Putra Mahkota Saudi Ingin Jalin Hubungan Baik dengan Musuh Bebuyutannya  - Telusur

Putra Mahkota Saudi Ingin Jalin Hubungan Baik dengan Musuh Bebuyutannya 


telusur.co.id - Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) mengklaim bahwa negaranya ingin memiliki hubungan yang baik dan terhormat dengan Republik Islam Iran.

Pernyataan dari Bin Salman itu datang dalam acara wawancara televisi pada Selasa (27/4/21) malam waktu setempat.
 
Terkait kritikan Saudi terhadap Tehran dalam beberapa tahun terakhir, putra mahkota itu mengatakan, Iran adalah negara tetangga dan Saudi ingin memiliki hubungan yang baik dan terhormat dengannya.

"Kami ingin Iran yang sejahtera dan memiliki kepentingan bersama satu sama lain, tetapi masalah kami adalah tindakan negatifnya seperti program nuklirnya atau dukungan untuk milisi yang dilarang di beberapa negara di kawasan dan program rudal balistik," ujar MBS.

"Kami bekerja dengan mitra kami untuk mengatasi masalah ini, dan kami berharap dapat mengatasinya dan memiliki hubungan yang baik dan positif dengan semua pihak," sambungnya.

Namun, MBS tidak merinci pembicaraan soal para mitranya yang dia maksud, tetapi The Financial Times baru-baru ini mengatakan bahwa delegasi Saudi bertemu dengan delegasi Iran pada 9 April di ibu kota Irak, Baghdad. Pembicaraan rahasia Saudi-Iran, menurut sumber yang sama, berfokus pada meredakan ketegangan antara kedua negara, serangan Houthi ke wilayah Saudi dan menyetujui untuk mengadakan pembicaraan baru.

Mengenai masalah Yaman, MBS mengatakan bahwa negaranya "tidak akan menerima kehadiran milisi yang melanggar hukum di perbatasannya," mengacu pada kelompok pemberontak Houthi.

"Kami berharap Houthi akan duduk di meja perundingan dengan semua pihak di Yaman untuk mencapai solusi yang menjamin hak semua orang dan menjamin kepentingan negara-negara di kawasan itu," ujarnya. 

Selama hampir tujuh tahun, Yaman mengalami perang antara pasukan pro-pemerintah yang didukung oleh koalisi militer Arab yang dipimpin Saudi dan Houthi yang didukung Iran, yang telah menguasai ibu kota Sanaa sejak September 2014.

Menanggapi pertanyaan apakah Washington telah berpaling dari Riyadh, dia menjawab bahwa "margin ketidaksepakatan sangat wajar ... dan ada konsensus Saudi dengan pemerintahan Presiden AS Joe Biden sebesar 90 persen."

Dia menyatakan bahwa margin ketidaksepakatan dapat meningkat atau menurun dengan otoritas Amerika.

Menanggapi tekanan Amerika terhadap Riyadh, bin Salman menegaskan bahwa kerajaan "menolak campur tangan apa pun dalam urusan internalnya," tanpa menjelaskan apakah ada tekanan atau tidak.

Bin Salman menjawab pertanyaan tentang kampanye Saudi melawan ekstremisme, dengan mengatakan "ekstremisme dalam segala hal tidak dibolehkan."

Mengenai pertanyaan tentang "memenjarakan kelompok [ekstremis] ini", dia mengatakan bahwa Arab Saudi adalah target utama proyek ekstremis."

"Selama periode lima puluhan hingga tujuh puluhan abad terakhir, ada proyek Arabisme dan sosialis yang memberi kesempatan kepada kelompok ekstremis untuk mencapai berbagai posisi di negara yang mengakibatkan konsekuensi yang tidak menyenangkan," kata dia tanpa merinci perkataannya itu.

Dia melanjutkan: "Hari ini kita tidak dapat tumbuh dan tidak dapat menarik modal dan pariwisata dengan keberadaan ideologi ekstremis di Arab Saudi, dan oleh karena itu proyek ekstremis ini harus diberantas, siapa pun yang mengadopsi ekstremisme, itu adalah kejahatan yang legal diberantas."

Pada September 2017, otoritas Saudi menangkap dai dan aktivis Islam terkemuka di negara itu, seperti Salman al-Ouda, Awad al-Qarni dan Ali al-Omari, atas tuduhan "terorisme dan konspirasi melawan negara," di tengah tuntutan dari internasional dan tokoh dan organisasi Islam untuk pembebasan mereka.[Fhr]


Tinggalkan Komentar