Telusur.co.id - Oleh : Hananto Widodo
Hari kemerdekaan memang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun, proklamasi kemerdekaan masih pada tahapan pernyataan kepada dunia bahwa Indonesia mulai tanggal 17 Agustus 1945 telah bebas dan Merdeka dari penjajahan kolonialisme. Dengan demikian, syarat untuk berdirinya negara secara teoritik belum terpenuhi.
Secara teoritik, untuk bisa diakui sebagai negara, maka harus memenuhi paling tidak tiga unsur utama, yakni harus ada wilayah, rakyat, dan pemerintahan, sehingga ketika terjadi proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia masih belum bisa dikatakan negara dalam arti sepenuhnya. Namun demikian, proklamasi kemerdekaan merupakan tonggak awal berdirinya negara Indonesia.
Keberadaan 3 syarat utama dalam berdirinya suatu negara harus disokong oleh dua fondasi utama, yakni dasar negara dan konstitusi. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 24 Tahun 2016 setiap tanggal 1 Juni diperingati sebagai Hari Pancasila. Sedangkan UUD 1945 ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945.
Dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, kita telah mengalami beberapa fase berlakunya konstitusi. Mulai dari berlakunya UUD 1945, berlakunya Konstitusi RIS 1949, berlakunya UUDS 1950 lalu kembali ke UUD 1945 melalui dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959.
Berlakunya UUD 1945 pada awal kemerdekaan tujuannya adalah untuk mengisi kekosongan hukum serta untuk menjadi landasan bernegara, meskipun UUD 1945 dapat dikatakan jauh dari sempurna. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Soekarno bahwa UUD 1945 adalah UUD kilat.
UUD sebagai instrumen untuk membatasi kekuasaan pada waktu itu secara wacana tidak begitu nampak.
Oleh karena itu, dapat dikatakan UUD 1945 merupakan legitimasi bagi Orde Lama dan Orde Baru sebagai upaya untuk melanggengkan kekuasaannya. Upaya untuk membangun rezim yang otoriter, nampak ketika Soekarno membentuk tatanan demokrasi dengan istilah demokrasi terpimpin. Suatu istilah yang paradoks jika disandingkan dengan konsep demokrasi pada umumnya.
Begitu juga pada masa Orde Baru, jargon yang didengungkan pada waktu itu adalah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Semangat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 adalah karena Orde Baru memandang bahwa pada masa Orde Lama telah terjadi banyak penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945. Sayangnya, pemerintahan Orde Baru tidak menunjukkan secara jelas, penyimpangan apa yang telah dilakukan pada masa rezim Orde Lama, kecuali pengalaman pahit terkait pemberontakan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Persoalan mendasar terkait dengan substansi dari UUD 1945 yang dianggap dapat memperkuat corak rezim otoritarian adalah terlalu multi tafsirnya UUD 1945 ini. Kita tentu ingat, ketika Soeharto secara terus menerus terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Mengapa Soeharto bisa terus terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia ? Penyimpangan ini tentu didasarkan pada tafsir terhadap dasar hukum terkait dengan masa jabatan Presiden. Dasar hukum masa jabatan Presiden diatur dalam Pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.”
Dalam Pasal 7 ini tidak diatur secara tegas tentang batasan masa jabatan Presiden, sehingga Soeharto pada waktu itu bisa terus berkuasa selama kurang lebih 32 tahun. Langgengnya kekuasaan Orde Baru disebabkan karena Orde Baru berhasil melakukan hegemoni terhadap masyarakat Indonesia. Sehingga jarang orang yang menyuarakan terkait dengan isu pemerintahan konstitusional.
Setelah Orde Baru tumbang, maka isu pemerintahan konstitusional mulai menguat ranah publik. Oleh karena itu, isu amandemen UUD 1945 yang utama adalah terkait dengan pembatasan kekuasaan Presiden. Karena UUD 1945 sebelum amandemen memberikan kekuasaan yang begitu besar terhadap Presiden.
Pemerintahan konstitusional dimaknai sebagai pemerintahan yang kekuasaannya dibatasi melalui mekanisme check and balances dan pembagian kekuasaan.
Dengan demikian, UUD 1945 pasca perubahan menambahkan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai upaya untuk memperkuat check and balances. Pertanyaannya, apakah hasil amandemen UUD 1945 berbanding lurus dengan praktik ketatanegaraan berupa berkurangnya kekuasaan Presiden?
Berbicara mengenai isu pemerintahan konstitusional, maka yang akan menjadi focus pembahasan adalah terkait dengan relasi antara Presiden dan DPR. Selama Orde Baru, relasi antara Presiden dan DPR dapat dikatakan kolutif. DPR pada waktu itu tidak mampu memainkan perannya sebagai upaya balancing terhadap kekuasaan Presiden.
Lalu bagaimana dengan peran DPR sekarang ini ? DPR sekarang ini tidak dapat dikatakan berhasil melakukan fungsinya dengan baik. Bahkan dapat dikatakan relasi antara Presiden dan DPR juga kolutif seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Perbedaan relasi antara Presiden dan DPR pada masa sekarang dan masa Orde Baru adalah kalau pada masa Orde Baru, Soeharto sebagai Presiden mampu untuk membuat DPR tidak berdaya dengan kekuasaannya.
Sedangkan pada masa sekarang ini, Presiden mampu membuat DPR setuju dengan setiap kebijakannya dengan menggunakan cara transaksional, di mana kekuatan partai politik yang ada di DPR oleh Presiden berusaha untuk ditarik ke dalam pusaran kekuasaannya.
Dengan demikian, pemerintahan konstitusional juga akan sangat ditentukan oleh konfigurasi politiknya. Jika hampir semua kekuatan politik berhasil dikuasai oleh Presiden, maka niscaya Presiden akan menjelma menjadi Presiden yang otoriter. Jikalau terjadi proses demokratisasi itu hanya ada pada level proses pemilu dan proses pengambilan Keputusan di tingkat elite.
Proses demokratisasi yang hanya ada pada level elite, membuat kepentingan yang diperjuangkan adalah kepentingan elite, bukan kepentingan rakyat. Padahal Indonesia secara konstitusional merupakan negara yang menganut prinsip demokrasi. Sehingga setiap Keputusan yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak harus melibatkan partisipasi masyarakat.
*Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya (FH UNESA).