Oleh: Naupal Al Rasyid, SH., MH (Penulis adalah Direktur LBH FRAKSI ’98 dan Penasihat LBH SOSIO LEGAL)
\PENERAPAN Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi) adalah diukur dan sesuai syarat jumlah dari kerugian negara.
Bilamana besaran kerugian negara dimaksud telah sesuai maka diterapkan pasal dimaksud tanpa membedakan jumlah yang diperolah sebagai pelaku perwujudan delik korupsi dan dinyatakan bahwa ada peran mewujudkan hubungan secara kasualitas.
Dan, dihubungkan pada kasus korupsi terdakwa Moch. Rizal Otoluwa didakwa dengan Kesatu primer Pasal 2 ayat (1) UU Korupsi jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP. Selain itu, didakwa juga dengan subsidaritas primer Pasal 3 UU Korupsi jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.
Terhadap dakwaan tersebut dapat ditegaskan dan dijelaskan pada teori kasualitas von Buri (Lamintang, 2011), maka siapa saja harus dihukum, bahwa segala syarat adalah sebab, tiap-tiap perbuatan adalah causal, segala syarat adalah “conditio sine quanon” dan semuanya itu merupakan sebab dari suatu peristiwa.
Sedangkan tentang sebab dari pada teori subjektifnya von Kries, juga mendeskripsikan yang dinyatakan bahwa yang menjadi sebab adalah syarat yang adequat yang diketahui oleh pelaku. Selanjutnya, Simmons yang juga banyak menjadi landasan teori menambahkan teori von Kries ini bahwa bukan saja yang diketahui oleh pelaku, akan tetapi juga yang pada umumnya terkenal walaupun si pembuat tak mengetahuinya.
Dengan kasus korupsi ini, sebagai pembuktian dan pertimbangan hukum Majelis Hakim harus menerapkan hukum demi keadilan dan bukan sebaliknya, keadilan dikorbankan untuk mengabdi kepada hukum akan tetapi hukumlah yang harus mengabdi untuk mewujudkan keadilan itu.
Bahwa berhukum secara benar menurut Bismar Siregar (2007) adalah berhukum dengan makna yang artinya kita tidak boleh berhenti pada satu titik, tetapi harus terus-menerus mencari makna yang lebih dalam. Keadilan jauh lebih baik dari pada kepastian norma undang-undang. Jadi, carilah makna dari satu undang-undang, lebih dari pada suatu kepastian suatu prosedur.
Sepertinya dari dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus korupsi terdakwa Moch. Rizal Otoluwa dalam pembuktian perkara kurang atau tidak diklasifikasikan secara tuntas dalam analisis fakta dan pembahasan rumusan fakta hukum.
Hal ini, berdasarkan dakwaan primer dan subsider yang paling pokok yang harus dikaitkan dengan asal mula kesalahan terletak pada Direksi Perusahaan BUMN PT Telekomunikasi Indonesia (PT Telkom) yang terlibat tindakan perkara tersebut akibat pelanggaran sebagaimana ketentuan Perseroan Terbatas serta pengelolaan perusahaan BUMN PT Telkom sebagai sumber masalah penyebab munculnya perbuatan pelanggaran dalam pengelolaan investasi penyediaan perangkat monitor dan desktop Lenovo untuk PT Quarte dengan harga pekerjaan senilai Rp236.171.580.669,- (dua ratus tiga puluh enam miliar seratus tujuh puluh satu juta lima ratus delapan puluh ribu enam ratus enam puluh sembilan rupiah) disesuaikan waktu penantanganan KB antara PT Telkom dan PT Quartee Technologies sebagai pihak lain yang dalam hubungan hukum yang berbeda bisa jadi penyebab kerugian negara.
Dalam hal ini, terdakwa Moch. Rizal Otoluwa sama sekali tidak memiliki peran dan bahkan tidak ada hubungan dengan perbuatan melawan hukum sebagaimana dakwaan primer dan subsider.
Pada klasifikasi perbuatan hukum terdakwa adalah tidak bersalah karena penyimpangan yang dilakukan terdakwa sebagai penyimpangan kebijakan dan bukan perbuatan melawan hukum dalam unsur dakwaan primer dan subsider tidak terbukti.
Tindakan yang dilakukan terdakwa Moch. Rizal Otoluwa hanya dapat dikaitkan perbuatan bersalah dalam perkara ini apabila merupakan tindakan pribadi atau perbuatan kesalahan yang dilakukan dalam kapasitas pribadi atau sebagai Direktur PT Quartee Technologiesyang dikaitkan pengelolaan investasi penyediaan perangkat monitor dan desktop Lenovo karena PT Quartee Technologies bukan perusahaan Badan Usaha Milik Negara karena mayoritas sahamnya PT Quartee Technologies tidak ada dimiliki pemerintah.
Sehingga PT Quartee Technologies adalah perusahaan swasta yang status keuangannya tidak tunduk kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan demikian, PT Quartee Technologies tidak tunduk pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Pemilahan pertanggungjawaban terdakwa Moch. Rizal Otoluwa atas dalam kapasitas pribadi atau sebagai Direktur PT Quartee Technologies bukan perusahaan Badan Usaha Milik Negara karena mayoritas sahamnya PT Quartee Technologies dan aset kepemilikan pribadi dan perusahaan penting karena adanya pemisahan harta badan hukum dengan manusia yang ada dalam badan hukum.
