telusur.co.id - Putusan Mahkamah Kontitusi nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dikeluarkan pada Senin (16/10/23) menuai polemik. Putusan tersebut memperbolehkan capres dan cawapres berusia di bawah 40 tahun, asalkan pernah terpilih dalam Pemilu.
Kordinator Lapangan Front Mahasiswa Demokrasi Kawal Reformasi (FMD Reformasi) Faisal Ngabalin menilai putusan tersebut cacat hukum. Menurutnya, ada penyelundupan hukum dalam putusan kontroversial itu.
"Perkara terkait syarat batas usia merupakan kewenangan pembuat UU (open legal policy) yakni DPR RI bersama pemerintah..MK tidak berwenang menguji dan memutuskan suatu ketentuan yang menjadi bagian dari proses politik oleh pembuat UU," kata Faisal saat menggelar aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Jumat (20/10/23).
Lagipula, sambung Faisal, pemohon sudah mempermainkan Marwah MK, karena perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 sudah ditarik tetapi kemudian dibatalkan. Pemohon tidak memiliki legal standing karena tidak mempunyai kerugian konstitusional, namun MK masih saja memproses perkara tersebut.
"Bagaimana mungkin MK mengabulkan kepentingan satu orang pemohon dengan mengabaikan kerja-kerja politik yang dilakukan oleh 560 orang anggota DPR RI bersama Pemerintah. Syarat batas usia adalah ketentuan yang telah disepakati bersama oleh para legislator, bukan lembaga yudikatif seperti MK," paparnya.
Ditegaskan Faisal, MK menolak perkara nomor 29, 51 dan 55 tetapi justru mengabulkan sebagian perkara nomor 90 yang jelas-jelas bermasalah. Lagipula konfigurasi Hakim MK dalam substansi putusan menunjukkan adanya pemaksaan tafsir hukum.
"Karena hanya tiga orang Hakim MK yang mengabulkan syarat berpengalaman sebagai kepala daerah, dua orang Hakim MK menyatakan bahwa berpengalaman sebagai kepala daerah tersebut adalah untuk posisi jabatan Gubernur, bukan Bupati atau Walikota, sedangkan empat orang Hakim MK lainnya menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion)," kata dia.
Lebih jauh Faisal meminta KPU jangan terkecoh dan salah melangkah menanggapi keputusan MK yang dinilai bermasalah. FMS Reformasi juga meminta KPU beraudiensi dengan MK terkait tata laksana keputusan tersebut.
"MK sudah memutuskan tetapi jangan sampai KPU RI yang masuk jurang. Sejak awal MK sudah tidak ada niat untuk berpihak pada kepentingan rakyat," tegasnya.
Dalam aksi tersebut FMD Reformasi juga menyampaikan sejumlah tuntutan, yakni:
1. Mendesak KPU RI untuk harus taat aturan, taat hukum dan taat prosedur. Jangan grasak-grusuk.
2. KPU RI wajib konsultasi dengan DPR RI dan Pemerintah, Jangan langgar Undang-undang, karena revisi tanpa aturan bisa MA batalkan.
3. KPU RI jangan salah langkah, jangan mau menampung masalah, lakukan audiensi dengan Mahkamah Konstitusi terkait putusan No. 90.
4. Ketua MK agar mundur saja, kami butuh sosok negarawan bukan paman seseorang.
5. Ada penyelundupan hukum dalam keputusan MK soal pencalonan! KPU tidak boleh berpedoman dengan putusan yang cacat hukum. (Ts)