telusur.co.id - Anggota Komisi IV DPR RI, Rokhmin Dahuri, menyoroti kemiskinan yang masih menjadi tantangan utama bagi petani, nelayan, dan guru di Indonesia. Padahal, salah satu indikator utama keberhasilan Kementerian Pertanian adalah kesejahteraan petani. Menurut Rokhmin, persoalan ini muncul akibat masalah struktural yang belum terselesaikan di Indonesia.
“Ini masalah struktural, karena berdasarkan data BPS, sekitar 60 persen petani di Indonesia, khususnya di Jawa, masih tergolong petani gurem yang memiliki lahan sawah di bawah 0,5 hektar. Misalnya di daerah seperti Indramayu, Cirebon, dan Subang,” kata Rokhmin dalam rapat kerja Komisi IV DPR RI bersama Kementerian Pertanian di Gedung Nusantara, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (5/11/24).
Rokhmin juga mempertanyakan langkah-langkah Menteri Pertanian dalam mengatasi masalah struktural yang sudah berlangsung sejak era Orde Baru dan belum tuntas hingga saat ini.
“Ketika saya masih SD hingga SMP di Cirebon, rata-rata lahan pertanian masih sekitar satu hektar. Sekarang, luas lahan yang dimiliki petani semakin berkurang. Jika lahan sawah hanya sekitar 0,4 hektar, pendapatan petani hanya mencapai sekitar Rp1,5 juta. Bagaimana kebijakan sebagai menteri bisa menyelesaikan permasalahan skala ekonomi ini?” tanya Rokhmin.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Pertanian Amran mengakui adanya kekeliruan dalam kebijakan Kementerian Pertanian pada pemerintahan sebelumnya, di mana program swasembada tidak dijalankan secara terpadu. Menurutnya, ego sektoral menjadi salah satu faktor yang menggagalkan program swasembada pangan.
Amran juga menyoroti permasalahan pupuk sebagai penyebab kegagalan program swasembada di masa lalu. Namun, ia mengklaim bahwa kini permasalahan tersebut telah berhasil diatasi.
Lebih lanjut, Amran menekankan pentingnya penggunaan alat dan mesin pertanian (alsintan) modern dalam mendukung keberhasilan program swasembada pangan. Dia menyatakan bahwa alsintan saat ini sudah diperbarui dengan teknologi yang lebih canggih. [Tp]