Salah satu karakteristik dari suatu badan usaha yang berbadan hukum adalah adanya pemisahan kekayaan antara para pengurus badan usaha dan badan usaha tersebut.
Konsep perusahaan sebagai badan hukum yang kekayaannya terpisah dari para pemegang saham atau anggotanya merupakan sifat yang dianggap penting bagi status korporasi sebagai suatu badan hukum yang membedakan dengan bentuk-bentuk perusahaan lain.
Harta negara yang disetorkan sebagai modal BUMN menjadi milik BUMN terpisah dari kekayaan pendiri maupun kekayaan pengurus BUMN. Pemisahan kekayaan memberikan dampak untuk para pemegang sahamnya dalam hal pertanggungjawaban yang terbatas apabila suatu saat terjadi kerugian. Pemegang saham bertanggung jawab hanya sebatas dengan saham yang dimilikinya. Pada prinsipnya yang bertanggungjawab atas kegiatan yang dilakukan oleh perseroan itu selaku badan hukum. Makna kata terbatas pada Perseroan Terbatas adalah tanggung jawab terbatas bagi pemengang saham atas seluruh konsekuensi hukum perbuatan perseroan sebesar modal yang disetorkan kepada perseroan. Selain itu, bermakna bahwa adanya batasan atau pemisahan antara harta pribadi manusia yang ada di dalam perseroan baik sebagai anggota organ maupun sebagai pemengang saham dan karyawan perseroan (Rudy Prasetyo, 1996).
Dari beberapa hal yang telah disebutkan di atas jelas dapat dipahami bahwa pertangungjawaban berdasarkan norma umum Perseroaan Terbatas yang terpisah antara pertangunggjawaban pribadi terdakwa Moch. Rizal Otoluwa atas dalam kapasitas pribadi atau sebagai Direktur PT Quartee Technologies dengan pertangungjawaban perseroan serta pertangungjawaban atas ultra vires karena kesalahan dan atau kelalaian terdakwa Moch. Rizal Otoluwa, menyebabkan aset yang terkait untuk pertangungjawaban pidana korupsi adalah harta pribadi terdakwa Moch. Rizal Otoluwa sebagai tanggungjawab perbuatan pribadi terdakwa Moch. Rizal Otoluwa sebagaimana pribadi yang menjadi status terdakwa Moch. Rizal Otoluwa.
Jika timbul kerugian dalam pengelolaan investasi penyediaan perangkat monitor dan desktop Lenovo untuk PT Quarte dengan harga pekerjaan senilai Rp236.171.580.669,- (dua ratus tiga puluh enam miliar seratus tujuh puluh satu juta lima ratus delapan puluh ribu enam ratus enam puluh sembilan rupiah) disesuaikan waktu penantanganan KB antara PT Telkom dan PT Quater yang diakibatkan oleh penyimpangan kebijakan oleh terdakwa Moch. Rizal Otoluwa sebagai Direktur PT Quartee Technologies tidak merugikan keuangan negara, tetapi merugikan PT Quate dengan aset kepemilikan. Dimana pertangungjawaban berdasarkan norma umum Perseroaan Terbatas tidak kepada kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dengan demikian, dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) berkaitan dengan berdasarkan dakwaan primer dan subsider yang didakwakan terhadap terdakwa Moch. Rizal Otoluwa sebagai Direktur PT Quartee Technologies, karena yang pailing pokok yang harus dikaitkan dengan asal mula kesalahan terletak pada Direksi Perusahaan BUMN PT Telkom yang terlibat tindakan perkara tersebut akibat pelanggaran sebagaimana ketentuan Perseroan Terbatas serta pengelolaan perusahaan BUMN PT Telkom sebagai sumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sehingga perbuatan siapa saja harus dihukum, bahwa segala syarat adalah sebab, tiap-tiap perbuatan adalah causal, segala syarat adalah “conditio sine quanon” dan semuanya itu merupakan sebab dari suatu peristiwa sebagai tindakan pengelolaan investasi penyediaan perangkat monitor dan desktop Lenovo untuk PT Quartee Technologies dengan harga pekerjaan senilai Rp236.171.580.669,- (dua ratus tiga puluh enam miliar seratus tujuh puluh satu juta lima ratus delapan puluh ribu enam ratus enam puluh sembilan rupiah) oleh PT Telkom.
Sehingga tidak mungkin dipertangungjawabkan kepada terdakwa Moch. Rizal Otoluwa sebagai Direktur PT Quartee Technologies atau pemisahan antara harta pribadi manusia yang ada di dalam perseroan baik sebagai anggota organ maupun sebagai pemegang saham dan karyawan perseroan swasta tidak dapat diklasifisir melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana dakwaan dengan Kesatu primer Pasal 2 ayat (1) UU Korupsi jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP. Selain itu, didakwa juga dengan subsidaritas primer Pasal 3 UU Korupsi jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.