Nikmah yang dengan tegas menghukum dengan caranya sendiri. Sesungguhnya, Polwan Fadhilatun Nikmah adalah pahlawan, minimal bagi harga dirinya sebagai istri dan anak-anaknya yang diperlakukan tidak adil oleh seorang polisi bermoral bejat, suaminya sendiri. Bravo Briptu Fadhilatun Nikmah..!
*Penulis adalah mantan dosen Filsafat dan Logika Ilmu pada Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara Jakarta.