Oleh: Fuad Bawazier (Mantan Menteri Keuangan) 

MESKIPUN terasa bernuansa kompromi, pada umumnya masyarakat menyambut gembira putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Cipta Kerja yang penuh kontroversi itu. Saking kontroversialnya, UU ini mempunyai banyak nama plesetan seperti UU Cilaka, UU Tik Tok (Belum selesai di ketik sudah di ketok). Nuansa kompromi putusan MK itu nampak dari kejanggalan putusan yang di satu pihak menyatakan UU CK inkonstitusional tetapi tetap memberikan nafas atau masa berlaku (tambahan) selama 2 (dua) tahun sejak putusan di bacakan.
 
Bagi saya yang awam hukum tapi kenyang pengalaman lapangan, sungguh menyesalkan putusan yang memberikan tambahan masa berlaku 2 tahun itu. Kenapa? Karena bagi pihak yang nekad, baik Pemerintah maupun swasta tentu akan mencari dan mencuri peluang atau kesempatan untuk memanfaatkan 2 tahun masa sebelum  direvisi atau sebelum kembali kepada peraturan perundang-undangan lama atau aslinya. Bila itu yang terjadi, maka kerusakan atau penyimpangannya di lapangan sudah semakin banyak, semakin menjadi-jadi, sudah semakin parah. 

Artinya, putusan MK itu sejatinya banci sebab telah menurunkan efektivitas dan wibawa dari putusan itu sendiri. Akibatnya, berpotensi menyulitkan perbaikan atau penyesuaiannya di lapangan baik bagi pemerintah maupun masyarakat, sebab penerapan UU CK bisa jadi sudah berjalan jauh. Revisinya akan semakin sulit dan semrawut. 

Dalam pandangan saya, karena UU CK sudah dinilai dan dinyatakan inkonstitusional, seharusnya langsung dinyatakan tidak berlaku dan kembali ke aturan lama, sebelum diberlakukannya UU CK. Silahkan Pemerintah dan DPR menyusun UU yang baru tanpa pembatasan waktu 2 tahun. Toh tidak akan ada kekosongan hukum atau aturan sebab MK menyatakan kembali (dulu) ke aturan lama. Artinya,  tidak perlu UU yang inkonstitusional itu dipelihara dulu selama 2 tahun. Jadi sebelum  UU CK itu menelan “banyak korban” karena dibiarkan berlaku dulu 2 tahun. 

Sekali lagi bagi saya yang orang lapangan, putusan MK itu aneh, kurang logis. Karena itulah sulit bagi saya untuk tidak menduga bahwa meski majelis hakim yang memutuskan mempunyai keinginan untuk menegakkan konstitusi tapi menundanya 2 tahun sebagai kompromi. Mungkinkah itu kompromi dengan Pemerintah dan kelompok pengusaha tertentu?  Berkompromi dengan oligarki politik dan oligarki bisnis?  Atau karena para hakim MK itu sejatinya adalah politisi? Wallahu a'lam bishawab