telusur.co.id - Komisi I DPR mengundang asosiasi televisi dan radio untuk memberi masukan terhadap rencana revisi ketiga UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Sekretaris Jenderal Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI), Mochammad Riyanto mengatakan pihaknya sudah melakukan kajian tentang berbagai isu terkait Rancangan Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran).
Intinya keberadaan RUU Konvergensi Media lebih relevan untuk diutamakan di tengah persoalan realitas sosial dan perkembangan teknologi yang saling beriringan. Sekalipun mengakui RUU Konvergensi urgen, tapi Riyanto menyebut bukan berarti RUU Penyiaran disisihkan. Persoalan konvergensi media itu bisa masuk dalam ketentuan RUU Penyiaran.
“Menjadi tantangan dan pengalaman bagi penyusunan (RUU Penyiaran,-red) ke depan karena situasi dan persoalan makin kompleks,” katanya dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) di Komisi I DPR, Kamis (13/03/2025) kemarin.
Dalam membentuk peraturan perundang-undangan Riyanto mengingatkan ada syarat yang harus dipenuhi yakni tujuan politik hukumnya untuk melindungi kepentingan nasional. Sebab penetrasi konten bisnis digital dari semua platform yang didominasi pemain global sangat gencar menekan industri nasional.
“Mohon ini jadi perhatian DPR karena kondisi objektif dimana kami mengalami penetrasi yang kuat (dari platform global,-red),” ujarnya.
Mencermati UU Penyiaran, Riyanto yang sempat menjabat Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat selama 2 periode itu menyatakan tak ada satu pasal yang mendorong pertumbuhan industri nasional. Ini menjadi catatan penting RUU Penyiaran karena tanpa dukungan investasi publik bakal sulit bagi pelaku industri nasional bersaing dengan platform digital dalam konteks informasi.
“Tanpa public investment yang diberikan untuk mendorong pertumbuhan, maka kita akan semakin tertinggal,” bebernya.
Lebih lanjut Riyanto menekankan konvergensi media ini intinya menyelaraskan berbagai sektor media. Penyusunannya dalam RUU Penyiaran akan menghadapi tantangan, sehingga butuh pengalaman yang perlu dipertimbangkan secara baik. Pendekatan ilmiah dan empiris harus digunakan sebagai referensi.
“Kita harus akomodasi fenomena dan fakta sosial terjadinya konvergensi media dengan segala platform,” urainya.
Selain konvergensi media, Riyanto mengusulkan penguatan KPI. Hal ini penting karena tantangan dan persoalan yang akan dihadapi ke depan bersifat multiplatform dan rumit. Harus ada peningkatan kapasitas dan kualitas KPI. Diperlukan kewenangan yang bersifat perintah, dan perubahan struktur keanggotaan.
“Kami tidak anti KPI, tapi yang perlu ditingkatkan kapasitas dalam konteks intellectual exercise, untuk menghadapi masalah yang dihadapi publik, perkembangan teknologi digital dan konvergensi media,” usulnya.
Penyempurnaan pengawasan konten
Mekanisme pengawasan perlu disempurnakan dalam RUU Penyiaran. Pengawasan terhadap lembaga penyiaran bisa dilakukan KPI atau lembaga etik karena karakter penyiaran berbeda dengan lainnya. Pengaturan terhadap media tidak bisa detail tapi, diberi kebebasan untuk leluasa mengembangkan program untuk kepentingan layanan masyarakat. Pengaturan detail hanya mengikat gerak media yang ujungnya merugikan publik.
Selanjutnya RUU Penyiaran perlu mengatur platform digital asing. Diupayakan mengatur secara berimbang posisi platform asing dan lokal. Tantangannya besar karena nyaris tidak ada kekuatan yang dimiliki untuk mengontrol platform digital asing yang bermain di Indonesia baik secara bisnis, konten, dan pengembangan teknologi. Padahal pengaturan ini penting untuk melindungi kepentingan publik, menjamin media berkualitas dari aspek konten dan bisnis.
Mengatur platform digital asing penting untuk mendorong pertumbuhan industri penyiaran nasional. Bagi Riyanto hal ini dasar aturan main fundamental terhadap industri yang melayani masyarakat mengakses informasi. Tanpa public investment, menjadi absurd membangun akses informasi. Aspek nilai-nilai ekonomi menjadi hal yang mendorong pertumbuhan yang arahnya menjamin kualitas layanan publik.
“Itu cara berpikir dan pola yang perlu dikembangkan dalam RUU Penyiaran,” paparnya.
RUU Penyiaran tak boleh luput mencermati budaya hukum yang selama ini kerap diabaikan. Praktik baik yang dilakukan KPI selama ini melakukan literasi media. Sayangnya hal itu belum diatur dalam RUU Penyiaran. Literasi media harus diatur imperatif dalam RUU. Kode etik organisasi penyiaran diberi kekuasaan untuk mengatur dirinya sendiri.
Sebab yang mampu mengawasi konten dalam platform digital hanya masyarakat dan lembaga penyiaran. Kode etik organisasi diperlukan untuk melengkapi program literasi media sekaligus alat mengendalikan konten bermasalah.
Anggota Komisi I DPR dari fraksi Nasdem, Amelia Anggraini, menyebut disrupsi teknologi informasi sudah mengubah cara masyarakat mengakses informasi. Karenanya harus ada regulasi yang mengatur. Dari berbagai masukan yang disampaikan dalam RDPU intinya mengharapkan ada kompetisi yang berkeadilan atau equal playing field.
Dalam draf terakhir Pasal 1 ayat 16 RUU Penyiaran, menyebut penyelenggara platform digital penyiaran sebagai pelaku usaha yang menyelenggarakan konten penyiaran melalui platform digital. Menurut Amelia ketentuan itu ambigu karena dalam hal membedakan antara individu dan lembaga. Hanya menambahkan pengakuan tanpa pemberlakuan kewajiban yang setara bagi keduanya. Selama ini industri penyiaran diatur ketat, tapi platform digital tidak diatur.
“Ketidakseimbangan ini menimbulkan kompetisi yang tidak adil. Akibatnya, lembaga penyiaran harus mengeluarkan biaya produksi yang besar, dan platform digital hanya mengagregasi sehingga biaya produksinya rendah,” imbuh Amelia.[]