PSBB : Sebuah Mismanajemen Resiko - Telusur

PSBB : Sebuah Mismanajemen Resiko


Telusur.co.id - Oleh : Daniel Mohammad Rosyid, CEO Rosyid College of Arts and Maritime studies (RCAM) yang beralamat di Gunung Anyar, Surabaya dan Ketua Yayasan Pendidikan Tinggi Dakwah Islam (YPTDI).

Segera setelah kembali dari studi di UK di akhir 1991, saya diminta oleh sebuah BUMN untuk mengembangkan sebuah rezim perancangan dan inspeksi yang lebih rasional di bidang maritim.

Kami mengeksplorasi Risk-based Design and Inspection of marine structures. Sejak itu pula, saya memulai kuliah Analisis Keandalan dan Resiko sebagai Applied Probability di Departemen Teknik Kelautan ITS sampai hari ini.

Kompetensi sasaran kuliah itu adalah sebagai sarjana teknik perlu menerima kenyataan bahwa resiko tidak mungkin dihindari dalam kehidupan, termasuk kehidupan teknik di laut.

Kita harus bisa menerima resiko pada tingkat yang masuk akal secara teknomik. Pendekatan ini makin penting saat tekanan melakukan optimasi makin tinggi dalam suasana kompetisi yang makin keras.

Menghilangkan resiko adalah pilihan yang tidak rasional sekaligus mahal. Salah satu topik kuliah ini adalah menyusun Safety Case sebagai instrumen manajemen resiko bagi sebuah instalasi teknik seperti kapal, anjungan di lepas pantai atau bangunan vital lainnya.

Pendekatan dengan rezim berbasis resiko itu memberi pilihan rasional bagi pengelolaan ketidakpastian dalam banyak sistem-sistem yang paling sederhana sampai yang paling kompleks.

Safety Case ini bisa diperluas untuk menghadapi bencana melalui pendekatan Awareness and Preparedness for Emergency at Local Level (APELL).

Sampai hari ini, banyak masyarakat, bahkan profesional yang kurang memahami fitrah resiko dalam banyak dimensi kehidupan. Apalagi mereka yang dilatih lama berpikir ilmu pasti tapi kurang dilatih berpikir statistik-probabilistik sehingga dunia ini terlihat bekerja serba pasti.

Padahal, yang sesungguhnya terjadi adalah sebaliknya : terlalu banyak ketidakpastian dan juga ketidakjelasan dalam kehidupan. Bahkan kemampuan nasional dalam mengelola resiko bencana harus dikuatkan melalui UU no 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Kegagapan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini juga bukti bahwa kita belum memiliki budaya dan perangkat pengelolaan resiko bencana yang memastikan sebuah sustainable coordinated response.

Karena faktor-faktor geografi dan demografi yang berbeda, manajemen resiko Covid-19 model Wuhan dengan PSBB ini kini terbukti unsustainable secara sosial dan ekonomi.

Sebelumnya, para insinyur dilatih untuk memasukkan Safety Factor untuk menutup-nutupi ketidaktahuannya mengelola ketidakpastian (semakin tidak pasti, Angka Keamanan yang dipakai lebih besar) yang dihadapinya dalam memahami kekuatan dan beban pada sebuah sistem teknik.

Kedua parameter itu harus digambarkan secara statistik agar lebih rasional dan artefak teknik yang dirancang memiliki kelayakan teknomik. Untuk kasus yang sensitif dan kontroversial, pendekatan Angka Keamanan ini menghasilkan solusi yang konservatif (mahal dan tidak rasional).

Resiko, yaitu peluang memikul konsekuensi yang menyedihkan seperti kematian, kehancuran ekonomi, atau kekacauan sosial, selalu memiliki dimensi subyektif, walaupun bisa dihitung secara sangat kuantitatif.

Jadi, resiko memiliki problem persepsi. Resiko kematian akibat Covid-19 bagi seorang profesional kelas menengah seperti dokter, insinyur, pengacara, akuntan dan guru (yang berpenghasilan relatif tetap) dipersepsi secara berbeda oleh pengendara Ojol, pekerja harian dan pedagang kaki lima dengan penghasilan yang sangat fluktuatif.

Apalagi jika salah satu resiko itu kematian, terutama justru kematian para petugas medis seperti dokter. Belum lagi jika persepsi itu ikut dibentuk oleh media sosial dan media mainstream Pemerintah bertubi-tubi berhari-hari.

Kita semua akan mati, dengan satu atau lain cara. Hidup ini penuh resiko. Jika tidak mau menghadapi resiko kita harus mati duluan. Hanya orang mati atau gila yang tidak menghadapi resiko.

Resiko hidup jika menerima protokol Covid-19 oleh WHO disebut Normal Baru, dan juga mati. Bagi saya Normal Baru adalah abnormal murokkab (abnormal orde dua).

Dalam perspektif konstitusi, Normal Baru tidak bisa diterima. Untuk hidup yang pendek ini, kita tidak mungkin mengorbankan kemerdekaan, kedaulatan, keakraban dan keceriaan serta kehangatan hidup dengan hidup menjaga jarak dan bermasker di sekitar orang-orang yang kita sayangi karena ketakutan ketularan Covid-19.
 


Tinggalkan Komentar