RUU Haluan Ideologi Pancasila Jangan Melukai Nurani Rakyat - Telusur

RUU Haluan Ideologi Pancasila Jangan Melukai Nurani Rakyat


Telusur.co.id - Oleh: Dr. H. Joni, SH. MH, Notaris, Pengurus Pusat INI (Ikatan Notaris Indonesia), Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Habaring Hurung Sampit.

DINAMIKA ketatanegaraan dan politik, khususnya masalah ideologi terus berkembang dinamis. Masalah ini sensitif bahkan sangat senstif apabila menyangkut Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sudah dibubarkan itu. Saat memperingati harilahir Pancasila, 1 Juni 2020 ini pangggung politik, dalam kaitan ini aalah pembentuk UU dikejutkan dengan akan lahirnya UU Tentang Rancangan Undang-Undang atau RUU Haluan Ideologi  Pancasila .

RUU yang secara resmi merupakan inisiatif DPR ini secara formal pada intinya mengatur penguatan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Lembaga baru yang sebelumnya dibentuk berdasarkan Perpres ini kemudian akan ditingkan keberadannya melalui Undang Undang.

Tentang RUU Ini

Oleh karena sebuah UU, maka isinya tak semata berkenaan dengan peningkatan kapasitas yuridis dari lemmbaga BPIP. Prinsip dasar yang dikandungnya justru mengatur tentang haluan Ideologi Pancasila, yang nantinya dijadikan dasar pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional. Arah dimaksud aalah pada bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan dan keamanan yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi.

Tidak itu saja, arah dari UU ini nantinya juga ditujukan dan menjadi pedoman bagi seluruh warga negara dan penduduk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Untuk itu, dijelaskan bahwa  Haluan Ideologi Pancasila  terdiri atas  pokok-pokok pikiran Haluan Ideologi Pancasila; tujuan, sendi pokok, dan ciri pokok Pancasila; Masyarakat Pancasila; Demokrasi politik Pancasila; dan demokrasi ekonomi Pancasila.

RUU inisiatif dari PDIP ini bertujuan sebagai pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun kebijakan, perencanaan, perumusan, harmonisasi, sinkronisasi, pelaksanaan dan evaluasi terhadap program Pembangunan Nasional di berbagai bidang, baik di pusat maupun di daerah, yang berlandaskan pada nilai dasar Pancasila.

Tujuan dimaksud tentu saja mulia, tetapi secara politis dicurigai banyak pihak sebagai sebuah produk hukum yang bermuatan legitimasi terhadap keberadaan PKI sebagai partai terlaang. Hal inilah yang dinilai sebagai sangat sensitive dan secaa substansial membelokkan arah dari Pancasila yang kemduian mengakomodasikan keberadaan PKI dimaksud. Satu hal yang tentu saja bisa memicu konflik berkepanjangan bagi pesatuan dan persatuan bangsa.

Masalahnya, tentang Pancasila ini sudah selesai disusun oleh para pemikir hebat masa lalu pada tahun 1945. Sementara pelaksanaannya pun selama ini tanpa masalah. Pancasila sebagai instrument yang dijadikan sebagai alat politik dan dipolitisasi terjadi pada jaman Orde Baru Ketika ditetapkan P4 (Pedoman Penghatantan dan Pengalaman Pancasila. Tentu saja hal ini mendegradasi nilai Pancasila itu sendiri, yang semula sebagai ideology lalu turun derajatnya sebagai pedoman teknis.

Hal yang sama sekarang akan dulangi Kembali. Bahkan parahnya dengan tidak mencantumkan lagi PKI sebagai organisasi terlarang sebagaiana diatur dalam Tap MPRS No. XXV/MPR/1966. Secara formal hal ini tecermin dari penolakan oleh semenara kalangan terhadap struktur RUU ini yang menolak keras menjadikan Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 sebagai konsideran RUU Haluan Ideologi Pancasila.

Substansinya juga mengandung banyak kontroversi sehingga memunculkan banyak pertanyaan di dalamnya. Diantaranya, yaitu alasan pembentukannya, status RUU dalam tata hukum nasional, legalitas Pancasila yang akan diundangkan, jenis Pancasila yang akan diundangkan serta status Tuhan dalam Pancasila di RUU Haluan Ideologi Pancasila.

Pertanyaan sederhana, misalnya dari alasan pembentukannya. Dalam konsideran RUU HIP disebutkan, UU HIP perlu dibentuk sebab belum ada UU dalam bentuk Haluan Ideologi Pancasila sebagai landasan hukum untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai kerangka landasan berpikir dan bertindak bagi penyelenggara negara dan masyarakat guna mencapai tujuan bernegara sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945.

Tentu saja cakupan UU demikian di samping terlalu luas juga secara substantif bukan levelnya UU. Hal yang sangat mendasar ini harusnya diatur sekurangnya pada level Tap MPR sebagai feleksi dari tingkat substansinya.

Masalah Sangat Sensitif

Kecurigaan banyak pihak terhadap inisiatif DPR ini ditambah lagi dengan pembahasan yang secara teknis berada pada situasi keprihatinan. Tatkala rakyat bergulat dengan berbagai masalah akibat pandemi korona justru para wakil terhormat tidak peka. Wakil rakyat tidak bekonsentrasi untuk membanturakatmengatasi kesulitan, justru membahas RUU yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan hajat rakyat.

Secara teknis pula pembahasan ini juga dilakukan secara online. Jauh dari memadai, antara urgensinya UU ini dibahas pada satu ssi dengan mekanisme online yang secara teknis pula dapat diakal akali untuk yang berbicara vokal dipangkas dengan alasan teknis komunikasi. Gangguan alat, misalnya. Suatu hal yang seharusnya tidak dipaksakan membicarakan hal yang sangat mendasar dan sensitif ini pada saat sekarang.

Kondisi ini memprihatinkan karena para wakil rakyat dinilai telah kehilangan sens of crisis yang dihadapi rakat. Pandemic korona seharusnya lebih dan harus dijadikan sebagai pioritas utama dalam pengelolaan negara, yang harus mengutamakan rakyat dan pendeeritaannya sebagai amanat penderitaan rakyat. Bukan memikirkan dan melakukan hal hal yang berada di luar derita rakyat.

Berdasarkan hal di atas, harus kita ingatkan kepada anggota DPR, untuk tidak meneruskan pembicaraan mengenai RUU Haluan Ideologi Pancasila. Kendatipun suara ini mungkin tak mereka dengar, tetapi secara moral harus kita ingatkan bahwa urgensi mengenai hal ini sangat kurang. Khususnya dibandingkan dengan kesibukan rakyat yang sedang gundah gulana memerangi virus korona. UU ini melukai nurani rakyat.

Sensitivitas ini harusnya menjadi bagian dari pola kinerja wakil rakyat. Bagaimanapun denyut kegundahan rakyat harus djadikan sebagai instrument utama dalam berkinerja. Jangan sampai para wakil rakyat justru kehilangan kepekaan dalam menangkap penderitaan rakyat yang mereka wakili. Bukankah mereka ini wakil rakyat, tempat menyalurkan aspirasi, dan untuk itu dipercaya sebagai wakil rakyat?. Harusnya jangan sampai rakyat merasa kehilangan wakil dan merasa tak lagi diwakili.


Tinggalkan Komentar