Oleh Mohammad Roem
"Sebagai salah seorang yang turut serta membuat rencana pernyataan Kemerdekaan sebagai pendahuluan (preambul) rencana undang-undang dasar kita yang pertama di dalam Majlis Penyelidikan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Tyosakai) di masa akhir-akhir kekuasaan Jepang saya ingat betul, bahwa di masa itu tidak ada di antara kita seorang pun yang ragu-ragu, bahwa dengan pokok dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu kita maksudkan "Aqidah" kepercayaan
Agama dengan kekuatan keyakinan, bahwa kemerdekaan bangsa dan tanah air itu suatu hak yang diperoleh daripada rahmat Tuhan Yang Maha Esa dengan ketentuan-Nya dengan semata-mata kekuasaan-Nya pada ketika masanya menurut Kehendak-Nya."[1]
Waktu Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 memproklamirkan kemerdekaan Repu- blik Indonesia, saya sudah berumur 37 tahun. Saya seorang Is- lam, yang sudah dewasa serta mempunyai pengalaman hidup. Sebagai orang Islam saya tahu, bahwa bagi seorang Islam adalah mutlak pengakuan yang tercantum dalam dua kalimat Syahadah: yaitu bahwasanya tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwa Mu- hammad adalah Rasul Allah. Saya tahu juga, bahwa ada ranca- ngan Undang-Undang Dasar 1945, yang dalam preambul semula memuat "tujuh kalimat", yang berbunyi:
"... dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk- pemeluknya."
Bahwa sebelum UUD '45 itu disyahkan oleh Panitia Persia- pan Kemerdekaan yang bersidang pada tanggal 18 Agustus 1945, tujuh perkataan itu dihapuskan, sebagai hasil dari lobbying Dr. Hatta dengan beberapa pemimpin Islam, antara lain Ki Bagus Hadikusumo, yang tidak keberatan "tujuh perkataan" itu diha- puskan dan diganti dengan "Yang Maha Esa."
Bahwa saya sebagai orang Islam, yang ketika itu sudah per- caya kepada Tuhan Yang Maha Esa, saya dapat menerima Pan- casila, dengan Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Saya sebagai orang Islam menyayangkan dihapusnya tujuh perkataan tersebut, yang kemudian untuk mudahnya dinamakan Piagam Jakarta.
Meskipun menyayangkan, akan tetapi jika itu sudah menjadi hasil musyawarah dari para pemimpin, terutama Bung Hatta dan Ki Bagus Hadikusumo, saya tidak terus menerus menyayangkan, agar tidak menjadi sakit hati, karena hapusnya "Piagam Jakarta" itu menurut keterangan Bung Hatta demi untuk persatuan bang- sa, terutama umat Kristen dan umat Islam. Kewajiban menja- lankan syariat Islam tetap berlaku, apakah ia dicantumkan dalam UUD atau tidak. Dan inilah yang tempo hari dikatakan oleh Men- teri Agama H. Alamsyah Ratu Perwiranegara, sebagai "hadiah ter- besar dari umat Islam". Dalam pada itu kita harus ingat, bahwa dalam Dekrit Presiden yang mengembalikan UUD '45, dekrit yang menjadi jembatan UUD '45 berlaku lagi, "tujuh perkataan" itu sudah dikembalikan, dengan kata-kata yang tegas, bahwa "Pia- gam Jakarta itu suatu rangkaian historis dan Piagam Jakarta itu menjiwai pelaksanaan UUD '45". Kata-kata yang indah itu yang termuat dalam Dekrit, tentu mempunyai arti dan tergantung dari kita sendiri untuk memberi arti yang setimpal. Oleh karena ha- diah terbesar itu sudah dikembalikan, maka untuk mereka yang merasakan hal itu, sesudah "tujuh perkataan" itu dikembalikan tidak ada soal lagi untuk mengucapkan terima kasih.
Keyakinan tentang Tuhan Yang Maha Esa itu, yang dengan amandemen Ki Bagus Hadikusumo, menurut pendapat saya lebih mantap, adalah sesuatu yang tidak statis, melainkan mengalami pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan masing-masing orang.
Orang masuk Islam cukup dengan mengucapkan dua kali- mat syahadat, di hadapan dua orang saksi. Ia sudah diterima oleh umat Islam sebagai orang Islam baru. Akan tetapi mulai saat itu ia harus dididik atau mendidik diri tentang apa yang diharus- kan bagi orang Islam. Terutama kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kesadaran itu akan bertumbuh dan keyakinan akan semakin kuat dengan bertambahnya pengetahuan dan pengalaman.
