Setara Institute Soroti Pidato Kenegaraan Jokowi: Hambar, Banyak yang Ditutupi - Telusur

Setara Institute Soroti Pidato Kenegaraan Jokowi: Hambar, Banyak yang Ditutupi

Presiden Joko Widodo. Foto: telusur.co.id/Bambang Tri

telusur.co.id - Ketua SETARA Institute Ismail Hasani menganggap, pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo, di Sidang Tahunan MPR/DPR/DPD RI, serasa hambar. Sebagai pidato terakhir, seharusnya Jokowi dapat menyampaikan milestone dan lompatan-lompatan pencapaian bangsa dan negara Indonesia dalam 10 tahun terakhir. 

"Paparan sederhana tidak cukup meyakinkan publik bahwa 10 tahun kepemimpinannya membawa perubahan signifikan," kata Ismail dalam keterangan tertulisnya, Jumat (16/8/24).

Dia menilai, Jokowi hanya fokus pada aspek pembangunan ekonomi, yang juga hambar dan tidak meyakinkan. Karena kondisi faktual, daya beli masyarakat semakin menurun dan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai bidang. 

"Capaian kinerja ekonomi Jokowi juga tidak diimbangi dengan pengakuan hak-hak warga yang menjadi korban pembangunan," ucapnya. 

Ismail juga menyayangkan, Jokowi sama sekali tidak menyampaikan capaian di bidang pembangunan hukum, HAM dan demokrasi secara holistik, dan hanya menyebut keberhasilan membentuk KUHP. 

"Gegap gempita gagasan di awal masa jabatan Jokowi terkait pembangunan manusia melalui kebijakan revolusi mental, sama sekali tidak diceritakan, sampai di titik mana lompatan itu dicapai. Pidato itu seperti gambaran kemunduran-kemunduran yang sebagiannya ditutupi dengan keberhasilan ekonomi," tuturnya. 

Peneliti SETARA Institute Azeem Marhendra Amedi menambahkan, berdasarkan Indeks HAM yang dirilis SETARA Institute dari 2019 hingga 2023, skor kinerja HAM nasional mengalami stagnasi dan tidak bisa naik lebih dari skor 3,3, yang tertinggi di tahun 2022. 

Menurut dia, negara belum memiliki komitmen kuat dalam pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM yang semestinya menjadi kewajiban konstitusional menurut Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945.

Terkait wacana MPR RI yang hendak menghidupkan kembali Haluan Negara dan MPR yang telah menyiapkan pokok-pokok Haluan Negara untuk memberikan arah pembangunan, lanjut dia, wacana ini terus berulang dan gagal menyajikan urgensi dan dasar konstitusional memadai kepada publik. 

"MPR harus mampu menjawab pertanyaan tentang bagaimana penetapan Haluan Negara tersebut pada sistem hukum Indonesia, harmonisasi dan integrasinya pada sistem perencanaan pembangunan yang sudah ada, serta skema pertanggungjawabannya. Obsesi membentuk haluan negara ini berpotensi mengekang kekuasaan eksekutif dan mengembalikan kedudukan MPR sebagai lembaga tinggi negara," kata Azeem. 

Namun demikian, Azeem mengapresiasi, dorongan pembangunan nasional dan daerah yang inklusif dari pidato Ketua DPR RI Puan Maharani. Hal itu sebagai komitmen yang coba dipenuhi pada pemerintahan periode 2019-2024 dan diharapkan dilanjutkan pada pemerintahan berikutnya. 

"Pernyataan Puan Maharani menjadi bentuk pengakuan bahwa inklusivitas dan toleransi masih menjadi pekerjaan rumah yang belum kunjung selesai," kata dia.

Terlebih, data Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) mencatat bahwa negara belum mampu menciptakan ekosistem toleransi dan inklusi. Pada 2023 saja masih tercatat 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran.

Azeem juga menyoroti pidato Puan tentang semakin pentingnya ‘demokrasi deliberatif’, yang mengandaikan perlu adanya ruang perjumpaan substantif antara pemangku kebijakan dengan rakyat yang diwakilkan. Hal ini supaya terjadinya komunikasi dan pencapaian persetujuan mengenai suatu isu. 

"Oleh karena itu, perlu adanya dorongan lebih mengenai dibukanya partisipasi bermakna (meaningful participation) dalam pengambilan kebijakan secara luas, sehingga muncul deliberasi yang resiprokal dan berorientasi pada pencapaian konsensus atau mufakat," kata dia. 

Lebih lanjut, Azeem meminta pemerintah mendatang memperhatikan aspek pembangun hukum, HAM dan demokrasi konstitusional, dalam pemajuan bangsa dan negara, yang dapat dilakukan dengan prioritas mendorong pembangunan dan tata kelola pemerintahan inklusif.

"Membentuk ekosistem toleransi bagi seluruh kalangan masyarakat; pengarusutamaan perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak konstitusional warga negara dalam setiap aspek pemerintahan; perluasan partisipasi bermakna dalam pembentukan peraturan perundang-undangan; dan penguatan penegakan hukum yang demokratis," tukasnya. [Fhr] 


Tinggalkan Komentar