Pada saat Ketuhanan Yang Maha Esa dijadikan Sila yang pertama dari Pancasila, saya sudah mencapai tingkatan tertentu, yang barangkali belum sama dengan tingkatan sekarang. Sema- kin manusia tambah pengalamannya, semakin yakin ia tentang Tuhan Yang Maha Esa, yang Maha Mengetahui, Maha Melihat. Semakin manusia tambah usia dan pengalaman hidup, semakin hidup keyakinan itu. Dan Tuhan Yang Maha Esa itu adalah ke- kuatan yang tidak pasif tapi aktif memimpin perkembangan umat manusia.
Seperti dikatakan oleh Haji Agoes Salim tersebut di atas, la sebagai salah seorang anggota dari Panitia yang terdiri dari 9 orang (Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Bagus Hadikusumo, Kyai Wahid Hasyim, Mr. M. Yamin, Mr. Soepomo, Kyai Kahar Muzakir dan Haji Agoes Salim dan Mr. A.A. Maramis), maka Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah "Aqidah Agama".
Bukan hanya Agama Islam melainkan aqidah tiap-tiap aga- ma yang diajarkan oleh seorang Nabi dan sebagai pesuruh Tuhan. Dalam kaitan ini, maka dapat disebut Nabi Musa yang membawa Kitab Taurat bagi umat manusia, kemudian Kitab Injil yang di- wahyukan dengan perantaraan Nabi Isa kepada umat manusia, yang terakhir Nabi Muhammad yang membawa Al Quran. Dalam ajaran agama Islam tiga golongan tersebut, yaitu pengikut Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad disebut "rakyat yang me- miliki sebuah buku" (peoples of the books).
Kita dapat pelajaran, bahwa Tuhan sudah mengirimkan ke- pada semua rakyat di dunia seorang Pesuruh untuk mengajarkan manusia tentang Tuhan. Al Quran menyebut 25 Nabi, akan tetapi Jumlah itu tidak berarti sudah semua. Ada yang tidak disebut. Karena itu pengikut agama Hindu dan Budha, saya pandang juga pengikut seorang Nabi yang diutus oleh Tuhan.
Caranya tiap pengikut agama itu percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa tentu menurut keyakinan masing-masing, tidak sama, sebab pelajarannya berbeda-beda, akan tetapi semua me- nerima Pancasila sebagai Falsafah Negara. Di sini letaknya kebe- saran Pancasila yang sudah digali oleh Soekarno. Tentang ini ada pendapat yang berbeda tentang apakah Soekarno penggali tunggal Pancasila. Soekarno sendiri pernah menyatakan, bahwa pada masa Tjokrokroaminoto sudah ada Pancasila. Pancasila adalah falsafah negara yang mempersatukan bangsa Indonesia secara kokoh dan kuat. Meskipun bangsa Indonesia terdiri dari berbagai- bagai agama dan aliran, itu semua diikat dalam satu ikatan yang kuat, seperti dikatakan dalam tafsir asas Masyumi, yang mes- kipun sudah dibubarkan akan tetapi sebuah kalimat dari tafsir asasnya ingin saya kutip:
"Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, dan telah dipertahankan kedaulatannya dengan usaha bersama-sama pula sampai tercapai penga- kuan dunia atas kedaulatan itu pada tanggal 27 Desember 1949, adalah karunia Illahi atas jihad perjuangan bangsa Indonesia atas dasar Pancasila, kata persamaan antara segenap golongan."
Dalam sejarah perjuangan, terutama waktu kita bersama- sama menjalankan perang gerilya terhadap Belanda saya menya- dari, bahwa terasa sekali persatuan bangsa yang diikat oleh Pancasila. Rakyat dari berbagai-bagai agama bahu membahu pe- rang gerilya menghadapi Belanda yang dengan segala alat perang moderen hendak mengembalikan Tanah Air kepada zaman pen- jajahan.
Berdasarkan segala sesuatu yang telah saya uraikan di atas itu, maka saya menerima Pancasila, terutama Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, karena saya adalah seorang Islam, yang men- dapat ajaran dari Nabi tentang Ketuhanan.
Saya tidak dapat mengikuti apa yang diuraikan oleh Menteri Penerangan Ali Murtopo pada hari Senen, 2 November 1982, di hadapan para Alim Ulama Jawa Timur di Kabupaten Pasuruan, bahwa nilai agama dan Pancasila berbeda. Seperti sudah saya terangkan di atas, maka saya menerima Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena saya beragama Islam yang mengajarkan saya tentang Ketuhanan Yang Maha Esa. Bagi saya hanya ada satu Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa me- nurut agama Islam dan Pancasila. Saya tidak dapat menggambar- kan percaya kepada Ketuhanan Yang Maha Esa menurut agama, selain dari di samping Tuhan Yang Maha Esa menurut lain dari agama yang saya anut.
Benar di dalam buku Jenderal Ali Murtopo, Akselerasi, Mo- dernisasi Pembangunan 25 Tahun (Yayasan Proklamasi - Centre for Strategic and International Studies, cetakan pertama, Septem- ber 1972, hal. 20), disebutkan:
"Negara mengakui ke-Tuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip kenegaraan. Hal ini tidak berarti bahwa negara didasarkan pada salah satu agama. Ke-Tuhanan mempunyai pengertian sendiri dan tidak identik dengan agama atau salah satu agama ... Jadi sila per- tama menyatakan adanya theisme, bukan theisme theokratis tetapi theisme demokratis, artinya pimpinan sesuatu yang transeden ter- hadap negara dan jalannya negara diselenggarakan secara tidak langsung melalui pikiran sehat manusia."
Menurut sejarah umat manusia, yaitu sejarah nabi-nabi dan agama, maka manusia sampai kepada kepercayaan ke-Tuhanan Yang Maha Esa adalah melalui ajaran Nabi dengan sarana Kitab Suci yang diwahyukan. Selanjutnya ajaran Nabi itu tidak berten- tangan dengan akal manusia, akal sehat. Dalam pada itu agama Islam juga mengajarkan, bahwa tidak ada paksaan dalam agama, suatu hak asasi yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Jadi kalau ada orang yang menyatakan, ia tidak beragama akan tetapi dapat menerima Pancasila, maka bagi negara ia pun akan di- terima.
Ada segolongan dari rakyat di Indonesia yang mempunyai ideologi yang tidak percaya dengan adanya Tuhan, yaitu ideologi Komunisme. Sebagaimana kita ketahui, Partai Komunis Indonesia yang ideologinya tidak percaya kepada Tuhan (Atheis), di negara kita, Negara Pancasila, sudah dilarang. Di samping itu tidak se- mua orang yang atheis berideologi Komunis. Jika orang atheis ini menyatakan dapat menerima Pancasila, dan selanjutnya ia juga warga negara hidup taat kepada segala peraturan negara, dan tidak melanggar salah satu fasal dari kitab Undang-Undang Pi- dana, maka orang itu dapat hidup dalam negara, dan diakui dan dijamin hak dan kewajibannya. Maka kita melihat perbedaan an- tara Haji Agoes Salim, seorang anggota Panitia Sembilan yang ikut serta merencanakan Preambul UUD '45, dan keterangan dari Jen- dral All Murtopo di hadapan Alim Ulama Jawa Timur di Pasuruan.
Orang Islam sesuai dengan kesaksian Haji Agoes Salim me- nerima Pancasila, karena Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah Aqidah agama Islam, sebagaimana pengikut agama lain menerima Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan aqidah masing-masing. Penerimaan itu saya rasa sudah cukup, karena tidak mungkin saya membayangkan orang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan pemikiran lain.
Maka seperti dikatakan oleh majelis-majelis agama dalam Maklumatnya pada hari Sabtu malam, 6 November 1982 (Harian Kompas, 8 November 1982, halaman satu):
"Wadah Musyawarah antar umat beragama menegaskan kembali bahwa majelis-majelis agama dan organisasi-organisasi keagamaan sebagai pembina umatnya masing-masing, bertujuan untuk mem- bina umatnya masing-masing agar menjadi pengikut pemeluk aga- ma yang taat, sekaligus warga negara yang Pancasilais."
Seorang Kristen yang taat agamanya sekaligus warga negara yang Pancasilais. Orang Islam yang taat agamanya sekaligus war- ga negara Pancasilais. Ia tidak perlu membedakan Pancasila me- nurut agamanya, dan Pancasila sebagai dasar Negara. Pancasila menurut agama identik dengan Pancasila falsafah negara.
[1] Haji Agoes Salim dalam sebuah karangan di majalah Hikmah, Jakarta, 21 Juni 1959.